(secara
tak sengaja saya menemukan tulisan ini di folder, saya
tertawa-tawa sendiri membacanya, cerita pendek ini saya tulis di
tahun 2010. sebelum saya terlupa lagi, saya mesti menyelamatkan
tulisan saya ini di blog, sebagai dokumentasi proses saya. dan
untuk menghibur diri sendiri, tentu saja.)
DI SEBUAH KAFE
LANGIT malam bulan Januari
pertengahan, adalah langit yang tiap malam ditumbuhi sepasang lengan
panjang, menjuntai begitu saja ke bumi, rajin menjumputi
kembali sisa uap-uap hujan. Dan malam ini lengan yang menjuntai itu
merayapi Dago yang nampak makin lembab seusai curah hujan berpora
pesta sesorean tadi. Kata orang-orang, ini pesta kesedihan. Pesta
duka dan airmata dari langit, barangkali
di bulan januari langit sedang bersedih
karena mendapati banyak kehilangan. Aku tak yakin, apakah kehilangan terkait erat dengan kesedihan.
Sesekali pandanganku
hujam ke lanskap bawah sana, Bandung beserta hiruk-pikuknya
cuma titik-titik kecil kuning bercampur merah marun dalam gulita. Kerlip-kerlip lampunya,
meski lama-kelamaan membuat mata kedutan
tapi lumayan menghibur, paling tidak ada yang dilihat daripada
menunggu nyala bintang di langit yang malam ini mirip gulungan karpet lama disimpan di gudang.
“Kok nggak diminum ?”.
Tanyamu. Bersamaan
dengan tercecapnya aroma khas kayu manis oleh hidungku yang entah sejak
kapan menguar dari dua cangkir choco
au lait di tengah-tengah kita. Kupindahkan pandanganku kepadamu, sedikit
kikuk. Lantas seperti teleskop
mengamati pergerakan benda yang ada di seluruh galaksi, mataku jeli mengelilingi Coffe Corner
yang dipadati meja kursi dengan payung-payung bundar ini. Bersemangat sekali
merekam detailnya. Beberapa pasangan bercengkerama, sesekali salah satu dari
mereka terlihat sedang membenarkan baju hangat atau syal milik pasangan, atau
iseng melirik arloji. Jam menunjuk angka delapan, suhu tempat
dataran tinggi ini benar-benar menggigilkan. Tapi dingin itu
relatif menurutku, seperti halnya jam. Panas-dingin, lama-sebentar adalah
subyektifitas dan kitalah yang menentukan. Buktinya aku seperti dijaga rasa
hangat, dan lagi, dua jam bersamamu cuma
terlewati dalam tiga hentakan nafasku, singkat sekali rasanya. Ya, sesuatu
memang kerap berubah-berubah pemahamannya sesuai dengan kondisi.
“Eng,..kamu kira lidahku
panci teflon tahan panas...”,
aku tertawa, tapi tak
yakin sedang menertawakan apa. Tidak. aku tidak sedang menertawakan
pertemuan ini, bagaimana mungkin aku meremehkan dan menganggap lelucon suatu
momen yang sepanjang malam aku gelisahkan. Aku sedang kesulitan menyembunyikan
kegugupanku padamu. Berkali-kali tanganku mengibas kuaran asap dari
zat cair selesai mendidih dari cangkirku. Kamu ikut tersenyum.
“Kamu
lucu, masih kayak dulu…”
“Apa
?”
Ya, aku memang dari dulu
lucu, dari lima tahun yang lalu. Sejak pertama mengenalmu, sejak
aku belajar mengenakan antingku yang pertama pada dating
kita, dan sampai sekarangpun, saat umurku menginjak
angka kepala tiga semua masih nampak lucu di matamu. Dimana tempat,
kronologi kejadian, serta kesenjangan yang mungkin ada pada kita selama
kurun waktu lima tahun itu menjadi tak berarti. Aku memang lucu, dan aku
tahu kamu mengagumi itu. Aku yakin kamu masih memahami benar segala
bentuk bahasa tubuhku.
“Terus
terang aku bingung Na, mesti darimana mulai bercerita”.
Ah, kamu dari
dulu masih saja ambigu. Sayangnya suaraku tercekat dipangkal lidah, tertelan
masuk ke dalam perut lagi, terkunyah perlahan-lahan oleh otot lambung, aku jadi
ingin cepat-cepat buang angin, melepas keresahan yang menggumpal, membebaskanya
agar menjadi gas.
“Cerita
aja, ayo, cerita Bi, kalau kamu masih
kaku, kamu bisa mulai ceritamu dari sepasang cangkir cokelat kita ini”.
Oh, tidak, aku terlalu
gegabah memberi tendensi pada kata “kita”,
harusnya jangan terburu-buru. Ketergesaan acap menimbulkan
multi prasangka. Dan benarkan, ada perubahan warna di wajahmu. Aku tahu. Aku
tahu itu.
“
Jangan takut, seperti dulu, bukankah aku selalu menjadi
telinga paling sabar saat menunggui
ceritamu yang bahkan kadang seperti dongeng
seorang penyihir yang dikirim dari dunia para
peri ?”
Kamu terkekeh
kali ini. Mengambil cangkirmu, melekatkanya pada hidung
sebentar, seperti tak ingin kehilangan barang berharga
dari sebuah aroma, kemudian menenyeruput cairan
kental harum di dalamnya. Leleh ia diantara syaraf lidah.
Mungkin sekarang lidahmu sedang memberi respon
positif pada serangkaian kandungan protein cokelat. senyawa feniletilamin-
nya akan segera memberi efek afrodisiak,
perasaan nyaman, familiar, sedikit flirt. ya, dopamin
pelan-pelan pasti sedang mencairkan kegugupanmu. Malam
ini, lidahmu benar-benar akan menjadi tumbal chocolate craving !
“Na…”.
Kemudian
cerita panjang itupun keluar dari persembunyiannya, pori-pori lidahmu. Masih
dengan intonasi yang presisi, seperti dulu di sepenggal malam minggu kepalaku
terjatuh begitu saja di pangkuanmu, berbaring dan rebah dengan nyaman, kemudian
kamu tumpahkan segala cerita yang menyenangkan itu ke rambut dan kepalaku yang akhirnya seperti keramas dengan cairan manis dari para
kurcaci, dari para putri dan pangeran yang dipisahkan oleh kutukan. Tak ada
keabadian, bahkan dalam kutukan maupun dalam perpisahan. Klise memang, dan kamu
pasti juga berpikir bahwa selama ini kita juga sedang dikutuk dengan perpisahan
oleh nenek sihir.
“Na,
tau nggak, selama empat tahun, aku selalu membayangkan
pertemuan seperti ini…, empat tahun Na….,
bukan waktu yang seb…,”
Cukup, cukup ! Aku
bukan takut mendengar kata-katamu yang terakhir ini, tapi
aku takut di saat seperti ini tak bisa kukuasai
luapan emosiku, di depanmu, terus terang, telah ku usahakan
menyembunyikan warna kesedihan ke titik terjauh
agar insting-insting paling peka-mupun tak bisa
menjangkaunya. Aku ingin terlihat tegar. Bahagia. Kamu
tak perlu tahu detil hari-hari yang kuisi tanpamu.
Hari-hari yang kuperjuangkan dengan dada lapang,
dada yang awalnya kupikir akan rusak parah karena
disana terlanjur ada satu nama yang liar menjulurkan lidahnya kemana
mana. Ke jantungku, ke paru-paruku, ke empeduku, sampai suatu ketika naik
ke otakku. Empat tahun yang lalu, setelah perpisahan kita,
aku selalu berdoa pada Tuhan, memohon tiap hari,
agar aku bisa melupakan semua ini. Aku
seperti orang sakit. Ingin segera sembuh
tapi tak tahu sakitku ada dimana. Bagaimana
mungkin ada rasa sakit sembuh oleh obat tanpa
tahu diagnosanya?
Tuhan ternyata
tak mau mengabulkan doa-doa teraturku yang kurapal
seperti mengkonsumsi resep dari dokter. Buktinya, pernah
Tuhan menawarkan nama-nama lain untuk mengganti
namamu. Aku mencoba mengiyakan, tapi hatiku tak mau. Ia
enggan di lekati nama lain. Sepertinya ia
menganggap nama itu telah menjadi pasangan yang tepat
untuknya. Aku heran, dalam hal ini, aku yang egois atau
hatiku yang egois.
Banyak, sebagian
dari lelaki yang menawarkan harapan kebahagian
itu berkata ada yang tak beres denganku.
Kata mereka aku terlalu naif. kehilangan penalaran. Aku dianggap
seperti anak kecil yang entah kenapa setia
berdiri di pintu yang siang malam terbuka, memastikan diri
menunggu seseorang datang membawakannya buah ajaib
yang ditanam di kebun luar angkasa. Tapi aku tahu dan yakin untuk
bersikukuh bahwa seseorang itu akan kembali. Kalau kini ada
seseorang disamping kehidupanku, dalam keseharianku, aku tahu, itu cuma pelarian atas kejenuhanku.
“Na
?”
“Ya.”
Stage di ujung sana
sedang menampilkan pertunjukkan musik. Suaranya ikut memompa hatiku yang
bergelembung-gelembung. Nyaris pecah. Ya, aku sedikit hafal
lagu itu, lagu milik Ballads of the Cliché,
kalau tak keliru judulnya About a Boy,
dibawakan dengan arensemen akustik, gitar klasik
dan peralatan perkusi yang saling menyahut. Malam makin
teraduk-aduk. Kali ini kutatap matamu lekat-lekat. Begitu dekat.