Saya menulis ini, ketika saya merasa
perlu merayakan diri
saya . di sebuah bantaran
kali, saya duduk
lama. Lebih lama dari
perjalanan siapapun yang merasa pernah menunggu dan
ditunggu. Duduk begitu
saja. Memarkirkan kendaraan. Mengamati orang-orang
yang berlalu lalang, yang
duduk-duduk menghadap air
cokelat sungai , lampu-lampu dan
riak air sesekali
bertukar perangai. Duh,
kepadamu ngilu sunyi saya
ini kenapa tak
juga lekas sampai.
Tanggal-tanggal seperti ikan
yang tak betah pada kedalaman. Yang mesti
sebentar-sebentar menyembul naik, demi
merasakan hal asing. Demi bertarung
dengan mata pancing. Tangan
saya jadi sangat
kerdil. Bahkan tak
mungkin bisa jadi
umpan untuk menarik remah-remah masalalumu
ke atas.
Sebuah ransel mengaku
hidup untuk memeluk
punggung saya. Saya menoleh
ke belakang dan
tak ada siapapun yang
menyerupaimu, atau berpura-pura
menyerupaimu. Cuma ada
berulang-ulang penjual meyodorkan
dagangan; Jagung bakar, es dawet, rokok, dan suara
yang sengaja disayat-sayat
agar saya terharu.
Tapi saya
ke sini tanpa
keinginan apapun selain
membayangkan dirimu. Saya khawatir
ingatanmu terlalu jauh
tersesat. Bukankah tiap orang berkemungkinan berbelok? Perjalanan bisikmu,
selalu menawarkan --yang
iya dan yang
tidak--. Saya kuatir justru
sebab itu kakimu selalu
melintang terengah-engah di
tengah-tengah.
Ingin sekali saya
membacakanmu puisi yang
saya bacakan sore
tadi di sebuah
acara yang diselenggarakan sekumpulan
anak muda. Di pinggiran
kota, yang penduduknya
mengeluarkan asap dari
telinganya dan tak
punya lagi kehendak.
Yang anak-anaknya belajar
bahwa pabrik adalah
nabi-nabi yang akan
membuat mata mereka
selalu suci. Saya ingin sekali
melihatmu berbinar-binar
melihat saya dan
bagaimana saya mampu
mengatasi kesakitan yang
dipercikan seluruh judul
puisi yang pernah
ditulis oleh penyair
manapun.
Hari ini saya
menunggu diri saya
dikupas umur. Saya bersandar
pada sebuah beton
yang belum selesai
disemen. Saya buka
lagi buku yang
kemarin belum selesai-selesai juga
saya baca. Tentang si
kembar Estha dan
Rahel. Tentang komunisme
dan pabrik acar. Tentang
patriarki dan
orang-orang yang mahir
membenci diri sendiri. Saya ingin
masuk ke dalam bagian
cerita mereka dan
menggantikan tokoh jahatnya
yang letih bertahun-tahun merasa
teraniaya denga peran
antagonisnya. Saya ingin
menyampaikan bahwa ini bukan
lagi tentang dendam
dan segala macam
perhitungan. Saya akan
menyarankankan dia berlari
sebelum cerita sempat
diubah lagi.
Orang -orang di kota ini
menginginkan perihal-perihal yang
lekas selesai. Seperti antrean
yang saya lihat
tadi di pom
bensin. Orang-orang berdarah
panas. Saya di sini,
masih percaya bahwa
kebahagiaan masih terbuat
dari air. Maka di
bantaran kali ini,
saya merayakannya. Dan saya
yakin saya tidak
sedang sendirian. Ransel
saya ada yang
menggoyang.
-Selamat ulang tahun, saya-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar