Surat ini
saya buat di malam
ulang tahun kamu. Kamu
yang
lahir 15 Juni
1965, -- ibu saya. Kamu akan
membacanya kan?
Saya sedang
membayangkan rautmu sekali dan
sekali lagi. Masihkah hidung
pesekmu yang sering
saya ciumi itu
kembang kempis ketika
kamarmu saya semprot
baygon. Masihkah wajah kamu yang
kontruksinya tidak pernah layak
ditempati kemarahan itu kamu
usap-usap sehabis kamu
selesaikan satu kuali besar
bubur untuk jualan, saya
masih ingat kok,
nyaris tiap malam
senin—jadwal ayah pulang
dari pekerjaannya yang
di luar kota, kamu sediakan diri kamu
untuk mati-matian berdandan. Melapisi wajah dengan
bedak--memakai gincu—menebalkan alis, memakai
handbody lotion,
memilih-milih gaun terbaik.
Tiap malam senin
ada seorang gadis
remaja 18 tahun di rumah. Demi yang
kamu sebut pacar—ayah saya. Seorang
gadis
remaja yang selalu
duduk dan sengaja
mematikan lampu ruang
tengah untuk menunggu
lelakinya pulang. Betah berjam-jam
memandangi pintu. Menunggu diketuk
seorang. Dan ah, saya tahu. Kamu berpura-pura
tidur, ketika ia datang, memasang raut
muka seperti anak
kecil yang kesal mencari
lantaran kehilangan jepit
rambutnya
Ya, begitu. Saya
senang
sekali diganggu ingatan-ingatan semacam
itu. Tiba-tiba kamu berlari-lari
kecil dari ujung
jalan rumah kita mencari saya
yang bandel dan
selalu mempunyai siasat
menghindari jam salat
dhuhur dan salat
ashar. Kamu akan
mendapati saya tengah
bermain kelereng, kadang di
sawah menarik layang-layang. Kadang bermain kasti
di halaman sekolah dasar. Saya ingat
jeweran-jeweran lembut kamu
di telinga saya. Kamu ceriwis
sekali. Salat itu penting. Salat itu
penting. Saya malah
berpikir, keceriwisan kamu
lebih penting dari
salat-salat itu sendiri. Haha,
saya selalu tertawa
kalau kamu sudah
mengeluarkan senjata; anak
lelaki yang sudah
disunat sudah mulai
menanggung dosanya sendiri.
Bertahun-tahun setelahnya
saya paham, paham
benar apa yang
kamu lakukan itu. Ya, seandainya
diberi otonomi, saya
yakin, kamu akan
mengambil jatah dosa-dosa
saya. Kenapa kamu dan segala
jenis ibu di
dunia selalu bisa heroik? Saya jadi ingin
menciummu.
Saya menulis surat ini, saya
berpikir, dimanapun kamu
berada, kamu akan terus
menunggu kabar-kabar yang
tumbuh di sekitar
saya. Tidak apa, sampai saat
ini saya terus
merasa menjadi anak
seorang penjual bubur. Saya tidak
akan mau diganti dengan
sejarah manapun.
Kamu tahu, ayah
terlihat cepat sekali
tua, begitu suatu
ketika saya dan
adik menggosipkannya. Melarat sekali
kelihatan hidupnya dikuasai jam-jam
kerja. Rambutnya sudah putih uban keseluruhan,
kurus dan kalau
dari jauh terlihat
terseok-seok berjalan. Tapi sekarang
dia memilih membotakki
kepalanya, saya belikan dia
topi, dan dia
senang sekali memakainya,
sampai-sampai tidak pernah
dicuci. Sedikit sekali
saya dan ayah
berbincang-bincang, saya
sendiri juga seperti
ini tidak bisa
banyak diberi waktu
luang. Kadang tiba-tba ketika kami
duduk-duduk malam hari, dia
akan menanyakan pada
saya; kira-kira di sana
ibumu sedang apa
ya,...
Dan saya tidak
bisa berbuat banyak
untuk mengobati kesakitan
semacam itu. Saya memilih
diam. Dalam hati, saya
sayati diri saya
sendiri.
Adik, kamu tahu
adik sekarang? Setelah lama
mengabdi sebagai seorang
pengajar di Madrasah
Ibtidaiyah, dia membulatkan
tekad untuk melanjutkan
pendidikan S-1 nya, dia
mengambil Program Studi
Pendidikan Agama Islam. Katanya sih, dia
tidak mau dong
ketinggalan jauh sama
kakaknya. Tapi saya
salut lho, sama kenekat bulatannya itu,
kamu tahu sendiri
putrimu yang pernah kamu
panggil si kepala
batu itu. (ah, kamu
pasti menangis bahagia
sejadi-jadinya mendengar kata
kuliah, mendengar
anak-anakmu belajar pada dosen,
mendengar kata universitas, mendengar mendengar,
bahwa cita-cita kamu
menyekolahkan anak-anakmu akhirnya,
meski pelan-pelan sekali, kesampaian. Kamu norak sekali
ihh). Ia mengambil resiko,
pagi mengajar dan
sorenya kuliah, capek sekali
kelihatannya dia, kadang mengeluh
betapa sulitnya mengatur
jam mengajar, jam untuk
belajar, jam untuk
mengurusi rumah tangga.
Dan rumah juga
berantakan sekali, wah,
pokoknya benar-benar seperti jauh
dari standar kenyamanan.
Piring gelas kotor di sana-sini,
wajan, panci sampai
berlumut tidak dicuci, sampah berserakan,
cucian menumpuk. Setealah saya
sindir-sindir, akhirnya dia menyerah, dan
memutuskan untuk membeli
sebuah mecin cuci. Hahaha. Dasar putrimu itu ya. Yang jelas, saya
tahu, dia akan
mendapatkan keinginan-keinginannya; yang
memberikan jerih payah lebih,
akan mendapatkan lebih.
Kamu setuju kan?
Mbi-Mbi, cucu
semata wayangmu itu
akhirnya juga yang
jadi tumbal ( atau ini
memang bagian dari
pengorbanan kita untuk
mendapatkan sesuatu?) si
kecil ini nyaris
apa-apa sendiri, padahal usianya
april lalu baru
enam tahun, dia mesti
mandi, makan, bermain sendiri. Kulitnya
jadi
hitam dan jorok. Menyedihkan memang.
Saya sering marahin
adik di bagian
itu. Dan dia
tidak bisa berbuat
banyak selain sering-sering membisikkan ke telinga
mbi-mbi ketika tidur; maafin
ibuk, maafin ibuk, ibuk sayang sama
mbi-mbi.... Waktu saya ke rumah, saya sempat
memandangi Mbi-mbi ketika
tidur. Lama sekali. Poninya seperti
ponimu, bibirnya seperti bibir
kamu,matanya mirip dengan
mata kamu yang
besar kelopaknya, ah, hidungnya
seperti hidung milikmu. Apakah kamu
tidak ingin menciumnya?
Sejak kematian
kamu, saya ingin
terus merasa jadi
anak kecil. Saya ingin
belajar menulis surat
yang baik untukmu. Saya selalu
menunggu, dalam satu
tahun, saya bisa
merayakan sebuah kesedihan.
Beberapa hari lagi
saya juga berulang
tahun. Saya ingin kamu
mendekap saya dan mempersetankan semua
kejadian perih ini.
Selamat
ulang tahun. Bercahaya selalu.
- yang kamu
panggil matahari –
Arif fitramu.
Nb: oiya, ada yang nitip salam
buatmu, dia belum
pernah ketemu kamu
dan kamu juga
belum pernah ketemu
dia, tapi dia
ingin sekali mendoakan. Bolehkan seseorang
yang belum sempat
bertemu tapi punya
niat mendoakan, begitu rajuk dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar