Resensi: The Name of The Rose--Umberto Eco




KUTIPAN BESAR DARI ABAD PERTENGAHAN

Judul: The Name of The Rose
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih
Cetakan:   (I, Maret 2008), (II,  April 2014)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: xxx + 686 hlm.; 20,8 cm.
Judul Asli: Il nome della rosa.
ISBN: 978-602-291-017-6


Di Biara Melk yang terletak di kaki pegunungan Apenia pada bulan November 1327, tujuh bilahan hari tiba-tiba menjadi begitu penting bagi kehidupan Adso—seorang monacella  Fransiskan dari  Jerman. Adso, sebagai juru tulis yang menemani William Baskerville, seorang biarawan Inggris mantan polisi inkuisisi yang ia agungkan sebagai guru bagi sebuah paket dari kebijaksanaan, semangat, dan kecemerlangan dalam berpikir  diutus untuk menyelidiki kematian seorang biarawan yang punya reputasi teratas  dalam hal menggambar ilustrasi buku-buku perpustakaan dalam Biara Melk bernama Adelmo, disamping misi lain dari Raja (Louis dari Bavaria) untuk mempersiapkan pertemuan antara kelompok Paus Yohannes XXII  yang didukung para Dominikan dan kelompok Fransiskan (diwakili oleh Michael dari Cesena) yang meminta pengamanan ketika  nantinya akan pergi menghadap Paus ke Avignon guna  mencari jalan tengah atas pandangan-pandangan reformisnya. Terorpun tak terelakkan ketika satu demi satu rahib biara Melk mati. William dan Adso diseret oleh alur cerita yang menuntut mereka memecahkan kasus demi kasus dengan paparan hipotesa.

“…,demi menyambut saya, pencarian anda terhenti. Tetapi jangan khawatir. Kuda itu lewat jalan sini dan mengambil jalan ke kanan. Ia tidak akan pergi jauh karena harus terhenti kalau mencapai tumpukan kotoran itu. Ia terlalu pintar untuk terjatuh ke dalam lereng yang curam itu…”[hlm 28]. 

Ya, Analisa dari William tentang Brunellus, kuda kesayangan milik kepala Biara yang kebetulan hilang ketika mereka tiba  di Melk menjadi pijakan untuk  mengantarkan pembaca  merunut alur detektif yang membungkus novel   ini. Teknik abduksi, yang menurut ST Sunardi yang menuliskan pengantar, menjadi rumusan  yang digunakan Umberto Eco  di antara  konsepsi deduksi yang sering digunakan Severus dan induksi yang digunakan Adso dari tiap silogisme ketika mengiris sebuah kasus. Bahkan bisa dikatakan, abduksi ini menjadi kerangka besar keseluruhan novel Eco. Lewat bungkus inilah, Umberto Eco membawakan kekayaan Abad Pertengahan kepada pembaca. Eco yang kita kenal sebagai pakar mediaval, dengan begitu jernih menyuguhkan detail kehidupan para rahib,aroma buku-buku lawas, regula biara, wajah kaku polisi inkuisisi, arsitektur-aritektur gotik  yang mengisi lembaran masa itu.  Seakan ingin membeberkan konstruksi semiotik tentang kebenaran dan kebohongan kepada kita  yang kadang  terlanjur dibutakan bahwa cuma  renaisans yang bisa dikeruk dari abad pertengahan. Di dalamnya mudah sekali pembaca menemukan intertekstualitas berupa teks-teks dari Bibel, pemikiran Thomas aquinas, Roger Bacon,  Albertus Magnis, Dante, William of Auckham, dan tentunya gagasan-gagasan  Aristoteles yang pada masa itu menjadi doktrin yang selama berabad-abad  dikristenkan oleh pihak gereja. Seperti kemenjulangan bangunan Aedeficium yang menjadi arsitektur sentral di Biara Melk—dimana  Labirin  perpustakaan tersembunyi, Ilmu pengetahuan berupa kutipan pemikiran dan buku-buku inilah yang juga akan mencolok pembacaan kita. Ilmu pengetahuan yang  dikerubungi oleh kekuasaan agama, kepicikan politik, obsesi individual.

untuk jelasnya,  gereja itu lebih mudah dimasuki, lebih gampang dipertahankan daripada perpustakaan. Perpustakaan itu sudah sejak dulu ditakdirkan oleh keadaannya yang tidak bisa dimasuki, oleh misteri yang melindunginya, oleh pintu masuk yang sedikit. Gereja itu, bagaikan seorang ibu terbuka bagi semua orang pada jam berdoa, selamanya terbuka bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. [hlm 627]

Menyaksikan konflik-konflik yang meruap di dalam novel ini, kita akan teringat  kepedihan intelektual  Copernicus, pada Galileo, juga Luther. Perseturuan  antara agama dan ilmu pengetahuan yang sukar dipadamkan.

The Name of The Rose adalah novel pertama dari Umberto Eco, yang terbit pada 1980 dengan judul Il nome della rose, dialihbahasakan dari versi bahasa Inggris terjemahan William Weaver. Di Italia sendiri, novel ini mampu menembus bestseller dan pada 1988 sudah masuk cetakan yang ke-23. Menurut Eco novel ini berangkat dari sebuah memoar Adso Of Melk—bagian dari manuskrip dari abad pertengahan yang ia dapatkan dari seoarang wakil Abbas (Kepala Biara)  di perancis.  Seperti di naskah tersebut, novel ini juga dibagi menjadi tujuh hari, masing-masing hari dibagi berdasarkan jam ibadat harian: Matina, Lauda, Prima, Tersiat, Sexta, Nona, Vespers, dan Komplina. Dalam catatan terakhir yang terlampir di novel ini, Eco menerangkan, demi mempertahankan suasana abad pertengahan, dia tetap mempertahankan istilah, dialog, logat dalam bahasa latin. Itu juga yang berusaha dipertahankan ketika William Weaver mengalihbahasakannya dalam Bahasa Inggris (juga ke Bahasa Indonesia pada akhirnya), tentu dengan mengupayakan catatan kaki sebagai keterangan untuk memudahkan pemahaman teks.
***

*Arif  Fitra Kurniawan.  Bergiat di  komunitas Lacikata  dan  Kelab Buku Semarang.

Tidak ada komentar: