TIGA SENAR SULAIMAN

Dang ding dung dang ding dung. Selamat siang untuk  si ahli nuklir  yang sekolah sampai tamat dan suka  mengumpulkan barang-barang rongsok dan suka bolos mengaji, sudah  aku gosok gigiku dengan pasta  sambil  mikir-mikir  sampai wajahku jadi jelek diantara  nasib perang di belahan bumi sana. Pasti  gedung-gedung pencakar langit ambruk dan anak-anak menangis Dang ding dung dang ding dung…

“Lagu yang ini   buatmu, ya, ahli nuklir .“
Lingkaran  di depan masjid itu  terbuat  dari  tubuh-tubuh berjongkok  beberapa anak kecil. Sebuah pertunjukkan di antara angin siang  pukul dua yang semribit. Satu  dua lagu berloncatan dari mulut Sulaiman,  menyentuhi  pendengaran milik  Rahmi, Riwayadi, Kurnia, Meno, Jujuk, Ayu dan  Nurul, susup-menyusup  di antara rongga-rongga  rumput yang sebagian  tergencet  diinjak kaki  untuk kemudian merangkaki daun-daun  pisang yang meneduhi  pertunjukkan kecil mereka. Sulaiman ajeg menjadi pusat  perhatian mata jelalatan milik anak-anak. Satu Lagu. Dua  lagu. Dang ding dung dang ding dung. Jarinya  begitu sakti  memiuh  senar-senar dari kotak musiknya. Kotak dari  papan kayu sengon. Kasar, terlihat diamplas seadanya. Senar dari  bekas ban dalam  sepeda motor. Tiga senar. Cuma tiga senar dalam dang ding dung dang ding dung.


“Mau kemana, Sulaiman?”.  Rahmi berdiri lantaran  Sulaiman berdiri.
“Mau kencing, bu Dokter,” pangkas  Sulaiman sambil  meletakkan piranti musiknya, melipat celana  panjang berbahan linen kasar sampai ke lutut. Meninggalkan Rahmi yang tertawa. Meninggalkan kegembiraan yang  tiba-tiba patah tak terurus.  Anak-anak mengekor ingin tetap menyambung kegembiraan tersebut.

Sulaiman tak pernah memanggil anak-anak ini dengan nama mereka.  Rahmi sengaja ia  panggil  Ibu dokter, Ramdhani  ia  panggil  Letnan Dua, Tukang Las Kapal  Tanker,  ia berikan  sebutan itu untuk Kurnia.  Ayu si  Ahli nuklir, Jujuk ia panggil dengan Gelandang Kanan Berbahaya( Meski teman-temannya merasa jijik sebenarnya, lantaran Jujuk ngotot ingin jadi pesepakbola  perempuan).Tak ada yang sama. Sulaiman biasa memanggil mereka dengan cita-cita mereka.Dan anak-anak senang dipanggili begitu.

“Lho, kalian mau kemana?”
“Mau menyunatimu, Sulaiman,  hihihihi…” sambut mereka meminjam  sorak sorai  pendukung sepakbola yang  tak pernah menginginkan hati tim pujaannya jatuh sakit  dikalahkan musuh manapun.

***

Meski mungkin dalam  sikap kekakuan, Sulaiman mengagumi  mereka: setan-setan kecil itu. Sepaket dengan  perilaku mereka. Itu sebabnya Sulaiman tak keberatan menjatahkan  waktunya lebih lama di kampung ini tiap ia berkeliling melunaskan pekerjaan sehari-harinya mengamen. Kampung-kampung lain, entah kenapa tidak memiliki anak-anak sebanyak ini. Kadang  Sulaiman ceroboh dengan berpikir, jangan-jangan kampung-kampung lain memiliki program KB yang ketat. Hingga yang ia temukan cuma orang-orang dewasa.  Sulaiman jengkel dengan orang-orang dewasa seperti dirinya karena, hal yang jauh dari nalar mungkin, mereka, orang-orang dewasa  tidak lagi punya cita-cita.

Anak-anak mencintai   Sulaiman. Mungkin dengan cara mereka yang konyol. Mencintai lagu-lagunya, mencintai kotak musik dengan tiga senarnya. Mencintai topinya yang dipakai miring ke kiri. Mencintai gigi-gigi hitam Sulaiman yang gigis. Mencintai ceritanya yang ngalor-ngidul. Mereka akan berjam-jam berdiri sampai kejang kaki  demi menyegat Sulaiman di  serambi Masjid. Melongok-longok menunggu  tubuh Sulaiman  dari jauh terseok-seok. Ada yang tidak bisa digantikan oleh apapun ketika  Sulaiman melambaikan tangan sambil nyengir ke arah mereka.

Meski tidak  dengan  alasan yang jelas, orang tua dari anak-anak di kampung ini selalu mengingatkan untuk tidak  berkarib dengan Sulaiman. Sulaiman itu gendeng, kata  bapak Nurul . Tapi Nurul lebih percaya dengan cara tertawa Sulaiman  daripada  kata-kata kasar bapaknya. Tertawa Sulaiman  tidak sama dengan tertawa milik orang gila. Nurul pernah, dengan mata kepala sendiri, menyaksikan lelaki gila  yang telanjang  di jembatan waktu diajak ibu ke  rumah  Bude Marni. Dan orang gila yang telanjang bulat itu sama sekali tidak tertawa.  Ia cuma menggerak-gerakkan  bibir sambil memencet-mencet alat kelaminnya, memutarnya ke kanan dan kiri seperti gerakan bandul jam antik.  Barangkali ingin memamerkan pada dunia bahwa perangkatnya hitam dan besar.  Nurul memang  tidak bisa lama mencermati  gerak-gerik si orang gila  ketika itu lantaran  ibu menutupi matanya dengan jari-jari  tangan sambil menyeretnya  menjauh dari jembatan. Jorok, begitu kata ibu.   Sulaiman memang berkulit  hitam, tapi dia tidak pernah pamer alat kelamin dan tidak jorok. Begitu  Nurul membuat kesimpulan.

…oooooo, rintih siang ini menggelora di dalam pohon-pohon bersama Bapak Presiden  bersama  cita-cita Nurul dan kenapa aku tidak tahu yang diucapkan semut , jauh di dalam hati  aku menjawab bahwa astronot   tidak selalu berbaju putih maka dari itu  Nurul harus membelikanku es ganepo hahahaha  gajah-gajah  belai-belai belalainya tapi Nurul juga tahu bahwa gajah nggak bisa dong menginjak semut ooooo aku haus sekali Letnan kenapa kau   perintahkan  kepada  serdadu-serdadumu  untuk berperang pake sandal jepiiiitttt …

“Sulaiman, sekali-kali, nyanyikan buat kami dong, lagu  pendek yang bisa kami ingat!”  Ramdhani meminta  dengan suara yang terdengar lebih mirip menghardik daripada meminta.
“Tidak bisa, Letnan.”
“Cobalah, kalau begitu,” sambung Kurnia.
“Sungguh susah, Tuan Tukang Las kapal Tanker…”
Mereka tertawa.
“Ayolaaaaahhhh….”

Ya, ada yang khas  dari lagu-lagu  Sulaiman. Lagunya tidak pernah ia ulang.  Dalam selang seling dang ding dung dang ding dung senar ban dalam sepeda motornya, lirik-lirik lagu Sulaiman begitu liar,  benar-benar tidak bisa ditangkap oleh daya ingat siapapun dengan utuh. Selalu berganti kata-kata.Mungkin sebagian orang bisa lekas mengikuti ketika  dalam Bis AKDP , seorang pengamen menyanyikan lagu Iwan Fals atau Franky Sihalatua.  Liriknya menyentuh, berima dan mudah meninggalkan gaung di ingatan. Tapi lirik-lirik lagu Sulaiman  ibarat pembalut wanita.Dipakai sekali, sehabis itu ganti lagi.Orang yang baru  sekali mendengarkan Sulaiman menyanyi akan menganggap Sulaiman  kurang waras. 

“Apakah kalian jenuh dengan lagu-laguku?”
Anak-anak  menggeleng menjawab Sulaiman. Sulaiman  masih  membetot senar paling bawah, menyisakan nada ding ding ding ding  sebagai  nada yang terdengar seperti ingin mengantar sebuah pertunjukkan  pada  sesi kesedihan sebelum layar ditutup.

ding—ding—ding—ding—ding

Apakah anak-anak ini sudah enggan mendengar suaraku, ia ulangi pertanyaan itu dalam hati. Perasaannya sebagai laki-laki kini diuji.Selama ini, di tengah-tengah anak kecil ini, Sulaiman adalah bintang panggung. Anak-anak ini benar-benar penonton yang menikmati pertunjukkan yang ia suguhkan. Dan itu tidak ia dapatkan dari orang-orang dewasa. Yang mendengarkan suaranya sebentar kemudian buru-buru melemparkan uang lima ratusan. Uang 500 rupiah itu ingin mengganti kalimat:lekas pergi, brengsek, suaramu mengganggu.

Sulaiman, laki-laki  empat  puluh tahun merasa sinar terangnya sebagai bintang dipereteli dengan paksa. Bintang  tanpa sinar apalah artinya, melas Sulaiman.

Raut milik Ripin, anaknya  yang  mati  diserang demam di usianya yang ke tujuh menempel begitu saja bersama perasaan getir. Tak bisa diusap.Tak bisa dijauhkan. Dulu, Sulaiman menganggap bahwa sinar dari bintang-bintang menempel di wajah Ripin.  Setelah kematian Ripin, Sulaiman ingin menempelkan percikan sinar bintang-bintang itu ke dalam  senar dan nyanyiannya. Dia terus menyanyi mengalahkan ingatan yang tidak mengenakkan: bahwa dia mesti kehilangan.  Jangan begini terus, pak, keluh  Yulinar, istrinya, ketika kematian Ripin sudah menginjak dua tahun, sementara Sulaiman masih tetap saja menyanyi sambil  memetik ketiga senarnya. Dan akhirnya istrinya yang cantik itu tidak tahan dengan perilakunya. Berat pak,  dengan keadaan semacam ini, kau lebih mencintai senar dan nyanyianmu ketimbang aku,  ucapan istrinya terakhir kali sebelum meninggalkan rumah. Sulaiman memaklumi semuanya. Apa yang bisa aku lepas?, apa yang bisa aku pertahankan?, jauh  di dasar  perasaan yang tercabik-cabik, dia mengucapkan  dengan  jernih kalimat  tanya tersebut untuk dirinya sendiri.

***

“Heh, pulang, bocah-bocah tengik, belum ganti seragam, sudah keluyuran!”
Nurul  bukan main kaget bapaknya muncul dari balik gang. Di belakangnya banyak sekali  laki-laki membawa pentungan,botol-botol kecap dan beberapa menggenggam  batu-batu.
“Pulanglah, kalian, makan siang dulu.”  Sulaiman menatap satu persatu mata anak-anak.
“Heh, Sulaiman, kalo ngamen yang bener, jangan kau racuni anak-anak ini dengan tabiat burukmu, dasar tidak waras!”Bentak seseorang lagi dari jauh.
Sulaiman memandang  ke arah orang-orang itu, memandang kepala-kepala mereka yang dari belakang  disorot  terik matahari yang tak punya belas kasihan.
“Pulanglah”
“Tidak mau”
“Pulanglah”
“Tidak mau!”
“Mau kalian apa?”
“Ingin mendengarmu  menyanyi terus, Sulaiman…”

Sulaiman  memiringkan topinya lebih ke kiri. Memejamkan mata. Jari-jarinya bergerak meremas tiga senar dari kotak musiknya untuk kemudian…menyanyi lagi. Meluluskan apa yang anak-anak minta.Meluluskan  hati dan pikirannya untuk terus diselimuti cahaya terang.

Dang ding dung dang ding dungnya  timbul tenggelam di antara derap kaki yang kian mendekat.

(Semarang, Juli 2014)




Tidak ada komentar: