Roadkill



ROADKILL
(Romesh Gunesekera*)

Malam pertama  tiba di Kilinochchi aku masih saja merasa cuma setitik perasaan kuatir yang begitu kecil. Lantaran nyaris semua dari yang tinggal di Srilanka bagian selatan memang berpikir  kota inilah  yang menjadi  jantung  nadi dari bermacam teror. Sebagaimana ujar Tuan Wahid, lelaki Malaysia yang menjadi penumpang pertamaku, bahkan meski dalam bahasa Inggris, perumpamaannya masih saja terdengar begitu keji— Kota ini kota  dimana kau bisa mengangankan  seorang   Clint Eastwood merangkak masuk untuk menumpuk persediaan senjata bersama pembunuhan tak masuk akal sebelumnya. Namun  kenyataannya memang begitu, bertahun-tahun Kilinochchi  menjadi ibukota  gerakan merdeka Macan Tamil. Di sinilah orang-orang Macan Tamil  mendirikan  pusat administrasi publik, kantor sekretariat, juga gedung konferensi.  Di Kota inilah, tempat di mana Perangko Macan Tamil, L.T.E.E  Travel Passes, G.C.E School-Exam Papers, ranjau darat, dan granat loreng hitam pernah dibuat. Bank orang-orang Tamil juga ada di  sini, dengan gaya khas bank Swiss, sebelum akhirnya hancur mengenaskan  akibat  perang saudara. Inilah tempat yang kemudian Macan Tamil luluh lantakkan, mereka menumbangkan menara air dan membumi hanguskan bangunan-bangunan kota, sebelum evakuasi ke hutan dilakukan oleh barisan serdadu tentara Srilangka, perangpun meledak, demi pertikaian pada bulan Januari tahun 2009.

Sekarang, dua tahun setelahnya, aku telusuri lagi jalanan, yang sesak oleh celeng-celeng dan hewan pengerat, meluncur sampai  depan penginapan The Spice Garden Inn, perkiraanku, bisa jadi inilah wujud  inkarnasi terakhir dari  Hotel Colombo: Sepupu dari utara yang memacak diri dengan bendera warna-warni, kaca mata hitam, serta pita-pita. Sebuah kafetaria yang dinding kacanya berkilau, serta meja penerima tamu yang dipenuhi manggar kelapa dan bunga bugenvil. Aroma pernis, obat pembasmi serangga,  dan aroma daun karapincha yang digoreng dalam minyak wijen meruap dari jejak lama seekor kucing. Penginapan ini seolah sedang memberi percikan sinyal sebuah   era baru kepada  kota yang usang.

Adalah Nyonya Arunachalam, perempuan dengan umur kandungan tujuh bulan dan duduk mengangkang di kursi tengah taksiku, mendambakan sebuah tur singkat delapan jam  ke Jaffna. Seperti seekor semut dalam lajur gundukan gula pasir.  Memang semestinya ia tidak perlu mengunjungi semua tempat, itu cuma akan membuatnya muntah dan jatuh pingsan, suaminyalah yang sebenarnya mendesak nyonya Arunachalam untuk memperlihatkan kepadanya sebuah properti yang berhasrat ia beli untuk ia bangun sebagai rumah baru mereka, itu sebabnya Nyonya Arunachalam mau tidak mau mesti datang ke sini.

“Vasantha, tolong lebih pelan ketika menyusur tikungan, bisa?” dia masih saja bicara, dalam nada rifrain yang menyebalkan, diulangnya terus sejak kami meninggalkan Rajagriya tadi.

“Baiklah, Nyonya.”  Aku ulangi saja lagi. Baik. Baiklah. Baik. Ketika  baru saja kulewati tikungan tajam.

Terlihat dia terlampau girang ketika dilihatnya berwarna-warni bendera dan pita-pita. “Itu, itu tempatnya. Yang   kita pesan untuk bermalam kan, Kollu. Keren ya?”


Suaminya yang bersandar di jok depan, melongok. “Tentu saja,  kau  akan istirahat  dengan nyaman di sini.”

Maka kemudian dalam setengah jam, mereka larut dan takluk oleh kekuasaan semangkuk  kare ayam lantas beringsut  pergi melangkah ke lantai  atas meninggalkan sisa sendawa dan percikan hasrat percintaan. Sementara itu aku berjalan ke Kafetaria, yang lengang tak berisi apapun, kecuali  kesuraman yang merangkak di dinding dan  seorang lelaki pramusaji  terlihat sedang memijat-mijat lehernya.

“Silakan. Ini makan malamnya.” Dia menunjuk tepat ke mangkuk kare dan bakul berisi nasi. Sejatinya orang ini lebih layak bekerja sebagai polisi lalu lintas saja ketimbang jadi pramusaji, kaku, seperti salah satu tipe robot yang biasa kami miliki sebelum kami mengubahnya jadi ungkapan  lebih modern dari kegilaan terhadap batu-batu fosil berwarna merah-amber-hijau.

Aku ambil sendiri  sebuah piring untuk menaruh sepotong ayam bertulang dan dua kerukan nasi. Aku sudah letih jadi tak ingin menjadi lebih tambah buruk dari ini.  Salah satu hal yang kau ingat ketika kau mengemudi dan mengunjungi negara demi negara adalah keberagaman yang mungkin terjadi pada hal sepele semisal nasi. Kadang akan terasa seperti kau sedang mengunyah kerikil saking kerasnya; di lain waktu bisa jadi  akan terasa seempuk kapas. Di penginapan Spice Garden Inn, nasi pastinya seperti batu. Namun setelah kecamuk perang dan pertempuran demi pertempuran di kota, sangat mengejutkan ketika masih ada nasi yang utuh. Ingatan tentang  peluru dan mortir di bagian ini begitu mengenaiku. Sepertinya aku perlu minum seteguk dua teguk bir.

Aku meminta sebotol kepada pramusaji, sambil  angin-anginan menanyakan bir jenis apa yang mereka punya.

Dia masuk dan menghilang ke  belakang. Ketika kembali, sudah dia bawa  Three Coins ukuran besar menggunakan sebuah nampan logam sementara tepat di belakangnya seorang perempuan muda dalam balutan celana panjang abu-abu melangkah. Separuh melintasi ruangan, perempuan itu menyalipnya, mendorong pelan-pelan sebuah kursi besi yang menghalangi jalannya dan  berhenti di depan mejaku.

“Selamat datang.” Dia merekahkan potongan bibirnya untuk tersenyum,  gurat ototnya terlihat  berdenyut sebentar di mulutnya. Sepasang mata miliknya  seperti sedang memastikan secara teliti dimensi  ukuran dari kepala, leher, dan dadaku. Dia mengawasi posisi lenganku dan bentuk kuku jari-jariku.

“Dari Colombo kah?”
Aku mengangguk. “Jaffna tour.”
“Ya, Ini  memang tempat tepat untuk rehat selama  perjalanan.”
“Begitulah yang mereka mau. Rombonganku butuh banyak istirahat.” Kutepuk perutku layaknya perempuan hamil menandai bayi di dalam rahimnya. Puk. Puk.
“Para sopir juga harus istirahat. Seharian ini mengemudi terus kan?”

Aku cuma mengangkat sepasang bahuku. Ketika kau di dudukkan di jok pengemudi, seluruh masalah akan serta merta datang dan menghardik matamu untuk tetap terbuka. Mungkin tidak seluruh masalah, melainkan hal-hal penting saja. Selama perjalanan-perjalanan hampa ke utara ini, kecepatan dari  gerak refleks jadi tak begitu penting. Toh kami sudah tak lagi dalam peperangan.

“Ini tempat yang bagus.”

Dia menatapku, menimbang-nimbang dan mencoba menebak apakah aku bisa dipercaya atau tidak. Ah jika saja itu penting. “Saya assisten manager di sini. Saraswati. Tugas saya menjadikan Hotel ini diterima oleh segala kalangan, hingga mereka yang melakukan perjalanan ke Jaffna akan rutin singgah menginap di Hotel ini.” Dia berhenti sejenak kemudian melanjutkan. “Untuk sarapan, makan siang, makan malam, atau hidangan larut malam, jangan khawatir, kami sanggup melakukan apa saja demi tamu.”

Tak ada sedikitpun keraguanku pada ucapannya. Dia cekatan, meskipun menurutku, tetap saja  perlu mencari tukang masak yang jauh lebih mahir menanak nasi dan membuat kare.

“Apakah kamu lulusan Sekolah Perhotelan? Katering dan Manajemen?” Orang-orang yang memiliki  jauh lebih banyak pengetahuan   dalam kehidupan mereka ketimbang aku selalu saja membuatku terkesan.

“Kami sudah banyak mendapatkan pelatihan.” Dia mempersilakan pramusaji menaruh nampan dan menuang separuh isi  bir ke dalam gelasku. “Kami diharuskan untuk selalu siaga dalam segala situasi. Jika kami selalu konsentrasi, masalah-masalah yang datang akan mudah kami atasi. Seluruh masalah.” Dia menampilkan ketegasan yang dimiliki beberapa wanita ketika mereka pikir sudah kehabisan waktu.

Aku menunggu buih bir mereda di gelas. “Memulai sesuatu seperti ini pastinya susah. E.T.s sedang merangsek ke bagian Selatan Srilanka seperti semen meluncur dari sebuah pipa, namun di sini segalanya masih lokal, bukan begitu?”

“Semen?” Dia tampak kebingungan “E.T.s?”

“Katakanlah itu bir atau air putih, tapi aku berpikir hotel-hotel baru  dibangun dan seluruh turis Eropa, bahkan orang-orang Nordik, sekarang senang sekali menjemur diri mereka di pantai.” Sebagaimana kubilang, itu terjadi padaku bahwasanya gambar yang sedang aku lukis barangkali memungkinkan aku membayangkan  sebuah tempat pembuangan material bom. Kuteguk sisa bir dari botol dan menuang sisanya ke dalam gelas, dan kelewat terlambat menyadari--sebuah sopan santun, mestinya aku tawarkan sedikit birku kepadanya. Terlambat. Sudah tandas.
“Apa Kau dari Kilinochchi?”

“Ya, sekitar  wilayah  tersebut.”  Dia mengusap-usap pelan kepalanya. “Awalnya aku ke Jaffna kemudian datang ke sini.”

“Kuliah?” Aku mananyainya dalam nada kekaguman.

“Semacam itulah.”

“Karena, dari—“

“Ya.”  Kata  Ya-nya begitu cepat dan anehnya tepat. Dia tak sekedar memiliki ketenangan dan ketabahan tanpa sedikitpun terlihat gugup, seperti seseorang dari sekelompok balerina yang unjuk kebolehan dalam acara Bholsoi on TV. Tiap gerakannya terlihat disusupi  tujuan yang begitu besar.  Penginapan Spice Garden tentunya beruntung memperkerjakannya: tak mungkin salah jika dia kerja di sini.

Sementara si pramusaji, yang sudah melangkah ke ruang belakang, tiba-tiba menyentak. “Tikus werok,” dengan suara melengking.  Nona Saraswati beranjak dari duduk dan melangkah tenang. Seekor werok kecokelatan njrantal melintasi lantai tak jauh dari pojok ruangan. Nona Saraswati  mendesis  tajam. Kemudian hening dan dingin untuk sementara waktu. Dan tiap hal seperti dimulai dari ujung lagi, dia menyambar begitu saja  leher botol birku  dan mencampakkannya. Botol menggasak si werok  sedemikian keras hingga tercipta bunyi gedebuk di tembok. Botol menggelinding, namun tak pecah.  Sementara tengkorak kepala si werok remuk.

“Lekas bakar.” Dia memerintahkan si pramusaji. “Pakai plastik kresek. Cuci bersih tanganmu sesudahnya.” Dia beralih menatapku. “Maaf ya. Akan saya ambilkan lagi birnya.”

Aku memandang takjub ke Nona Saraswati. “Apa itu semua kamu dapat di Sekolah Perhotelan Jaffna?”

Sementara  dia mengambil bir yang baru, aku duduk dan meratapi makanan di piringku. Aku tak menghiraukan werok-werok, pun pembantaiannya;  aku justru terkesima dengan cara perempuan itu beraksi. Keakuratan dalam melemparkan botol tadi sungguh luar biasa.

Ketika dia kembali, senyumnya yang ramah sudah kembali ke tempat asalnya—bibirnya. “Maaf ya,” dia meminta maaf lagi dan menempatkan botol baru di hadapanku. Kemudian dia  duduk. “Silakan dinikmati.”

Kusorongkan jauh piringku.
“Kenapa? Tidak tertarik sekarang? Jangan cemas, tadi sudah mati kan?”

“Baiklah aku makan.”

“Banyak sekali werok-werok di kota ini, tapi kami berupaya keras menyingkiran mereka dari tempat ini. Akan kelihatan tidak bagus ‘kan jika dilihat oleh tamu.”

“Iya sih, benar. Tamu akan terganggu pastinya.”

“Biasanya Anjing-anjing yang mengusirnya.”

“Ya, anjing-anjing memang berbakat.” Pernah Kumiliki seekor anjing, jenis anjing Terra. Yang kudapat dari seorang lelaki Denmark bekas Bosku ketika di Colombo. Ketika akhirnya di pindah tugaskan ke Laos, dia mengeluh sebab  tak mungkin membawa serta teman kecilnya tersebut. Lantas aku menawarkan diri untuk merawat anjingnya, dan ketika kukatakan kepadanya bahwa aku tinggal di rumah yang memiliki halaman cukup luas, dia setuju. Tapi sekitar setahun kemudian anjing itu mati.  Pada suatu hari si anjing bermain-main keluar jauh melewati pagar rumah dan dia tertabrak sebuah mobil cavalcades dalam sebuah arak-arakan rombongan para menteri. Lama. Itu terjadi sudah lampau sekali—dan pastinya hal tersebut bukan kekeliruan dari pemerintahan yang sekarang—dan tentu, aku juga tak akan membeberkan hal remeh ini jika Nona Saraswati tak menanyakan soal anjing.

Dia mengangguk, kendati pembunuhan kecil merupakan bagian alamiah dari politik sebagaimana manajemen hotel.  Dia menarik keluar salah satu  serbet kertas dari  cantelan yang ada di atas meja, dan dengan pelan-pelan melipatnya seperti kain kafan. “Anda harus menguruk yang telah mati, kemudian melangkah.”

“Kubur atau bakar maksudmu? (bury or burn?)

“Apa bedanya, masalahnya adalah apa yang kemudian Anda bawa.” Bibirnya mengatup rapat sementara apa yang aku pikirkan adalah sebuah hantaman luka bercampur kemarahan. Aku menebak jika dia sebenarnya tidak sekedar sedang membicarakan tentang tikus atau anjing-anjing.

Aku ingin memahami semesta  di seberang  tempat kami berpijak. Tentang negeri-negeri jauh  di mana orang-orang memiliki tabiat berbeda-beda. Girang mendengarkan tentang makanan mereka dan pakaian-pakaian mereka.  Bagaimana cara mereka mengakali musim dingin dan musim hujan. Atau menikmati cara mereka menyetir di lajur jalan yang berbeda. Senang sekali rasanya mengantarkan turis-turis asing lantaran itu memberiku sekilas pengetahuan dari sebuah tempat yang mempunyai perbedaan dalam sentuhan, rasa, bau-bauan, musik, dan pemandangan yang lain dari tempatku bermukim. Aku memperhatikan bagaimana mereka duduk, bagaimana mereka melangkah, bagaimana mereka berbincang-bincang, dan berupaya belajar memahami apa sejatinya yang mereka ingini dari yang minggat pergi dan yang datang kembali. Mereka tak semata-semata didikte oleh ledakan hasrat untuk merasakan sensasi bersenggama di tempat baru. Sebagian dari mereka serius ingin tahu tentang kultur dan sejarah kami dan apa yang sebenarnya membuat kami hidup dengan cara seperti ini. Termasuk  aku. Kadang aku juga tak tahu bagaimana kami bisa mengatur ini semua.  Sedikit sekali yang kami ketahui, dan kami paham bahwa pengetahuan yang sedikit membuat segalanya amburadul. Nona Saraswati memantik kekaguman sekaligus rasa penasaranku. Seolah dia  datang dari tempat-tempat jauh yang asing; bukan dari Killinochi, bukan dari sebuah sekolahan di Jaffna, tidak darimanapun di lingkungan ini namun dari suatu tempat  yang kelam, yang curam dan dipenuhi penderitaan. Sebuah tempat yang melampaui kegelapan alam baka di ujung sebuah pekarangan, dimana bahkan sinar bulan tak bisa menyentuh. Yang pasti, aku memang bukan penunjuk jalan-nya; Dia benar-benar lekat menjadi milikku; yang pada akhirnya seperti kaus kaki  membungkus sepasang tumit yang tak cocok, jika kau tahu apa yang aku maksudkan. Tapi, aku masih saja ingin terus tahu tentang dirinya.

“Keluargamu? Apa mereka juga di sini?” mungkin cuma kata tanya macam ini yang memberiku tempat untuk memulai lagi, menurutku.

“Sebelum ini, apakah Anda pernah mengunjungi tempat-tempat di sini, Tuan Pengemudi Taksi--?”
“Vasantha,” kataku, dan langsung aku tambahkan,”baru saja aku susuri jalanan Jaffna tadi.”

“Lalu, Anda juga semestinya paham, tindakan paling baik adalah tidak bertanya tentang keluarga. Tak perlu bertanya tentang Ayah, Ibu, Adik, atau Kakak.”

“Kenapa begitu?”
Dia menatapku, seoalah aku adalah sebuah ingatan yang pernah hilang dari dirinya. “Setelah perang terjadi, yang terbaik adalah diam dan tak bertanya tentang masa lalu.”

Aku pikir itu keliru.  Sehabis bencana—yang  Pasti atau Semestinya, bagaimana hal-hal lain akan kita ketahui bahwa semuanya benar-benar sudah terjadi? Seandainya pun kita tidak tahu, apakah itu tidak akan terulang? Dalam tiap-tiap penilaian, kita semestinya tidak membiarkan perang atau dekrit politik setengah matang merusak tradisi  asli kita yang selalu penasaran dan mudah berjanji. Tapi tak aku ungkapkan ini padanya. Dia terlihat sebagaimana dalam perbincangan semenarik seperti yang baru saja dia jalani, dan bahkan kemudian dia mengambang di antara beberapa tempat yang jauh. Pelatihan Keramahtahaman, yang aku bayangkan, mungkin bisa membantu melapisi perasaanmu dengan sepotong senyum dan mengelap permukaan kulit luar hingga terlihat  lebih dari sekedar baik-baik saja, bahwa Srilangka, dari turis asing yang bercerita kepadaku, elok sekali dalam berdandan. Namun dalam kasus Nona Saraswati, pelatihan tersebut tak sesempurna yang aku kira. Dia tak pernah bisa tulus. Dia mungkin bisa menyelimuti dirinya dengan kepura-puraan, dan tak mampu melakukan hal lain selain itu. Bayangkan saja, dia,--Saraswati;  memiliki nama belakang dari Dewi Ilmu pengetahuan, namun sepertinya dia tetap saja mengimani bahwa kebebalan adalah kebahagiaan.  Ketika melangkah mendekati pintu, aku memperhatikan setoreh parut bekas luka yang tebal dari kulitnya yang menyembul di dasar  kerah leher. Ketika dia kembali, sudah tertutup   kerah dan tersembunyi lagi.

Di ruanganku mengemudi seperempat bagiannya aku buka. Beberapa tetes minyak lengket terlihat berkilau sepanjang beranda yang digunakan untuk menghalau nyamuk. Yang terdengar cuma dengung yang menyebar dari kejauhan. Kapanpun aku mengangkut penumpang turis asing di malam hari, melintasi negara ini, mereka selalu saja berkomentar betapa gelapnya ini semua. Aku lantas biasa balik berpikir, Baimanakah kondisi di tempat mereka? Tapi, sudah aku katakan ini berulang kali, aku sudah menyaksikan banyak hal melampaui pandangan mereka, dan bagiku, sungguh, malam di luar Colombo sekarang memang  begitu gelap. Kegelapan seperti tinta hitam sedang merembes masuk ke mata dan kepalaku. Tak ada bedanya yang terjadi di dalam diriku atau di luar diriku. Itu mengarahkanku pada bayangan akan kematian, yang  tak berujung dan tak ada yang seseorangpun terlihat bisa menolong. Susahnya kemudian,  adalah kesulitan dalam berpikir perihal di luar itu. Seks, yang menjadi penawarmu atas kekuasaaan masa remaja, cuma mampu mengikatmu ketika kau  terpenjara dalam sebuah ruang kemudi di tengah-tengah padang tak bernama; dan politik, hasrat dasar lainnya, adalah bagian kecil sebuah mimpi buruk saat-saat ini. Kejahatan—maksudku adalah cerita-cerita tentang kejahatan, bukan unsur kejahatan itu sendiri—adalah karya hebat, dan aku lebih suka lagi cerita-cerita tentang kejahatan dari Inggris atau Amerika. Bollywood biarlah memiliki sisi musikalnya, namun Pinewood dan Hollywood mengusai sudut cerita-cerita kriminalnya. Jadi sebuah DVD bajakan adalah sebuah gagasan cermerlang. Tapi itu jika kau memiliki perangkat pemutar musik yang mumpuni. Aku sedang merencanakan tentang bagaimana mendapatkan pemutar DVD portabel; aku cuma perlu beberapa kali mendapatkan tips yang besar untuk mengantarku dalam posisi demikian.

Tapi untuk malam ini, dalam balutan tinta kegelapan di Kilinochci, semua hal ini mulai bersekutu: politik, sejarah, bahkan birahi, dalam bentuk Nona Saraswati, terikat dalam potongan-potongan dan kematian. Kita semua memang memiliki  masa lalu pribadi, setumpuk pikiran, naluri, perasaan,  rasa kecewa yang tak bisa dijangkau oleh orang lain. Itulah kehidupan. Akan tetapi dalam kasus Nona Saraswati, terlihat olehku, ada sesuatu yang  sengaja disembunyikan. Wilayah yang dijaga ketat. Menurutku itu memang sesuatu yang wajar.  Namun tetap saja terlalu banyak batas larangan. Ada begitu banyak hal yang tidak layak kami bicarakan, hal-hal yang tidak saja terlarang untuk diingat namun di sisi lain mesti dengan segala kewaspadaan dilupakan. Tempat-tempat di mana kita terombang-ambing, segala kenangan yang kita kubur atau kita bentuk lagi. Begitulah cara kita mempertahankan hidup hari ini: menyusuri sebuah jalan di antara halusinasi dan amnesia, selama kau terus bergerak dan melangkah, maka kau akan baik-baik saja.—kau telah memutuskan jalur yang aman, untuk saat ini. Yang cuma berlaku ketika kau memutuskan sebuah pemberhentian seperti ini, di malam gelap dan tepat di tengah-tengah dari bagian yang tak bisa kau namai, yang memberimu rasa ragu-ragu dan kau terus bertanya-tanya tujuan dari  jalan tersebut. Kau duduk dalam kemuraman, teramat takut kepada hidup yang pernah kau telantarkan juga hal-hal yang  tak  bisa kau lakukan dalam hidupmu tersebut. Kau cuma bisa berharap segalanya berlalu dan tak menjadi masalah, meski kau tahu itu cuma sekedar cara kita untuk menghibur diri.

Seperempat ruang-ruang karyawan Spice Garden Inn, atau  paling tidak ruangan untuk pengemudi, dibangun dengan sebuah kebijakan yang lalim. Ranjang, meja, bangku, jendela, tikar, lampu. Dindingnya yang baru saja dilabur. Kuning di ruang yang aku tempati, hijau di ruang sebelah. Belum terdapat ventilasi udara. Ruangan-ruangan seperti dirancang oleh seseorang yang tak akan pernah menempati  ruangan yang meraka rancang. Perkakasnya sebenarny tak begitu menjijikkan, jadi sungguh sulit bahwa ini adalah sesuatu yang cacat. Seluruh yang aku tahu adalah perbedaan yang dapat membuatku merasa berada diantara rasa nyaman dan tak nyaman. Antara angan-angan dan kenyataan. Gambaran seperti ini cuma bisa aku tampilkan seperti  apa yang pernah aku  dengar, seperti halnya di Republik Sosialis Uni Soviet sebelum masa perestroika. Kau tahu sesuatu keliru, namun kau tak tahu bagaimana memperbaikinya.

Aku melangkah keluar untuk menyulut rokok. Aku bukanlah perokok berat, namun ada saat-saat dimana aku begitu perlu mengisi paru-paruku dengan racun. Jika rasa sakit itu ada, aku akan mengundangnya.  Menjadikan itu bagian dari diriku dan aku dapat melakukan sesuatu bersamanya.

Kemudian tiap sudut jadi sedemikian mengabur. Aku melangkah sepanjang beranda dan di atas setapak diantara cahaya dan kegelapan, kemudian keluar menuju taman, dimana aku mendapati kegelapan berusaha mencaplokku, namun sebuah percikan yang berasal dari langit terlihat menyebar membentuk jaring-jaring keperakan. Mengalahkan percik api rokok yang aku sulut. Setelah sekali dua kali hempasan aku letakkan rokok dan aku menunggu sesuatu. Lantas aku melihat perempuan itu. Dia berada di atas balkon penginapan. Sebuah siluet yang lebih kelam dari kegelapan, tak salah lagi, itu Nona Saraswati. Menatap jauh ke halaman, seperti penjaga dari mimpi-mimpi. Pelan-pelan ia menggerakkan lengannya. Ketia ia luruskan lagi, dia menggenggam sesuatu. Terlihat seperti sebuah revolver, tetapi ketika dia menarik klik pelatuknya sependar sinar keluar tertumpah. Dia berlari sepanjang tepi dari kebun dan mengendap-endap mengelilingi kolam. Ditangkapnya sepasang mata binatang  dan mendekatkan cahaya padanya untuk beberapa saat, sinarnya menyerupai lampu sorot sebuah lampu patroli milik tentara. Kemudian dia mematikannya, meninggalkan malam yang lebih gelap dari yang pernah ada.

Paginya, aku pergi untuk makan beberapa potong roti dan sambol, sembari menunggu Tuan dan Puan Arunachalam muncul. Aku menuang lagi tehnya, bahkan dengan aturan seperti makan malam sebelumnya, dan duduk di salah satu bangku taman, agar aku tetap  bisa melihat sisi ruang sarapan. Aku heran betapa lamanya Nona Saraswati  yang memandangku  dari balkon dan ketika dia akan mengemasi perlengkapan kantornya.

Suara Arunachallam sampai lebih dulu bahkan  sebelum menyaksikan wujud pemiliknya. Dia mengeluhkan dengkuran suaminya, ya, biar bagaimanapun, aku sudah menduga bahwa kenyataan di ranjang memang seringnya bertolak belakang dengan di luar ranjang.  Tuan Arunachalam menyusul tanpa berkata-kata.  Itu mengingatkanku akan kegunaan peredam suara di Headphone yang sering dipamerkan oleh turis-turisku selama ini. Mereka tak akan mendengar suara apapun yang memang tidak dibuat untuk mereka dengarkan dan hal tersebut menjauhkan mereka dari gangguan kejiwaan. Itu adalah sebuah cara bertahan mengagumkan menghadapi sebuah dunia yang riuh. Kerusakan macam itu, tak pelak menjadi masalah-masalah besar dunia. Bahkan di Malaysia, orang-orang disana kelihatan sengara karena hal itu.

Pasangan tersebut duduk di meja beranda.

“Aku kepingin ham dan telur juga toast. Menurutmu apa mereka punya?” Nyonya Arunachallam menggeser bangkunya agak ke depan.

“Apa seperti Thosai? Lebih bagus kan?

“Aku sudah lama mengidam-idamkannya. Sampai tidak tidur bahkan, tapi aku tidak tidur gara-gara kamu dan dengkuranmu.”

Nona Saraswati muncul di antara mereka dan mengatakan sesuatu yang tak bisa aku dengar. Dia terlihat mendamaikan  Nyonya Arunachalam dan pasangannya. Kemudian mereka mengakhiri sarapan dan pergi ke atas untuk mengemasi sikat gigi dan  penjepit, atau apapun namanya,  kemudian Nona Saraswati mendatangiku.

“Kamu memang pendamai yang ulung,” kataku

“Kami lakukan  apapun yang dibutuhkan.” Dia memberiku sebuah kartu nama. “Bawalah peserta tur-tur Anda ke sini. Kami siap melayani semua orang.”

“Aku tahu,” kataku. “Pelatihan yang memang luar biasa, juga  sekolah kateringmu itu.”

Dia menaruh sepsang lengannya dan menundukkan kepala. Sekarang, kerah bajunya terkanciing rapat dan tak menampakkan apapun, namun aku mengawasi telunjuk kanannya yang mengapal dan menghitam di pangkalnya.

Kemudian Nyonya Arunachalam memanggilku,”Sopir, Kemarilah. Bisa ‘kan kamu taruh tas ini di bangku sana? Sebelah kanan ya. Nyalakan dulu juga A.C nya.  Biar dingin nantinya. Aku tak mau kepanasan lagi.”

Nona Saraswati menatapku. Aku menginginkan senyumannya. Namun wajahnya kosong. Sepasang mata hitam legamnya tak memperlihatkan apapun. Aku mengharapkan sebuah kesempatan dimana aku tahu apa yang sedang ia pikirkan, dan kemudian aku gembira bahwa itu tidak bisa aku lakukan. Akan datang  batasnya sendiri, dimana kau lantas  tak ingin tahu apa-apa.

***

Catatan:
Karapincha: Daun khas yang digunakan untuk memasak Kare.
Sambol: kudapan khas Sri lanka, berbahan kelapa diparut, bawang merah, bawang putih, dan bubuk cabai. Seperti Sambal kelapa di Gudangan pada masakan Indonesia.
Thosai: Roti fermentasi berbahan tepung beras yang familier di Srilangka, India, Pakistan atau Malaysia.


*Romesh Gunesekera adalah penulis cerita pendek, novel, dan puisi Srilangka kelahiran Inggris, Novelnya Reef masuk sebagai finalis Man Booker Prize 1992. Pada tahun 2012, Romesh turut serta  pada perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 2012. Roadkill ini diterjemahkan dari yang pernah terbit di The New Yorker  edisi Desember 2003.



--Diterjemahkan dengan liar dan suka-suka hati oleh Arif Fitra Kurniawan.






2 komentar:

Keberhasilan Mbutuhkan Sebuah Pengorbanan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Langit mengatakan...

terus menulis dan menerjemahkan ya, ada yang selalu menunggunya.