AUMAN LELAKI
HARIMAU
( Arif Fitra Kurniawan)
/1/
Eka Kurniawan sendirilah yang mengatakan di dalam
tulisan blognya, merangkum kembali apa
yang diungkap Gabriel Garcia Marquez
bahwa “Kalimat pertama bisa
menjadi laboratorium untuk mengetes gaya, struktur dan bahkan panjangnya
novel.”
Itu
kita bicarakan nanti dulu saja. Seperti
gaya bercerita Eka yang dipenuhi kepiawaian seorang maestro untuk melebar ke sana-kemari dan maju mundur, sebaiknya
para pembaca tulisan ini yang sudah
pernah sampai selesai membaca novel Lelaki
Harimau, saya ajak untuk “tamasya” maju ke beberapa halaman untuk kemudian kembali lagi ke kalimat awal
novel tersebut. Terpampanglah begini,
“Pembunuhan itu, sebagaimana kemudian diyakini semua orang, terjadi tepat pukul empat sepuluh menit, sebab sepuluh menit sebelumnya Margio masih bersama beberapa kawan dan sepuluh menit setelahnya, ia telah bersama mereka pula, dalam keadaannya yang mengejutkan. “(hal. 23-24)
Seperti
dalam teks-teks serial detektif, di bagian ini Eka ingin sekali meyakinkan pembaca
tentang detail waktu. Pembunuhan Anwar Sadat oleh Margio
haruslah diterima oleh nalar sebagaimana
hitungan eksak. Sebuah keyakinan membabi
buta hasil dari perhitungan “Tepat pukul
empat sepuluh menit” dibagi dirinya sendiri. Tidak boleh lebih tidak
boleh kurang. Seolah dengan ini siapapun dan dimanapun ia
berada, tiap orang boleh saja
meragukan rotasi dan menganggap bumi itu datar, laut terbuat dari
kencing kambing Etawa, tapi tak diperbolehkan menebak-nebak kapan Anwar Sadat mati. Lantas,
adakah yang perlu dipermasalahkan di bagian ini? Tidak ada. Jika ada yang ingin mencari-cari polemik
dengan mempermasalahkan bagian ini, silakan buatlah tulisan tersebut. Saya cuma
ingin seperti Eka dalam mengulur waktu
dan menyamarkan topik utama. Tapi saya berjanji, bagian tersebut penting.
Di
awal sudah saya katakan bahwa setelah maju beberapa halaman, kita akan mundur
lagi guna menikmati kalimat pertama Eka di novel ini, yang sering digunakan oleh penulis esai
untuk menentukan pola dan sistem
penceritaan dalam Lelaki Harimau, (sebenarnya saya ingin lepas dari kondisi
memuakkan terjebak dalam bayang-bayang
basi tersebut, tapi susah ternyata). Dan
inilah kalimat pusaka nan sakti tersebut,
“Senja ketika Margio membunuh Anwar
Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya ditemani aroma asin yang terbang di antara batang
kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang…,”
(hal. 1).
Awalnya,
setelah dua kali membaca Lelaki Harimau, saya masih jadi layaknya pembaca bahagia lain yang begitu saja
menerima kalimat ini, sampai ke
pembacaan ketigalah, merasa ada yang
tidak beres. Ada yang mesti saya urus dengan nalar dan pengetahuan empirik
saya. Demi menyelesaikan perseteruan
antara frasa dan kata yang
sengaja saya tebalkan di atas. Saya buka KBBI.
/sen.ja/
: waktu (hari) setengah gelap setelah matahari terbenam; usia tua.
Sialnya,
saya masih saja tak yakin dengan KBBI, sampai-sampai saya menanyakan secara
verbal kepada beberapa teman dan saya rasa ini wujud kesintingan, dengan
menanyakan ke orang-orang yang secara acak saya temui di Jalan. Menurutmu,
Senja itu apa dan bagaimana?. Sampai saat menulis ini pun saya masih mempunyai
keraguan tentang senja, dengan membuat daftar kemungkinan sebagai berikut.
- Eka, mungkin sebagai lumrahnya manusia, bisa saja ceroboh. Tidak melakukan kroscek ulang tentang penulisan antara waktu kejadian terbunuhnya Anwar Sadat pukul 16:10 dengan waktu senja ketika Kiai Jahro asyik masuk dengan ikan-ikannya.
- Ada perbedaan konvensi bahasa tentang “Senja”. Senja menurut pengetahuan saya sebagai pembaca dan senja yang dimaksudkan Eka sebagai penulis.
- Timbul kecurigaan saya, ketika menulis narrative hook sebagai pembuka novel Lelaki Harimau tersebut, Eka masih saja terngiang kalimat: Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak, Kolonel Aurelio Buendia mencoba mengenang suatu senja yang jauh ketika ayahnya mengajaknya untuk melihat es –milik Gabriel Garcia Marquez dalam ‘Seratus Tahun Kesunyian’
Nomor
tiga tersebut muncul sebagai dugaan, lantaran sejauh yang saya baca di novel
sebelumnya, Cantik Itu Luka, Eka
terlihat memiliki hubungan diplomatis
dengan kalimat tersebut, dengan menebarkannya di beberapa bagian novel. Santai
saja, ini sekedar dugaan yang asal, siapa tahu Eka masih saja terngiang dengan
kalimat tersebut dan ingin bernostalgia bahwa senja di Macondo akan sama dengan
senja di Halimunda dan akan begitu juga di area Kolam Kiai Jahro.
/2/
Jadi,
kita akan memperbincangkan kalimat pertama untuk menimbang gaya dan struktur
dan seberapa kuat energi Eka untuk memanjangkan ceritanya dengan menggunakan
kalimat pembuka tersebut. Yang menurut Bernard
Batubara dalam resensi yang pernah ia tulis ia anggap sebagai bentuk Foreshadowing. Saya lebih suka memasukkan model kalimat Eka ini ke
dalam Flash-Forward. Penceritaan
dengan pola Akibat—Sebab. Foreshadowing
lebih sering digunakan untuk mengecoh
pembaca dari sub-sub premis yang
ditampilkan oleh Penulis. Menjadikan pembaca menebak-nebak tokoh, kejadian,
atau ending cerita dengan jebakan-jebakan
red herring. Mengacaukan pembacaan agar kecele. Tapi dalam Lelaki Harimau
jebakan-jebakan yang mengecoh itu tidak ada (Selain mungkin, jika dibaca secara
utuh, topik yang ingin ditonjolkan Eka, tentang bagaimana seramnya Harimau
dalam tubuh Margio tidak seperti yang pembaca gadang-gadangkan akan menjadi
lajur kuat penceritaan). Saya punya keisengan untuk mengambil sampel, jika
penceritaan Eka hendak mengambil Foreshadowing, Eka akan menampilkan kalimat : Senja Ketika Anwar Sadat mati, Kiai Jahro
bla-bla-bla-bla. Dengan kalimat tersebut Eka lantas akan menghadirkan Mayor
Sadrah, Nuraeni, Margio, Ma Soma atau siapapun untuk menciptakan
tebakan-tebakan yang nanti penulis simpulkan di akhir cerita. Di Lelaki Harimau,
kita sebagai pembaca sudah diyakinkan sejak awal, bahwa tidak ada rahasia,
bahwa Anwar Sadat mati dan Margio yang membunuhnya, bahwa Margio mengakui ada harimau yang menghuni
tubuhnya. Itu sebabnya saya lebih suka
memasukkanya ke dalam penceritaan Flash-forward. Nah, di sinilah kemudian kekuatan Eka dengan
apa yang telah ia konsepkan di depan. Kalau semua sudah diketahui, apa lagi
yang mesti diceritakan. Maka, membaca Lelaki Harimau seperti menelusuri botol
percobaan kimia. Yang dua ujungnya kecil namun mempunyai ruang tengah yang
menggelembung besar. Di bagian tengah
itulah Eka mesti bekerja keras menjadi juru dongeng yang tangguh, yang berjuang
agar ceritanya tidak njelehi. Saya jadi ingat lagi dalam The God of Small Thingnya Arundhati Roy;
Rahasia dari
cerita-cerita besar adalah, mereka tak pernah menyimpan Rahasia—
Ya,
demikian juga dengan Lelaki Harimau. Eka mengambil jalur lain untuk menggiring
pembacanya agar tidak suntuk lantaran sudah memberikan kalimat kuncinya. Bahasa yang lugas namun sedap,
karakter-karakter yang akan diingat seperti Anwar Sadat yang maniak seks,
Nuraini yang berbicara dengan kompor dan panci, Margio yang bengal namun manis
(meski ini seperti upaya pemaksaan). Penggunaan waktu yang tak terkoneksi dengan sejarah apapun, hingga novel ini akan nikmat dibaca kapan saja,keluar dari zona yang selama ini jadi tarikan sastra-sastra 'serius' hari ini: tragedi 1965--kemelut 1985--penculikan 1998.
/3/
Mungkin agak keluar dari Lelaki harimau, namun ini perlu saya tambahkan. Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan buku di Kios Loak, Labirin Impian; yang merangkum cerita-cerita pendek Jorge Luis Borges—diterjemahkan oleh Hasif Amini. Yang menarik adalah, buku tersebut, selain terbit pada tahun 1999, diberi kata pengantar oleh Nirwan Dewanto. (saya pernah membincangkan dengan tetangga kos saya, mereka-reka pertemuan dua pemuda jembel ini dulu sering merokok sambil memesan wedang jahe bersama dan tak pernah membayangkan bahwa bertahun-tahun setelah senja terakhir mereka duduk di Angkringan, yang satu dari mereka akan jadi dewan redaksi Kompas, yang satu lagi jadi dewan redaksi Tempo).
Mungkin agak keluar dari Lelaki harimau, namun ini perlu saya tambahkan. Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan buku di Kios Loak, Labirin Impian; yang merangkum cerita-cerita pendek Jorge Luis Borges—diterjemahkan oleh Hasif Amini. Yang menarik adalah, buku tersebut, selain terbit pada tahun 1999, diberi kata pengantar oleh Nirwan Dewanto. (saya pernah membincangkan dengan tetangga kos saya, mereka-reka pertemuan dua pemuda jembel ini dulu sering merokok sambil memesan wedang jahe bersama dan tak pernah membayangkan bahwa bertahun-tahun setelah senja terakhir mereka duduk di Angkringan, yang satu dari mereka akan jadi dewan redaksi Kompas, yang satu lagi jadi dewan redaksi Tempo).
Dari situ saya mendapat kelengkapan
pengetahuan, bahwa di akhir 1960-an, khalayak dunia mengenal el boom, ledakan
sastra dari wilayah Amerika Selatan. Nama-nama seperti Marquez, Isabelle Allende,
Mario Vargas Llosa,Jorge Luis Borges, Julio Cortazar, Carlos Fuentes, seperti
memberikan alternatif bacaan dari gempuran teks-teks milik Eropa dan Amerika
Utara.
Dimana pengaruhnya di Indonesia mulai
merebak sekitar tahun 70 tahun 80 an, meski jauh-jauh waktu sudah teks-teks
Amerika Latin sudah sampai juga sih di Indonesia seperti Oktavio Paz atau Pablo
Neruda. Membicarakan Amerika Latin tentu kita akan dengan mudah untuk menoleh
pada apa yang sering disebut Realisme magis. Realisme magis mengakui kevalidan
realita, mengoreksi sekaligus memberikan isi pada ruang-ruang kosong di
dalamnya. Ada Fantasi. Ada sesuatu yang kadang jauh dari jangkauan nalar namun
mesti bersusah payah kita jelaskan apa dan bagaimananya.
Apa yang kirannya menarik dari
teks-teks dari realisme magis bagi pembaca di Indonesia, terlebih banyak sekali penulis-penulis
Indonesia yang baik sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan mengakui
merasa berhutang kepada karya-karya penulis Amerika Latin, saya kira, itu
lantaran secara historis, kultur maupun geografis Amerika latin tak jauh-jauh
berbeda dengan kondisi Indonesia. Pernah dijajah. Iya. Masih kental dengan
mitologis dan dongeng fantasi.iya. sama-sama memiliki tanah-tanah penuh rawa,
pantai, dan musim hujan musim kemarau. Yang mugkin membedakan adalah, bahwa
penulis-penulis dari Amerika Latin melampaui harapan-harapan kita. Membaca
sastra Amerika Latin adalah membaca keseriusan maha karya dari para juru dongeng.
Di Indonesia sendiri, saat ini, saya sedikit lega, lantaran kita punya Trio Klenik: AS Laksana--Triyanto
Triwikromo--Eka Kurniawan.
Kita bisa melihat kelebihan dari
penulis-penulis tersebut. Coba saja tengok AS kepiawaian AS laksana di dua
bukunya Murjangkung dan Bidadari yang Mengembara. Dongeng-dongeng yang ia
beberkan begitu serius, sembari kita masih bisa menikmati lekuk-lekuk bagaimana
empu tersebut berkisah. Triyanto bisa
kita amati gerakan intertekstualnya yang kental di Surga Sungsang. Paduan antara
yang mistis, dengan posmodern dibuat remah-remah dan digoreng sedemikian rupa.
Eka sendiri memang sudah lama, jika
kita membaca cerita-cerita pendeknya yang termaktub di Kumpulan Budak Setan, atau
penceritaan Cantik Itu Luka,juga Gelak
Sedih dan Cerita-cerita Lainnya, yang akrab dengan eksplorasi sesuatu yang acap
abangan, jimat, dongeng-dongeng yang direkonstruksi ulang, supranatural.
Kekerasan psikologis yang menimpa tokoh-tokohnya.
Ya, akhirnya,sembari meyakini, akan ada lagi
lekas-lekas orang seperti mereka, hingga kita tak terlalu lama menunggu.
Semarang, November 2014.
Untuk Kelab Buku#5 Edisi membaca
Lelaki Harimau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar