SELALU BEGITU (Tabloid Cempaka edisi 29/ XXV/ 11-17 Oktober 2014)



Selalu Begitu

Dia akan datang rutin, menyeret langkahnya hingga aku begitu hafal suara sruk sruk sandalnya mengenai  lantai.  Dia  akan menaruh semangkuk  bubur di meja dekat kepalaku yang  pasrah  merebahi bantal, menyapu sebentar  bagian tepi spring bed  sampai sudut ruangan, menjumputi jika ada sedikit saja sarang laba-laba di tembok. Tidak ada yang boleh kotor sedikitpun. Ia kemudian akan membuka jendela, membiarkan udara dingin dibungkus  matahari  pukul setengah tujuh  pagi masuk ke dalam kamar. “Sarapan dulu, mas,” sambil mengelus pundakku dia akan lembut mengemas suaranya  seperti penyiar berita di radio RRI jaman dulu. Selalu  begitu. Dia sungguh telaten dan aku akan seperti anakan kucing  mengiau rewel,

Lidahku bosan Las, tiap hari ketemu bubur lagi,bubur lagi.
Iya, setiap hari aku akan mengudap menu menjengkelkan ini;  kalau tidak bubur  bayam, ya  bubur kacang hijau, kalau tidak bubur kacang hijau, bubur beras merah ikan tuna.  Kalau tidak ketiga aneka bubur tersebut, maka aku harus tabah dan betah menghadapi sederet daftar menu berisi irisan  buah-buahan. Pepaya-Pisang Ambon-Alpukat-Jambu biji.   Rasa-rasanya kian hari  tubuhku jadi  demikian  lembek dan menjijikkan. Satu  alasan  saja barangkali yang membuat aku bertahan menjadi manusia pemakan bubur  dan buah-buahan adalah suapan tangannya. Itu saja, bahwa aku harus sembuh, kata Lastri. Isteriku, suka—dukaku, tidur—terjagaku.
***

Aku kangen sekali pedas  rica-rica bebek”.  Merengeklah aku. Dan dia seenaknya  terkekeh  mendengar kekanakanku kumat lagi suatu hari.

Dia mengelus rambutku kemudian  mendekatkan sendoknya lagi ke mulutku. Sesuap lagi.  Sungguh, aku sudah benar-benar  ingin  muntah.
Iya, nanti kalau mas sudah sembuh, aku masakin rica-rica dengan cabai dan merica sekarung ya, bibirnya itu, aduh, selalu ranum ketika merekah. Ah, aku jadi gemetar sendiri, aku ingat kapan pertama kali nekat menciumnya; koridor gelap kampus. Sepasang manusia yang ditinggalkan teman-temannya. Perasaanku yang tiba-tiba begitu laki-laki. Cuaca dengan curah  hujan semau-maunya. Wajah pucatnya yang dingin. Tangannya yang basah. Buku-buku-terjatuh. Suara geluduk dan kilatan petir.  Sungguh sebuah adegan dalam ingatan  yang  niscaya  kedramatisasiannya cuma bisa ditandingi oleh  adegan Jack yang begitu khidmat memeluk Rose di palka ujung kapal Titanic.

Waktu bisa saja menggerus ingatan tentang hari-hari, tanggal-tanggal, jam-jam dan kejadian yang menyusunnya.Tapi tidak untuk ciuman pertama itu. Sebab sejak itulah kami tahu.  Kami digiring dan dimasukkan Tuhan ke  sebuah medan magnet  maha kuat untuk saling tarik menarik dan masing-masing mustahil keluar  dari sebuah rumusan;  aku mencintainya dan dia mencintai aku. Titik.
***
Selalu begitu. Dia akan senantiasa bersikap (ah, aku selalu berhalusinasi, dialah mahkluk  bersayap keperakan, yang diciptakan  Tuhan dari kejernihan cahaya, nyaris tanpa bopeng dan kerusakan sedikitpun.  Hati, pikiran dan jasad. Di buku pelajaran agama mahkluk itu diberi nama malaikat), sampai-sampai aku tidak yakin, apakah aku bisa terus mengimbangi cara dia dalam menyayangi atau tidak.  Hening.  Pikiranku menyeruak, menakar-nakar  kembali bagaimana dia selalu tergesa-gesa belanja ke pasar pada  jam   lima pagi, sesudah itu menyapu halaman, menyiapkan keperluanku dari mulai  sarapan, mandi, dan buang air. Sebelum akhirnya berangkat ke tempat dia bekerja, sebuah toko perlengkapan bayi. Sejak menikah  kami memang menyepakati untuk  tidak mempunyai pembantu rumah tangga, sebab  kami merasa masih mampu mengatur  banyak  hal dengan  tangan dan kaki kami sendiri.


Aku jadi  semakin keropos dihajar perasaan tidak enak.  Penyakit  stroke  sialan ini benar-benar membuatku menjadi sampah. Sebagian lenganku, lengan kanan terutama, sudah membeku, lumpuh. Untuk memegang gelas saja aku tidak sanggup.  Aku sedih membayangkan ia menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga.  Akhirnya  selama ini  dialah yang mengerjakan tugas-tugasku. Menggantikan aku jika ada gotong royong lingkungan setiap hari minggu,   memanjat genting di musim hujan ketika  atap rumah kami bocor. Dia membenarkan pintu, mengecat dinding, menyiangi rumput di pekarangan. Dan jika aku tanya kenapa tidak meminta jasa tukang saja, dia akan menjawab, Kalau bisa kukerjakan sendiri, kenapa mesti bayar tukang? Matanya berbinar-binar ketika menjelaskanya padaku.  Selalu begitu.
***
Bertahun-tahun  rumah kami cuma  berisi  aku dan dia. Tidak ada suara anak kecil. Sepi dan hampa. Menyakitkan memang. Apalagi buat dia. Tapi  Inilah aku, aku  selalu mempunyai sebuah  kondisi untuk mengecewakan dia. Sementara dia berkebalikan: selalu punya beratus-ratus alasan untuk menggembirakan aku. Pernah aku sarankan untuk mengadopsi bayi, demi membayar  seluruh kekecewaan yang mesti ia kulum sepanjang hidup lantaran aku lelaki yang oleh dokter divonis mandul. Tentu saja suara tangis dan tertawa anak kecil di rumah kami tak akan pecah sampai  kapanpun. Rahimnya akan abadi diisi kekosongan. Tapi dia menampik usulanku. Kali ini tanpa alasan. Ia selalu diam ketika aku tanya mengapa. Dia akan mengelak dengan kembali memingpongkan pertanyaan itu, “apakah setiap kata mengapa mesti dijawab dengan kata karena?”. Meski dia tersenyum tapi aku paham betapa hebat kegetiran yang mesti ia tanggung.

***
Aku tahu, sakit berkepanjangan membuat  psikologis seseorang labil. Kadang tidak masuk akal malah. Aku kadang tiba-tiba berpikir akan menemui keluarga Lastri, sekedar  mengembalikan, bahwa  nasehat mereka kepada Lastri  benar adanya. Lastri tidak akan bisa bahagia berdampingan denganku. Sudah Mandul, pesakitan lagi. Membenarkan, bahwa pernikahan kami kekeliruan besar di dalam kehidupan putri tunggal mereka. “Apa kau tak lelah mengurusku?“ tanyaku terbata-bata.  Sederet susunan kalimat  tanya yang aku keluarkan susah payah dari tenggorokan. Aku tidak tahan untuk tidak mengatakannya. Malam sudah larut saat dia selesai mencuci muka, sepulang dari bekerja. Dia yang tadinya akan rebah jadi membalikkan badan ke arahku. Lampu tidur ia nyalakan lagi.  Teliti sekali dia menerawang wajahku, memindai kerutan keningku, kemudian alisku. Mengeruk kalimat tanya itu sampai jauh ke dasar mata. Seolah aku pinggiran kali berpasir dan dia penambang yang tak menginginkan  barang tambangnya  lepas  sebulirpun. Aku jadi ciut  kehabisan nyali. Kualihkan pandanganku, menyeramkan sekali dalam sekian menit mesti bersitatap dengan matanya. Ia membiarkan tatapanku lepas merambati  jam dinding, bergeser ke kiri dan ke kanan. Menyorot bingkai lumayan besar foto pernikahan yang diambil lima belas tahun yang lalu, turun memandangi motif gaun tidurnya  yang boneka-boneka kecil dan lucu. Aneh. Aku merasa terlampau tua di depannya. Dia selalu tampak   remaja mendekap usianya  seperti di foto pengantin  bertahun-tahun lalu  itu. Aku curiga jangan-jangan waktu bisa menggigiti usiaku tapi tidak bisa menyentuh kulit usianya, betapa tidak adilnya ini.  Aku tersentak.
“Kenapa tiba-tiba membuat pertanyaan itu?”,
“Sekedar nanya, barangkali kamu capek ngurus suamimu yang pesakitan ini”
“Kalau aku senang bagaimana? Kalau aku merasa bahwa ini adalah separuh kebahagian dalam pengabdianku, bagaimana?
“Lelaki pesakitan seperti aku tak bisa memberimu apa-apa”
“Apakah wajahku terlihat seperti seseorang yang sedang meminta sesuatu?”
“Aku tidak tega sekaligus malu melihatmu  menghabiskan begitu banyak tenaga dan pikiran demi aku”
“Bukan demi kamu, tapi demi kita. Percayalah, demi Tuhan mas, Aku bahagia melakukan ini.”
Lagi-lagi dia tersenyum. Selalu begitu.  Selalu bisa membuat jantungku bergetar lebih lambat. Aku seolah masuk di ruangan luas yang lengang. Di sana potongan-potongan senyum milik Lastri ringan berterbangan seperti capung. Aku berlarian menangkap dan memasukkanya ke dalam dadaku. Indah sekali.  Betapa luar biasanya dia, tak pernah memberi  kesempatan  secelahpun kepadaku untuk membencinya. Aku tahu kata-kata itu dia ciptakan juga bukan semata-mata untuk menghiburku.  sssttt, atau, jangan-jangan kamu yang bosan denganku, mas?” Tanyanya sambil berkedip-kedip. Terhenyaklah aku.

(Kampung Layur, 2013—2014)
Arif Fitra Kurniawan, giat di komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang


Tidak ada komentar: