Selalu Begitu
Dia akan datang rutin, menyeret
langkahnya hingga aku begitu hafal suara sruk sruk sandalnya mengenai lantai.
Dia akan menaruh semangkuk bubur di meja dekat kepalaku yang pasrah
merebahi bantal, menyapu sebentar
bagian tepi spring bed sampai sudut ruangan, menjumputi jika ada
sedikit saja sarang laba-laba di tembok. Tidak ada yang boleh kotor sedikitpun.
Ia kemudian akan membuka jendela, membiarkan udara dingin dibungkus matahari
pukul setengah tujuh pagi masuk
ke dalam kamar. “Sarapan dulu, mas,”
sambil mengelus pundakku dia akan lembut mengemas suaranya seperti penyiar berita di radio RRI jaman
dulu. Selalu begitu. Dia sungguh telaten
dan aku akan seperti anakan kucing
mengiau rewel,
”Lidahku bosan Las, tiap hari ketemu bubur
lagi,bubur lagi.”
Iya,
setiap hari aku akan mengudap menu menjengkelkan ini; kalau tidak bubur bayam, ya
bubur kacang hijau, kalau tidak bubur kacang hijau, bubur beras merah
ikan tuna. Kalau tidak ketiga aneka
bubur tersebut, maka aku harus tabah dan betah menghadapi sederet daftar menu
berisi irisan buah-buahan. Pepaya-Pisang
Ambon-Alpukat-Jambu biji. Rasa-rasanya kian hari tubuhku jadi
demikian lembek dan menjijikkan.
Satu alasan saja barangkali yang membuat aku bertahan
menjadi manusia pemakan bubur dan
buah-buahan adalah suapan tangannya. Itu saja, bahwa aku harus sembuh, kata
Lastri. Isteriku, suka—dukaku, tidur—terjagaku.
***
“Aku kangen sekali pedas rica-rica bebek”. Merengeklah aku. Dan dia seenaknya terkekeh
mendengar kekanakanku kumat lagi suatu hari.
Dia
mengelus rambutku kemudian mendekatkan
sendoknya lagi ke mulutku. Sesuap lagi.
Sungguh, aku sudah benar-benar
ingin muntah.
“Iya, nanti kalau mas sudah sembuh, aku
masakin rica-rica dengan cabai dan merica sekarung ya,” bibirnya itu, aduh, selalu ranum ketika
merekah. Ah, aku jadi gemetar sendiri, aku ingat kapan pertama kali nekat
menciumnya; koridor gelap kampus. Sepasang manusia yang ditinggalkan
teman-temannya. Perasaanku yang tiba-tiba begitu laki-laki. Cuaca dengan curah hujan semau-maunya. Wajah pucatnya yang
dingin. Tangannya yang basah. Buku-buku-terjatuh. Suara geluduk dan kilatan
petir. Sungguh sebuah adegan dalam
ingatan yang niscaya
kedramatisasiannya cuma bisa ditandingi oleh adegan Jack yang begitu khidmat memeluk Rose
di palka ujung kapal Titanic.
Waktu
bisa saja menggerus ingatan tentang hari-hari, tanggal-tanggal, jam-jam dan
kejadian yang menyusunnya.Tapi tidak untuk ciuman pertama itu. Sebab sejak
itulah kami tahu. Kami digiring dan
dimasukkan Tuhan ke sebuah medan
magnet maha kuat untuk saling tarik
menarik dan masing-masing mustahil keluar
dari sebuah rumusan; aku
mencintainya dan dia mencintai aku. Titik.
***
Selalu begitu. Dia akan senantiasa bersikap
(ah, aku selalu berhalusinasi, dialah mahkluk
bersayap keperakan, yang diciptakan
Tuhan dari kejernihan cahaya, nyaris tanpa bopeng dan kerusakan
sedikitpun. Hati, pikiran dan jasad. Di
buku pelajaran agama mahkluk itu diberi nama malaikat), sampai-sampai aku tidak
yakin, apakah aku bisa terus mengimbangi cara dia dalam menyayangi atau
tidak. Hening. Pikiranku menyeruak, menakar-nakar kembali bagaimana dia selalu tergesa-gesa
belanja ke pasar pada jam lima pagi, sesudah itu menyapu halaman,
menyiapkan keperluanku dari mulai
sarapan, mandi, dan buang air. Sebelum akhirnya berangkat ke tempat dia
bekerja, sebuah toko perlengkapan bayi. Sejak menikah kami memang menyepakati untuk tidak mempunyai pembantu rumah tangga,
sebab kami merasa masih mampu
mengatur banyak hal dengan
tangan dan kaki kami sendiri.
Aku
jadi semakin keropos dihajar perasaan
tidak enak. Penyakit stroke sialan ini benar-benar membuatku menjadi
sampah. Sebagian lenganku, lengan kanan terutama, sudah membeku, lumpuh. Untuk
memegang gelas saja aku tidak sanggup.
Aku sedih membayangkan ia menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala
keluarga. Akhirnya selama ini
dialah yang mengerjakan tugas-tugasku. Menggantikan aku jika ada gotong
royong lingkungan setiap hari minggu,
memanjat genting di musim hujan ketika
atap rumah kami bocor. Dia membenarkan pintu, mengecat dinding,
menyiangi rumput di pekarangan. Dan jika aku tanya kenapa tidak meminta jasa
tukang saja, dia akan menjawab, Kalau
bisa kukerjakan sendiri, kenapa mesti bayar tukang? Matanya berbinar-binar
ketika menjelaskanya padaku. Selalu
begitu.
***
Bertahun-tahun rumah kami cuma berisi
aku dan dia. Tidak ada suara anak kecil. Sepi dan hampa. Menyakitkan
memang. Apalagi buat dia. Tapi Inilah
aku, aku selalu mempunyai sebuah kondisi untuk mengecewakan dia. Sementara dia
berkebalikan: selalu punya beratus-ratus alasan untuk menggembirakan aku.
Pernah aku sarankan untuk mengadopsi bayi, demi membayar seluruh kekecewaan yang mesti ia kulum
sepanjang hidup lantaran aku lelaki yang oleh dokter divonis mandul. Tentu saja
suara tangis dan tertawa anak kecil di rumah kami tak akan pecah sampai kapanpun. Rahimnya akan abadi diisi
kekosongan. Tapi dia menampik usulanku. Kali ini tanpa alasan. Ia selalu diam
ketika aku tanya mengapa. Dia akan mengelak dengan kembali memingpongkan
pertanyaan itu, “apakah setiap kata
mengapa mesti dijawab dengan kata karena?”. Meski dia tersenyum tapi aku
paham betapa hebat kegetiran yang mesti ia tanggung.
***
Aku tahu, sakit berkepanjangan
membuat psikologis seseorang labil. Kadang
tidak masuk akal malah. Aku kadang tiba-tiba berpikir akan menemui keluarga
Lastri, sekedar mengembalikan,
bahwa nasehat mereka kepada Lastri benar adanya. Lastri tidak akan bisa bahagia
berdampingan denganku. Sudah Mandul, pesakitan lagi. Membenarkan, bahwa
pernikahan kami kekeliruan besar di dalam kehidupan putri tunggal mereka. “Apa kau tak lelah mengurusku?“ tanyaku
terbata-bata. Sederet susunan
kalimat tanya yang aku keluarkan susah
payah dari tenggorokan. Aku tidak tahan untuk tidak mengatakannya. Malam sudah
larut saat dia selesai mencuci muka, sepulang dari bekerja. Dia yang tadinya
akan rebah jadi membalikkan badan ke arahku. Lampu tidur ia nyalakan lagi. Teliti sekali dia menerawang wajahku, memindai
kerutan keningku, kemudian alisku. Mengeruk kalimat tanya itu sampai jauh ke
dasar mata. Seolah aku pinggiran kali berpasir dan dia penambang yang tak
menginginkan barang tambangnya lepas
sebulirpun. Aku jadi ciut
kehabisan nyali. Kualihkan pandanganku, menyeramkan sekali dalam sekian
menit mesti bersitatap dengan matanya. Ia membiarkan tatapanku lepas
merambati jam dinding, bergeser ke kiri
dan ke kanan. Menyorot bingkai lumayan besar foto pernikahan yang diambil lima
belas tahun yang lalu, turun memandangi motif gaun tidurnya yang boneka-boneka kecil dan lucu. Aneh. Aku
merasa terlampau tua di depannya. Dia selalu tampak remaja mendekap usianya seperti di foto pengantin bertahun-tahun lalu itu. Aku curiga jangan-jangan waktu bisa
menggigiti usiaku tapi tidak bisa menyentuh kulit usianya, betapa tidak adilnya
ini. Aku tersentak.
“Kenapa
tiba-tiba membuat pertanyaan itu?”,
“Sekedar
nanya, barangkali kamu capek ngurus suamimu yang pesakitan ini”
“Kalau
aku senang bagaimana? Kalau aku merasa bahwa ini adalah separuh kebahagian
dalam pengabdianku, bagaimana?
“Lelaki
pesakitan seperti aku tak bisa memberimu apa-apa”
“Apakah
wajahku terlihat seperti seseorang yang sedang meminta sesuatu?”
“Aku
tidak tega sekaligus malu melihatmu
menghabiskan begitu banyak tenaga dan pikiran demi aku”
“Bukan
demi kamu, tapi demi kita. Percayalah, demi Tuhan mas, Aku bahagia melakukan
ini.”
Lagi-lagi
dia tersenyum. Selalu begitu. Selalu
bisa membuat jantungku bergetar lebih lambat. Aku seolah masuk di ruangan luas
yang lengang. Di sana potongan-potongan senyum milik Lastri ringan berterbangan
seperti capung. Aku berlarian menangkap dan memasukkanya ke dalam dadaku. Indah
sekali. Betapa luar biasanya dia, tak
pernah memberi kesempatan secelahpun kepadaku untuk membencinya. Aku
tahu kata-kata itu dia ciptakan juga bukan semata-mata untuk menghiburku. “ sssttt,
atau, jangan-jangan kamu yang bosan denganku, mas?” Tanyanya sambil
berkedip-kedip. Terhenyaklah aku.
(Kampung Layur, 2013—2014)
Arif Fitra Kurniawan, giat di komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar