BEBERAPA SAJAK YANG TERMUAT DI SUARA MERDEKA (MINGGU, 21 JULI 2013)



 
sebenarnya  ini  sajak-sajak  lama  saya,  kira-kira  saya  membuatnya  rentang   tahun  2010  sampai  2011  itupun  kalau  tidak  salah ingat.  dan  minggu ini  koran  Suara  Merdeka  memuatnya,  sempat  kaget  juga  ketika  beberapa  "judul kecilnya"  dipangkas (tidak  dimunculkan)  oleh  redaksi,  tapi  akhirnya  maklum,  mungkin  keterbatasan  halaman dan  hanya  mampu  memuat  dua  "judul kecil"  pada sajak  kedua.  dan  di  blog  ini  saya  sertakan "judul  kecil"  yang  terkena  pangkasan  tersebut.  selamat  menikmati  keutuhan.


KAU  TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas

- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang  berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami

- Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau  tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai  kekalahan.

- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya 

usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama

-  Jarak  sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,

- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali bermimpi
tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab usiaku semakin buta dan
tak ada yang bisa ditemui
sebelah mataku selain  dendam  yang batu
untuk menyebut keinginanmu
sementara separuh penglihatanku yang lain
bertahan dalam kepalan yang air
yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu kau memilih tergelincir.

- Kapan?
ketika kau meyakini cinta adalah ibu
dari seluruh perihal yang menyakitkan.



 BEBERAPA PERIBAHASA  YANG MEMPERPANJANG
UMUR INGATAN KITA

Alah Limau Oleh Benalu

lama sekali kupanjangkan lenganku,
hari dimana kau dikalahkan perang
lalu dengan membawa ingatan yang timpang
kau minta pada orang-orang agar ada yang berkenan
mendonorkan obat dan selebar perban

serupa ini aku merawat engkau yang
peram sebagai  lukaku yang sungguh lapang
sesaat sebelum aku pecah tak mampu lagi
menampung engkau  yang girang ketika
menumpang aku,
pulang.



Kecil-kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak

sebesar genggam yang padaku
masa depan  kau lempar  menjadi  berhala di pikiran.
sekali saja skala itu sengaja mencipta masing- masing
tangis  kita agar salah memasang  linang

sebab sebenarnya di peti mati,  tuhan
serahasia mungkin menyimpan
peta buta silsilah  mata kita

yang mengelabuhi  jutaaan duri
yang  tumbuh dari dalam daging  ingatan
kita sendiri

hingga aku berpikir  perlunya
berganti-ganti  tubuh
berkali-kali menjadi kacamata utuh
agar tiap  kenyataaan yang cacat
mampu lekas-lekas kita ralat



Bagai Menampung Air dengan Limas Pesuk

teman-manjamu  ialah jam-jam di akhir pekan
habis dihitung  telunjuk belanjaan,
yang basi diulat-- hijaukan  sayur-sayur
yang terus saja membusukkan  mimpimu ketika tidur

ah, itu sebabnya kau
senganga tutup panci, yang belum lunas dihutang
tangguh  meski kerap ditagih,oleh riuh  suara
perut lapar yang selalu  engkau  jejali
dengan  bersuap-suap  dalih


Pecah Menanti Sebab, Retak Menanti Belah

sebelum engkau  lebih miring, aku
lama sudah  mengajak diriku dalam  pendakian
mengumpulkan nasibmu yang pecah
di masa depan,
hambur ke seluruh lehermu yang dipenuhi  jurang

kelak tak  bisa semena-mena   kau  menjadikan aku  tertuduh,
memungut  apa yang tersisa dari penjara
meski  kesedihan bagi  airmata
adalah hakim yang akan engkau imani ketukan
palunya.



Berguru ke Padang Datar, Dapat Rusa Belang Kaki
Berguru Kepalang Ajar, Bagai Bunga Kembang Tak Jadi

ia  sebuah jalan, yang salah  membaca
di papan tulis manapun jari menghitamkan diri,
sementara aku tak tahan lagi
menelantarkan  keringatku dengan  runcing kaki

sebab sering  ujungnya  patah diasah arah,
sebab gagal  menangguhkan masalah

o, kemana juga lari kaki rasa sakit  itu
sejak tahun dan tuhan ditubuhku
berebut menjadi  pemburu



Cuma Keledai, Jatuh Dua Kali di Lubang yang Sama

berulangkali aku mencoba
menebang—menumbangkan   
telingaku  yang terlanjur hutan, 
rimbun menutupi nyaris  seluruh
nama-nama yang jatuh dari jalan

“tuhan, kenapa di alamatmu  aku merasa lebih sesat
dari matahari yang terbit  di tahun-tahun kabisat?

dalam kebodohan
aku  kerap mengangankan,
kau menginginkan
aku memetik buah-buah yang
engkau tanam lewat lenganku  yang ranum
sebelum adam kau kutuk berabad-abad lagi
setelah ini agar menyimpan  jakun.

kau biarkan aku mengabarkan
pada setiap yang  kabur
bersama angin yang tempias di dinding kelas,
dimana kelak  aku menangis 
sebab selalu gagal 
ketika bertatap dengan wajahmu
yang cermat mengawasiku dalam
pelajaran menghafal


tuhan, maukah  kali ini kau tak
mencipta dulu kalimat tanya perihal?

Tidak ada komentar: