sebenarnya ini sajak-sajak lama saya, kira-kira saya membuatnya rentang tahun 2010 sampai 2011 itupun kalau tidak salah ingat. dan minggu ini koran Suara Merdeka memuatnya, sempat kaget juga ketika beberapa "judul kecilnya" dipangkas (tidak dimunculkan) oleh redaksi, tapi akhirnya maklum, mungkin keterbatasan halaman dan hanya mampu memuat dua "judul kecil" pada sajak kedua. dan di blog ini saya sertakan "judul kecil" yang terkena pangkasan tersebut. selamat menikmati keutuhan.
KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas
- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki
mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang
berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami
- Tiba-tiba jalan
menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau
tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai kekalahan.
- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal
yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya
usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama
- Jarak
sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,
- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali
bermimpi
tak juga
henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab
usiaku semakin buta dan
tak ada
yang bisa ditemui
sebelah
mataku selain dendam yang batu
untuk
menyebut keinginanmu
sementara
separuh penglihatanku yang lain
bertahan
dalam kepalan yang air
yang akan
kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu
kau memilih tergelincir.
- Kapan?
ketika
kau meyakini cinta adalah ibu
dari
seluruh perihal yang menyakitkan.
BEBERAPA
PERIBAHASA YANG MEMPERPANJANG
UMUR INGATAN KITA
Alah Limau Oleh Benalu
lama sekali
kupanjangkan lenganku,
hari dimana kau
dikalahkan perang
lalu dengan membawa
ingatan yang timpang
kau minta pada orang-orang
agar ada yang berkenan
mendonorkan obat dan
selebar perban
serupa ini aku
merawat engkau yang
peram sebagai lukaku yang sungguh lapang
sesaat sebelum aku
pecah tak mampu lagi
menampung engkau yang
girang ketika
menumpang aku,
pulang.
Kecil-kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak
sebesar genggam yang
padaku
masa depan kau lempar
menjadi berhala di pikiran.
sekali saja skala itu sengaja mencipta masing- masing
tangis kita agar salah memasang linang
sebab sebenarnya di peti
mati, tuhan
serahasia mungkin menyimpan
peta buta silsilah mata kita
yang mengelabuhi jutaaan duri
yang tumbuh dari dalam daging ingatan
kita sendiri
hingga aku
berpikir perlunya
berganti-ganti tubuh
berkali-kali menjadi
kacamata utuh
agar tiap kenyataaan yang cacat
mampu lekas-lekas
kita ralat
Bagai Menampung Air dengan Limas Pesuk
teman-manjamu ialah jam-jam di akhir pekan
habis dihitung telunjuk belanjaan,
yang basi diulat--
hijaukan sayur-sayur
yang terus saja
membusukkan mimpimu ketika tidur
ah, itu sebabnya kau
senganga tutup
panci, yang belum lunas dihutang
tangguh meski kerap ditagih,oleh riuh suara
perut lapar yang
selalu engkau jejali
dengan bersuap-suap
dalih
Pecah Menanti Sebab, Retak Menanti Belah
sebelum engkau lebih
miring, aku
lama sudah mengajak diriku dalam pendakian
mengumpulkan nasibmu yang pecah
di masa depan,
hambur ke seluruh lehermu yang dipenuhi jurang
kelak tak bisa semena-mena kau menjadikan aku tertuduh,
memungut apa yang
tersisa dari penjara
meski kesedihan bagi
airmata
adalah hakim yang akan engkau imani ketukan
palunya.
Berguru ke Padang Datar, Dapat Rusa Belang Kaki
Berguru Kepalang Ajar, Bagai Bunga Kembang Tak Jadi
ia sebuah jalan, yang salah membaca
di papan tulis
manapun jari menghitamkan diri,
sementara aku tak
tahan lagi
menelantarkan keringatku dengan runcing
kaki
sebab sering ujungnya
patah diasah arah,
sebab gagal menangguhkan masalah
o, kemana juga lari
kaki rasa sakit
itu
sejak tahun dan tuhan
ditubuhku
berebut menjadi pemburu
Cuma
Keledai, Jatuh Dua Kali di Lubang yang Sama
berulangkali aku mencoba
menebang—menumbangkan
telingaku yang terlanjur hutan,
rimbun menutupi
nyaris seluruh
nama-nama yang jatuh dari jalan
“tuhan, kenapa di alamatmu aku merasa lebih sesat
dari matahari yang terbit di tahun-tahun kabisat?”
dalam kebodohan
aku kerap
mengangankan,
kau menginginkan
aku memetik buah-buah yang
engkau tanam lewat lenganku yang ranum
sebelum adam kau kutuk berabad-abad lagi
setelah ini agar menyimpan jakun.
kau biarkan aku mengabarkan
pada setiap yang kabur
bersama angin yang tempias di dinding kelas,
dimana kelak aku
menangis
sebab selalu gagal
ketika bertatap dengan wajahmu
yang cermat mengawasiku dalam
pelajaran menghafal
tuhan, maukah kali
ini kau tak
mencipta dulu kalimat tanya perihal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar