: semalam sengaja meluangkan waktu untuk menemui sulung pamanggih. cuaca semarang lumayan asyik tidak seperti kemarin-kemarin yang tiap sore sudah diguyur hujan. saya datang. beberapa menit sulung juga datang. melihat sulung mengendarai motor tuanya seperti masuk lagi ke novel "mencintai che". kontemporer sekali sulung di timpa lampu listrik dari atas. kontemporer dan ganas. padahal labil di kenyataan. haha.
"bagaimana?"
"apanya yang bagaimana?"
ketawa kami.
"mau ngopi dimana?"
"terserah situ, yang penting nggak terlalu bising."
"ke tempat wiwid saja gimana"
dan wiwid memang disediakan telapak malam untuk mendampingi bincang-bincang kami. ruangan sempit sebab 2/3 nya termakan rak buku. satu kipas angin yang berderit. serakan barang-barang tidak jelas, koran-koran minggu. kopi di buat cekatan. rokok dikeluarkan. dan pada akhirnya bla bla bla. kami seperti mengkonvensi ini semua ke sebuah judul "diskusi sampai mati"
ngobrolin dari cerpen Puthut EA, perspektif Ignas Kleden, melompat bagaimana membuat esai untuk puisi yang baik-- wiwid sempat berjujur, esainya kemarin membahas puisi-puisi Ghani dan Amir adalah debutnya. dan dia gemetaran waktu bikin. Ngeluh. bikin esai buat puisi itu tidak semudah membuat esai menanggapi wacana. Lalu terlintas nama-nama esais yang jernih macam Tia Setiadi, kecerdasan Dea anugrah, keruwetan ungkap nya Bandung Mawardi, dan mahzab baru "esai gelap" vivi Andriani. terseret juga untuk memperpanjang omong kosong tentang lekra dan manikebu yang dibawa Pram, Gunawan Mohamad yang bertabiat lentur-lentur menyulut, Taufiq Ismail yang keukeuh, dan sulung yang tiba-tiba linglung nol besar tentang puisi esai yang sedang kontra opini itu. dan bla bla banyak lagi menyebut nama-nama macam derrida, foucault, saussure cuma untuk dianggap dialektik dan berargumen valid memang bukan kategori dosa besar malam itu. jam lima kopi sudah tandas. rokok tinggal beberapa gelintir. saya pamit pulang dengan beberapa kali menguap. Adzan subuh melalui kami dengan suara merintih-rintih...
"bagaimana?"
"apanya yang bagaimana?"
ketawa kami.
"mau ngopi dimana?"
"terserah situ, yang penting nggak terlalu bising."
"ke tempat wiwid saja gimana"
dan wiwid memang disediakan telapak malam untuk mendampingi bincang-bincang kami. ruangan sempit sebab 2/3 nya termakan rak buku. satu kipas angin yang berderit. serakan barang-barang tidak jelas, koran-koran minggu. kopi di buat cekatan. rokok dikeluarkan. dan pada akhirnya bla bla bla. kami seperti mengkonvensi ini semua ke sebuah judul "diskusi sampai mati"
ngobrolin dari cerpen Puthut EA, perspektif Ignas Kleden, melompat bagaimana membuat esai untuk puisi yang baik-- wiwid sempat berjujur, esainya kemarin membahas puisi-puisi Ghani dan Amir adalah debutnya. dan dia gemetaran waktu bikin. Ngeluh. bikin esai buat puisi itu tidak semudah membuat esai menanggapi wacana. Lalu terlintas nama-nama esais yang jernih macam Tia Setiadi, kecerdasan Dea anugrah, keruwetan ungkap nya Bandung Mawardi, dan mahzab baru "esai gelap" vivi Andriani. terseret juga untuk memperpanjang omong kosong tentang lekra dan manikebu yang dibawa Pram, Gunawan Mohamad yang bertabiat lentur-lentur menyulut, Taufiq Ismail yang keukeuh, dan sulung yang tiba-tiba linglung nol besar tentang puisi esai yang sedang kontra opini itu. dan bla bla banyak lagi menyebut nama-nama macam derrida, foucault, saussure cuma untuk dianggap dialektik dan berargumen valid memang bukan kategori dosa besar malam itu. jam lima kopi sudah tandas. rokok tinggal beberapa gelintir. saya pamit pulang dengan beberapa kali menguap. Adzan subuh melalui kami dengan suara merintih-rintih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar