; ibuku
diantara himpitan bayang-bayang pohon meranti merah, sebelum tahun-tahun menghukum diri mereka sendiri dengan kekecewaan. inilah aku, ibu. sebuah perjalanan yang gemetar; sendirian memikul takdir yang sama sekali tak bisa ditukar. bahkan dengan hal-hal perih milik siapapun yang pernah mengangankan sorga. sorga yang aku benci sebab tak hati-hati menjatuhkan buah simala—karma ini.
aku, akulah bungsu dari rahimmu yang lahir semata-mata menjelaskan kapan siasat dan isyarat-isyarat berakhir. kepadaku dekatkanlah, dekatkanlah lehermu sekapak demi sekapak, biar kusapih dan kupisahkan dulu masa lampau yang telah menyusuiku. ini mata kapakku ibu; dendam seluruh pandangan. yang begitu saja mencintai lengkungan petang di lehermu, petang yang suatu ketika pernah menjelma rimba bagi para ksatria yang diburu rasa ingin tahu mereka. mudah jatuh dibidik pelukan dan kecupan-kecupan yang melintasi semak-semak dan pepohonan.
seusai ini, aku berjanji niscaya mereka akan mandi dan mencuci daki nafsu dengan kesedihan yang kutimba dari tusukan airmata mereka sendiri. kita sudah dalam jarak sedekat ini,ibu, namun tak ada yang bisa kusebut penyesalan. tebaskan saja, anakku. tebaskan. kegelapan menempaku, membesikan lengan kananku. di sisa bayang-bayang pohon meranti merah, aku dekap tugal kepalamu agar tak menggelinding ke tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar