MEMBUKTIKAN PUISI-PUISI SETENGAH MATANG MILIK GURI RIDOLA


Oleh: Arif Fitra Kuniawan*

Sajak Guri Ridola yang dikirim ke saya berjumlah tujuh buah. Tujuh judul  sajaknya sudah cukup  memaksa saya berkali-kali mengakrabi Kamus Besar Bahasa Indonesia demi menikmatinya, menikmati sesuatu yang konon kata si penyairnya adalah sajak sajak yang sudah berubah, dari “sajak setengah matang” ke konon menjadi “sajak yang matang”. Iklan perubahan ini  yang membuat saya penasaran untuk membuktikan, apakah benar sajak-sajaknya telah matang dan ‘nyamleng’, ‘top markotop’,’maknyus’, ketika dikecap?. Saya jengkel sekaligus gemes saudara, seperti yang saya ungkapkan di awal, mesti bolak-balik membuka kamus demi mencari arti kata betanggang, petanggang,mendedahkan, ketam, puding kurik, menyaru, pelanta, kue sapik, dikubak—kuliti, segantang dan beberapa kata lagi yang bagi saya menjadi kata asing di sajak-sajaknya. Bukan bermaksud buruk atau jahat,  menggunakan ini sebagai celah untuk mencacat sajak Guri. Bukan. Semata-mata ini karena saya sebagai pembaca adalah seseorang yang lahir di Jawa. Ya, saya terus terang mengalami kekacauan interpretasi ketika ingin mencari  keutuhan sajak-sajak Guri lantaran  satu dua kata tidak berhasil saya temukan artinya dalam kamus. (beberapa kata saya dapatkan artinya, beberapa lagi terpaksa saya lompati, sebab di kamus tak mencantumkan definisi kata tersebut).

Guri Ridola, si penyair  yang saya kenal sebagai  spesialis pembuat tulisan setengah matang ini, lahir di Batusangkar,  yang saya ketahui dari Wikipedia adalah ibukota dari kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Di wikipedia ditulis, tidak ada yang tahu  secara pasti muasal darimana nama Batusangkar; apakah konon ada sebuah batu dalam sangkar; batu yang menyerupai sangkar; atau malah sangkar yang menyerupai bebatuan. Yang  jelas,  Batusangkar yang disana berdiri benteng Fort Vander Capellen  yang dibangun  antara tahun  1822 sampai 1826 itu jauh sekali dari kota kelahiran saya --sekaligus tempat perantauan Guri Ridola--, Semarang.  Jarak seperti itu menurut dugaan saya, menciptakan ruang-ruang konflik historikal tersendiri yang efeknya adalah mimesis kebudayaan, benturan-benturan batin, selain pastinya kekhasan daya ungkap ketika seseorang menuliskan sajak.  


Seperti yang dikutip Sapardi Djoko Damono dari Geibstein, karya sastra tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.  Dan itu terbukti di  sajak-sajak Guri Ridola. Tengoklah  sajak  Musim Tanam; Palanta; Tonggak Dingin. Kekhasan Guri sebagai lelaki padang yang merantau ke Semarang menelusup diantara teks-teksnya itu, sajak Guri berupaya membawa serta kampung halamannya.  Diksi-diksi yang diambil suasana alam, binatang lokal semisal tupai, rumah gadang, suasana halaman surau petang hari, kebun belakang, buah-buahan. Puding kurik, kueh lapik, kopi petanggang, ukuran segantang, tongkat rotan, kaki bujang. Seakan tak bisa begitu saja dilepaskan dari ingatan sajak-sajaknya. Seperti halnya Guri Ridola yang sampai sekarang,belum bisa membiasakan lidahnya dengan masakan warteg, atau makan di angkringan. Bagi lidahnya, makanan yang bisa dipacari lidahnya semata-mata cuma masakan Padang
Bayangkan menafsirkan sendiri kata-kata semacam puding—kurik, kue sapik, dan barangkali fatalnya adalah ketika dugaan saya meleset,
Dibulat-pipihkan segala yang hangat sebelum angin mendinginkan
dalam kepala yang menduga-duga sejak ia masuk ke telinga
bagai melipat kue sapik panas di tangan tentram di dada
walau belum tahu siapa yang akan bertamu nanti malam
(Palanta)

Apa jadinya seandainya saya salah menuduh kue sapik, ternyata bentuknya jauh sekali  dengan kue segenggaman tangan yang saya pikirkan--kalau di tempat saya diberi nama kueh apem--, kue yang terbuat dari adonan tepung beras yang diuleni dengan biang dan santan kental, dengan cara menimang-nimangnya dalam tekanan tertentu selama lebih dari satu jam, kemudian dibiarkan mengembang sebelum akhirnya dimatangkan di wajan baja itu. Apa jadinya pula jika ternyata yang disebut puding kurik, jauh sekali dengan harapan saya ketika lapar, seloyang puding yang biasa ibu buat dari agar-agar yang sekali masak dalam satu panci dibagi dua, sebagian dibiarkan sesuai warna aslinya merah, sebagian lagi dicampuri susu kental manis.

Kau datang membawa hangat dalam segantang kata
bagai penari telanjang memilin-milinkan tubuhnya di tiang besi
ingin menggagalkan dingin menggigilkan tonggak di depan rumah
yang menjelma pohon nangka
tempat sunyi dilepas dan digetahi berkali-kali
(Tonggak Dingin)

Saya berterimakasih kepada kamus yang telah memberitahu saya bahwa kata segantang adalah  takaran untuk mengukur benda seberat kisaran 3,125 kilogram, biasa dipergunakan untuk menimbang beras, jagung, kacang-kacangan dan hasil panen. Itu mempermudah saya dalam memasuki sebuah ruangan untuk menari-nari,berlenggak lenggok bersama dengan penari striptease, agar tak diserang dingin  yang menusuk-nusuk sampai ke anus!

Tapi apakah sajak-sajak Guri Ridola benar-benar tidak bisa mendua?  Karena bagaimanapun, beberapa tahun di perantauan, penyair tentu mau tidak mau akan terseret untuk membuat pertentangan dan tarik menarik dengan ruang-ruang budaya yang ia tempati. Perubahan cara ucap hasil pertentangan atau kontaminasi itu bisa kita lihat di sajak Bibir.

Bibirmu angkot yang kutemui di setiap kota
aku terima pertemuan sebagai penumpang
mengabaikan rambu dan pengamen jalanan
nama jalan dan bangunan serta kata-kata iklan
namun berjaga-jaga pada barang yang dibawa
sebelum aku sampai dan pertemuan usai
tubuhku jatuh ke tanah bagai jemuran basah

Bibir

Sajak ini dibuat tahun 2012, dimana penyair sudah tinggal di tanah rantau beberapa tahun  sebagai mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan tingkat akhir, universitas Diponegoro. sajak ini seolah memberitahu saya,  penyair mau tak mau  terkikis juga oleh arus urban, pengaruh interaksinya dengan orang-orang yang tak lagi membawa kampung halaman, surau, musang, tupai, kaki bujang, dikubak-kuliti atau ungkapan-ungkapan sejenis itu.

yang membuat saya sukar, ketika saya sebagai pembaca yang kadang tak mengenal dengan baik bahasa ibu yang diselusupkan secara angkuh ke dalam sajaknya, ada semacam kesenjangan. Angkuh yang saya maksud disini adalah kata-kata “planet” itu tidak bisa lumer ke dalam sajaknya, entah itu karena pembacaan saya yang dangkal, atau memang kadang penyair kurang mampu memasukkan unsur ‘perasaan’, ditambah lagi dengan  metafor-metafor, idiom serta personifikasi, yang tumpang tindih dan berlapis-lapis, namun hasilnya lebih kerap membuat berantakan daripada mengutuhkan.  Beruntung dari tujuh sajak itu, saya menemukan harapan di Katalog Abu,

Katalog Abu

Katakan di mana engkau terbit, tentu tidak seperti matahari
bayanganmu keluar lalu terbang dalam tabung cahaya dari lubang atap

Datang dan pergi bagai membalik halaman buku
; ditangkap dan dilepas mata
beberapa isyarat di tubuhmu menjadi syarat di tubuhku
nama-nama yang berebut ingin di depan-belakangkan
agar tidak ada yang tersesat dalam perpustakaan

Katakanlah di mana engkau tinggal, tentu tidak seperti musafir.
sebab engkau ingin jadi kolam air bagi musafir

Di batang tubuhku pangkal namamu tersimpan
beberapa huruf yang telah dijadikan mantra
agar tidak ada yang berkata dusta

Katakanlah di mana engkau hilang, tentu tidak seperti jejak
sebab engkau tidak pernah menapak, namun ingin dilacak

Laci-laci lemari membuatku tua selepas pembakaran pada senja itu

Semarang, 2011-2012


sajak ini saya gunakan sebagai penawar sakit hati saya setelah saya merasa gemes, jengkel, dan sakit hati, karena, sebenarnya saya ingin membuktikan, bahwa sajak-sajak Guri Ridola tak seperti apa yang dikatakan Afrizal, sebagai sajak-sajak yang hancur dan jelek.  Sajak-sajak yang menurut saya setelah membacanya berulang-ulang ternyata menjejali diri sebanyak mungkin dengan upaya-upaya atribut agar “tampil beda”, si penyair seakan-akan ingin agar tubuh sajaknya benar-benar sempurna didandani. Berbicara mengenai tubuh, saya berhasil mencatat, sajak Guri berjumlah tujuh buah. Dan ini, barangkali dapat menjadi semacam tali tipis yang dapat ditarik, ada 11 kata tubuh di enam sajaknya, cuma satu di sajak Palanta, yang selamat dari serangan teror kata "tubuh". Mengapa penyair menggunakan tubuh untuk menyampaikan harapan-harapannya, harapan untuk dapat menciptakan tubuh yang terlihat perfeksionis. Namun tubuh sajak, apakah perlu juga berlebihan ketika berdandan?

 * ditulis untuk keperluan program NgoPi edisi sajak  Guri Ridola. Tanggal 10 Maret 2012.

Tidak ada komentar: