MENCARI DIDU DAN VIVI DALAM PUISI-PUISINYA


ditulis untuk kepentingan Ngobrol Pintar edisi puisi vivi Andriani

Didu kemana  ya?, baiklah kita mulai saja  pencarian  ini semua dari kata tanya.  Semoga  kata tanya  akan membawa kita ke banyak hal, banyak peristiwa yang sedang dan telah dibangun  Vivi andriani dalam puisi-puisinya. Meskipun barangkali saya bukan touring guide yang baik ketika menemani mencari didu dan jalan keluar , ah masa bodoh; paling tidak kita berkeliling-keliling dan menemukan sesuatu yang lain, yang  jangan-jangan tidak sedang  kita cari-cari [?]
dimana didu, Mana dia, o, disini rupanya, kenapa, gak apa-apa
kemana didu, ngapain dia, o, nonton teve, kenapa, gak apa-apa
didu, didu, didu, mana didu, o, tidur rupanya, kenapa, gak apa-apa, tidurlah
mau kemana didu, kenapa pakai baju bagus, gak kemana-mana, kenapa, gak apa-apa
(Nyanyian Didu)

maaf, bilamana saya tak membawa serta  buku-buku tentang eksistensialisme, teori  dekonstruksi, gerakan feminism, postmodernist, atau pendapat-pendapat yang begitu  keren dari  alat ucap serta pemiikiran semisal Riffatere, Paz, Todorov, Camus, Nietzche,  Derrida, maupun Freud,  yang mengucapkan namanya saja  melulu keliru dan membuat saya merasa jauh lebih bebal dari perkiraan, padahal paling tidak teori-teori itu sebenarnya bisa ditarik dan saya pergunakan untuk menopang, merakit-rakit, meraba-raba, apa-apa yang tersirat serta yang tersurat dalam tubuh puisi ini secara tekstual maupun intertekstual. Sudahlah. Itu salah saya kok. Saya belum terbiasa membaca hal-hal yang berat, jadi mari,  selamat menabrak-nabrak  sebab interpretasi serta  terkesan cuma bermodal dari membayangkan mengenai sebuah kejujuran.

tapi bukankah puisi memang selayaknya terlahir dan hadir  dari  kejujuran? termasuk ketika puisi bingung, timpang, sedu, lantas menulis kebingungan, ketimpangannya, menjadi si pe-nanya, sekaligus si penjawab, menjadi si pencari, sekaligus si penemu, seperti puisi di atas. yang dibangun dengan “berbagai kenapa”. kenapa nonton teve; kenapa tidur;kenapa terbangun cepat-cepat; kenapa mesti pakai baju bagus.  Pertanyaan-pertanyaan yang sungguh riuh bukan? , saya membayangkan, saya ikut berada di lalu lalang pertanyaan-pertanyaan itu. Saya adalah didu si pencari, sekaligus yang di cari. didu adalah ketakutan saya, yang berusaha saya lawan dengan berbagai upaya-upaya, dan upaya yang barangkali tepat adalah dengan berkata sebanyak-banyaknya bahwa saya tidak baik-baik saja. gak papa. gak papa. saya tidak baik-baik saja. Berharap repetisi yang sistematis  mampu menjadi sugesti dan hipnosis bagi diri sendiri.  Amin ya Didu. Amin. jangan mati dan membusuk dulu sebelum kami menemukanmu.

Saya rasa puisi ini, maupun beberapa puisi vivi yang lain ingin melawan sesuatu yang kerap mengganggu pikirannya, puisi yang ingin lepas dari aturan-aturan (meski tak hendak membuat aturan baru), puisi yang ingin “gue banget”. Memperalat diksi-diksi yang lepas dan sedikit tidak peduli, menyadari bahwa kerelatifan adalah kemungkinan-kemungkinan yang berhak untuk kita pilih.  termasuk membuat paradox, antithesis, menggunakannya agar merdeka dari yang telah menjajahnya, yang telah menjadi mitos-mitos yang selama ini dipegang oleh banyak orang sebagai sebuah keyakinan. Vivi memilih puisi untuk memerdekakan diri.


…cinta ternyata seperti indomaret, ramai, enak, banyak dan gampang tapi membuatmu seperti wajib untuk datang, aku sedih sayang membayangkan anak-anak lahir dari rasa kasihan dan waktu yang cemas pada usiaku, usiamu, atau pada orangtua kita yang lugu, aku memang aneh, maka pergilah, pergi yang jauh, sejauh kau bisa, karena aku tak ingin di sana, mati bosan dalam kasih sayangmu yang makin lama makin mirip malaikat dari kitab-kitab suci, baik hati dan berwibawa…
(Lamaran Datang Suatu hari)

Terasa sekali, vivi ingin membisikkan penawaran yang ia anggap sesuai secara subyektif, sesuatu yang mungkin tidak seperti yang selama ini di perdengarkan, didoktrinkan, kepada kita sebagai rezim pemikiran secara laten, berulang-ulang, terus menerus. Hal-hal seperti ini beberapa kali saya temui diantara puisi-puisi Vivi.

puisi-puisi ini berusaha meyakinkan diri, menjujuri apa yang ada, tak ingin segala sesuatu tercipta dari keterpaksaan, atau yang dipaksakan. vivi seperti ingin memperjuangkan puisi sebanding memperjuangkan haknya sebagai produk sejarah. Yang diciptakan dengan pengkotak-kotak--an, harus tunduk pada keseragaman. Puisi-puisi Vivi ingin mecipta dongeng bagi dirinya sendiri.

Diamlah
Dunia baru saja lahir diujung mata, kenapa ada panggung lahir sia-sia
(Puisi menthol)
saya tak tahu, apakah  puisi-puisi vivi berasa menthol atau tidak, semriwing atau malah meranggas, terbakar. saya tak berani bertanya dan memilih  menurut, seperti anjuran puisi ini agar diam. Diamlah.  Diam sembari membayangkan bulatan dunia tiba-tiba merobek mata saya, yang kanan tepatnya. meluncur dengan gerakan parabolik  jatuh menimpa dan menghancurkan harapan-harapan. Termasuk apa yang telah bertahun-tahun kita yakini sebagai panggung sandiwara ini. Aduh, mengapa “kenapa-kenapa” dalam puisi vivi  begitu menyakitkan?

Tidak ada komentar: