ngejamz lagi bersama arimbikecil


sore hari, ditemani segelas sereal rasa vanila.


wisanggenikecil :

kemana, bagaimana, sedang apa, akhir -akhir ini,
kok kayaknya tidur puisimu lelap sekali.

. . . . kemudian kau mimpi.
kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap nafasmu.
tubuhku berjalan ke arah hutan.
aku tak bisa memanggilnya.

...

aku dekap kamu.
setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana
pelan-pelan meninggalkan kita.

( dalam kemah ; Goenawan Mohamad )



arimbikecil :

puisiku capek sekali.
dua tangannya membatu. aku kasihan melihatnya.
cuma bisa memandang. tak berani membangunkan.



wisanggenikecil :

ya, kau yang memilih menidurkan puisimu.
selelap kumbakarna.
jauh sebelum waktu di ciptakan orang-orang
sebagai sarana meditasi,
puisimu telah lebih dulu menjelma usia pertapa.
tua.
rentan.
sekarat.
gemetar memegang ketidakpercayaan.



arimbikecil :

aku kesulitan.
puisiku sudah jadi mumi.
aku kini alih profesi.
jadi tukang tambal sulam. tiap waktu disibukkan potongan perca.
percayalah saat seperti ini.
aku ingat kamu di masa lalu.
yang mengajariku bagaimana memegang
piring.
senduk.
garpu.
lantas menusukkan dengan penuh kekuatan ke dadaku sendiri.
sampai kapan,
darah itu mengalir dan aku lupa menceritakanya kepadamu ?


wisanggenikecil :

mengerikan.
jika kita mesti menjadi dua mata angin yang lain.
padahal dulu, kita dua warna bendera yang di jahit ibu.
merah aku.
puitih kamu.
yang akan cuma jadi saputangan biasa
jika salah satunya tak ada.


semarang hari masih sore, hujan turun lagi.





Tidak ada komentar: