Aku
menunjukkan buku apa yang kubaca sebulanan ini pada Fitri, ketika dia
bertanya apa yang akan aku tulis untuk agenda Kelab selanjutnya setelah kami
semua membaca Vegetarian milik Han
Kang. Untuk beberapa saat dia pandangi buku yang kusodorkan. Sampul buku sudah
agak kisut di bagian kiri bawah, berpacak gambar separuh badan seorang aki-aki
berkumiscambang mengenakan jas. Riwayat Sang Pemikir Revolusioner, tertulis
begitu di bawah nama si Tokoh yang dikisahkan oleh buku. Ditulis oleh Isaiah
Berlin buku itu rupanya. Siapa itu Isaiah Berlin? Kupikir Fitri bakal bertanya
begitu tapi ternyata tidak. Dia meneruskan lempit-lempit baju-baju dan kutang
dan cawat dan celana-celana yang sorenya baru diangkat dari tali jemur,
sementara aku gagal berolok-olok. Aku pengin dia bertanya tentang siapa Isaiah Berlin lantas
aku akan menjawabnya, penulis dan pemikir terkenal dari seberanglah pokoknya
Isaiah Berlin itu.
Bagi John Elster—orang asing (lagi)
yang aku yakin Fitri juga tidak tahu, buku Isaiah ini adalah satu dari dua buku
biografi Karl Marx paling apik yang pernah ada. Satu lagi ditulis oleh Rosa
Luxemburg, satu lainnya dikarang oleh Leon Trotsky. Jadi, tulisanku kali ini tentang Karl Marx?
Ya, ini tentang Karl Marx. Juga
tentang kekeliruan-kekeliruan culunku selama ini.
Sejak aku kecil sampai akil baligh,
nyaris aku melulu dibayangi ketakutan yang timbul dari sensor pengetahuan milik
orang-orang sekitarku. Sejak di sekolah
dasar, baik guru-guruku, orang tuaku, tetangga-tetanggaku seperti bersekongkol
untuk membuat aturan primitif bersama. Mereka akan menanggungkan dosa besar
pada anak-anak mereka yang ingin tahu apa itu Marxis, apa itu Kiri, atau jika
ada yang sekadar tanya apa itu kudeta. Kau akan dicap calon penjahat. Kau akan
dihakimi seolah kau bromocorah yang ikut-ikutan gerakan terlarang Partai Komunis Indonesia atau antek PNI. Untuk
urusan seperti ini, kau tahu seuprit tentang Bung Karno atau Tan Malaka saja
kau sudah dianggap orang yang “berbahaya”.
Latar penuh halimun macam itulah yang
mengantar jalan ketidaktahuanku tentang Karl Marx dan apa-apa yang menjadi buah
pikirnya. Sampai aku tamat Sekolah Teknik Mesin-pun di kepalaku cuma bercokol
tugu abadi kebebalan: Karl Marx adalah Karl Marx adalah Orang Soviet adalah Orang
Komunis adalah Orang keji yang tak punya Tuhan. Kupikir akan lumrah adanya, waktu
butuh banyak sekali tetesan airnya buat melunturkan kepandiranku yang kadung
mengeras ini.
Belakangan, ketika segala informasi,
referensi, baik dari buku-buku atau omongan orang, atau dari bangku kuliah
sudah kudapatkan, aku masih saja tertawa mbedegel,
campuran geli dan jengkel karena terus saja menganggap kalau Marx adalah penduduk
sebuah kampung di Uni Soviet sana. Sialan.
Sampai-sampai pada pembacaanku kali
ini, aku mesti mengeluarkan stabilo merah, dan menggesutkannya pada lembar
halaman 23 di buku untuk menandai bahwa seorang Karl, lahir pada 5 Mei tahun
1818, di sebuah kampung bernama Trier Rheinland, Jerman. (Aku jarang
menggunakan alat penanda semisal pulpen atau stabilo ketika menandai buku, karena
aku sebagian orang yang percaya kalau buku mestilah bersih dari corat-coret,
jika memang tidak perlu dicorat-coret).
Barangkali, jika kekeliruan
menempatkan ingatan ini terjadi pada tempat kelahiran bapakku tak bakal bikin
rumit urusan. Tak jadi soal seseorang menyeru bapakku lahir di Pekalongan
meskipun faktanya dia lahir di Magelang. Tapi dalam kasus kekeliruanku yang
mengingat Karl lahir di Soviet tentu bikin panjang urusan. Jerman dan Soviet terpisah
laut dan banyak daratan, dan keliru menempatkan ingatan ini punya konsekuensi
besar, yakni juga kekeliruan penempatan sejarah Jerman dan sejarah Soviet utamanya.
Goblok sekali aku ini ya.
Ini genting kupikir. Karena kita
mana mungkin meneruskan laju pengetahuan kita, misalnya, lewat Isaiah Berlin
aku tahu ternyata bapak dan ibu Karl adalah orang-orang Yahudi tulen. Mereka
keturunan rabi ortodoks yang sama halnya seperti orang-orang Yahudi di abad pertengahan,
menjadi bagian dari komunitas minor di Jerman hasil diaspora yang mesti bertahan
hidup di ghetto-ghetto. Kau bisa
bayangkan kekeliruanku juga akan menyeret kekeliruan-kekeliruan lain jika aku punya
ingatan Karl adalah seorang laki-laki yang lahir di Soviet! Napoleon Bonaparte
tak pernah menguasai Soviet bung dan nona. Karl lahir di antara hiruk-pikuk
Jerman ketika kekuasaan Napoleon mulai surup dan gerakan para pemikir Perancis yang
radikal mulai merangsek nalar orang-orang Jerman yang jengah kemudian membaiat
diri mereka sebagai generasi Aufklaner. Apa itu artinya? Jika kau
salah membuka pintu, maka itu artinya kau juga salah memasuki ruangan dan
segala isi di dalamnya.
Di Jerman, Karl muda tumbuh menjadi
laki-laki pengkuh, pendiam, dan tak doyan perempuan tentu saja. Kelak, Karl
cuma bisa jatuh hati pada perempuan anak dari tetangganya sendiri yang sering
meminjaminya buku-buku. Kehidupan orang tua Karl yang tak kere-kere amat mampu
menjaminkan asupan makanan yang membuat tubuhnya montok serta pendidikan layak
yang membuat intelektualitasnya memadai. Tak ada kendala berarti untuk urusan
makan atau membayar indekos atau membeli buku-buku selama dia mengenyam
pendidikan. Semua beres belaka.
Di Universitas Berlinlah Karl turut
serta dalam pesta pora intelektualitas bersama-sama dengan para mahasiswa lain.
Jerman kala itu sedang dilanda mabuk pemikiran Hegel, dan muda-mudinya begitu
berapi-api bahwa semata-mata filsafat Hegelianlah yang bakal beri mereka cahaya
petromaks menghadapi semakin suramnya
peradaban. Dengan dialektika Hegelian, orang-orang di sana berbondong-bondong ingin
lepas dari ilusi-ilusi yang diciptakan oleh para penguasa dan pemuka agama.
Tapi perkara menjadi seorang rasionalis sebelum nantinya materialis, Karl
sebenarnya sudah ketularan kakeknya sendiri jauh-jauh hari. Sebagai keturunan
Yahudi yang mengalami banyak sekali perlakuan tidak adil, Keluarga Marx memang
sudah tidak percaya pada iming keselamatan yang dijanjikan oleh pihak kerajaan
(waktu itu Prussia, kemudian Perancis)
serta para pemuka spiritual baik para rabi maupun pendeta yang pada waktu itu
memang dipenuhi borok korup, menindas rakyat jelata, memanfaatkan dogma-dogma agama
untuk melanggengkan previlise mereka
sendiri. Muak dengan semua kebobrokan di sekitar, keluarga Heinrich Marx ini
memilih memeluk nalar dan kemanusiaan sebagai agama keluarga mereka.
Aku pikir kita sudah kerap dengar
seuprit kata-kata Karl “agama adalah candu”. Politik negara inilah yang memilintirnya
sedemikian rupa, hingga tafsir yang bisa kita ambil adalah seluruh pemikiran
Karl tabu karena Karl menghina-dinakan agama. Kita diberi dongeng-dongeng tentang
kekejian dan kemerosotan moral jika kita dekat-dekat dengan apa yang Karl
pikirkan. Di masa-masa orde baru khususnya, melihat sendiri dari dekat konteks sejarah
bagaimana Karl Marx mengecam agama adalah sebuah kemewahan yang cuma bisa
dicecap sembunyi-sembunyi.
Aku sendiri baru bisa leluasa membaca
Karl dan pemikirannya beberapa tahun silam. Kran kebebasan yang katanya dibuka paska
kejatuhan Suharto itu telek minti
jika berhadapan dengan sensor otomatis yang kadung beroperasi di kepalaku. Jadi
beginilah imbasnya. Aku jadi telat memiliki pengatahuan tentan Karl.
Volume pertama dari Das Kapital akhirnya terbit tahun 1867,
dan aku baru tahu. Meskipun aku juga belum membaca isi Das Kapital, paling tidak sementara ini akhirnya aku tak keliru menyangka,
buku Das Kapital adalah buku Panduan
Mendapatkan Jodoh Dunia Akhirat. Sebab di kata pengantar Das Kapital Karl
menegaskan tujuan buku tersebut ia tulis “untuk menemukan hukum ekonomi dalam
gerakan masyarakat modern”. (Anjing, aku pernah lihat di salah satu komentar
fesbuk, bahwa mempelajari Das Kapital bisa menjeremuskan kita ke neraka).
Aku juga baru tahu, lewat buku ini,
bahwa draft pertama dari Manifesto ditulis pertama-tama secara kasar justru
oleh Engels sebelum dipoles oleh Karl, karena Karl merasa tulisan Engel terlalu
mendayu-dayu, tak ada elan vital di kalimat-kalimatnya. Bedebah nian, yang aku
tahu adalah jika kau buruh, kau harus hapal bait terakhir dari Manifesto “...seluruh
buruh di dunia, bersatulah.”
Tapi dari banyak sekali ketidaktahuanku
tentang Karl, paling membuatku terenyuh sendiri adalah ketika dikisahkan bahwa Karl
adalah seorang bibliomania. Dia keranjingan
bacaan sedari kecil. Sejak dia berkenalan dengan tetangganya yang meminjami
buku-buku, di sekolahan sampai masa remaja, tak pernah dia berjauh dari bacaan.
Tidak di Jerman, tapi ketika dia akhirnya menjadi eksil di Perancis lantas tersingkir
ke Inggris, si bung pendiam dan pendendam hidup ini kalap terus dalam membaca.
Dikisahkan, selama tiga puluh tahun lebih dia habiskan usianya di London,
orang-orang yang berkarib dengan dirinya selalu bisa melihat Karl akan datang masuk
ke salah satu ruangan perpustakaan British Mouseum pada pukul tujuh pagi dan
terlihat keluar dari sana pada pukul sembilan malam. Karl kalap tidak hanya pada buku-buku pemikiran
dan ekonomi dan politik. Apa saja dia baca selagi itu terbuat dari huruf. Dia
membaca Gogol, membaca Pushkin, dan begitu menyanjung Balzac setelah di
masa-masa mudanya dulu sempat hapal di luar kepala karya-karya Shakeaspeare.
Karl bahkan membebek trik-trik yang digunakan Hegel untuk menjaga ingatannya
agar tidak luntur dengan mengahapalkan stanza dari sajak-sajak klasik. Karl
mungkin rela tubuhnya digerogoti radang selaput dada, tapi tidak dengan ketajaman
berpikirnya. Bahkan, aku menganggapnya sebagai klimaks penceritaan Isaiah
Berlin, Karl meninggal dunia dalam kondisi tubuh terduduk di meja belajarnya. Itu
terjadi pada 14 Maret 1883.[]
Ditulis dari pembacaan buku Karl Marx:
Riwayat Sang Pemikir Revolusoner, ditulis oleh Isaiah Berlin. Terbitan Pustaka
Promothea, 2007. Diterjemahkan oleh Eri Setyawati Alkhatab dan Silvester G.
Sukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar