Nyanyian Terakhir Seusai Makan Malam



Luka menyusup  ke  nyanyianmu yang
Hendak menghibur sepasang kandil mataku
Agar  bangkit sekali lagi musamu, yaqubmu,
Daudmu, yusufmu menghitung pasir
Dengan meminjam bibir birumu yang getir

Tak bisa kita tinggalkan angin panas yang merengek
Meminta sisa reruntuhan rumah kita
: Tunjukkan pada tubuh tipis kami  pohon aprikot yang pernah
Ditanam hawa sebelum rambutnya jadi rajutan
Bagi para pendusta

Tujuh hari. Bukan tujuh abad.
Tujuh abad. Bukan tujuh hari.

Kau perlihatkan padaku  pelepah ek yang ditatah
Oleh sebuah kabilah yang tak henti meminyaki
Tangan-tangan mereka dengan  masalah.


Kampung Brotojoyo, 2014-2017

1 komentar:

wahidawadler mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.