DAN PUISI MENGEKALKAN INGATAN (Suara Merdeka, Minggu 3 Agustus 2014)



Oleh: Widyanuri Eko Putra*

Sebuah puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi, daya intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair.  Puisi bisa jadi hasil dari pergulatan batin dan permenungan, atau hanya sebatas medium bagi penyampaian gagasan semata.
                Adalah sebuah kepuasan bagi penyair untuk sanggup  memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam rapor bakat dan kemampuannya, ke dalam bentuk  puisi (kleden, 2004). Niat “memberikan isi dan makna” terbaca dari upaya penyair memasukkan pelbagai referensi dan ingatan ke dalam bait-bait puisi ciptaannya.
                Demikian pula dengan sejumlah puisi karangan Arif Fitra Kurniawan yang terhimpun dalam eskapis (2014). Semacam kerja menelusuri pelbagai eksplorasi interteks, mengacu daya intelektual dan kesanggupan menghadirkan imaji dan referensi. Kerja ingatan, mengingat, diajukan sebagai tema besar dalam puisi-puisinya.
                Puisi adalah  hamparan ingatan. Penyair mengajak pembaca larut ke dalam tema-tema sejarah, waktu, masa kecil, dongeng, peribahasa, dan tokoh-tokoh besar. Eksplorasi referensi  yang mendalam, menggoda kita untuk menduga kerja penyair  tak sebatas berimajinasi, mengisap rokok, atau menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Penyair menekuri kerja mengolah referensi sebelum masuk dalam proses penciptaan. Penyair yang baik adalah juga seorang pelahap buku yang rakus. Puisi diciptakan bukan dari ruang yang mengawang tak berisi.
                Tokoh-tokoh kartun, dongeng, dan beberapa peribahasa mengajak pembaca bernostalgia.  Puisi berjudul “Beberapa Peribahasa Yang Memperpanjang Umur Ingatan Kita” memberi gairah untuk membuka kembali memori saat menjadi remaja pembelajar , masa di mana sekolah mengajarkan peribahasa  dan petuah.
                Sejumlah  peribahasa jadi lahan olahan puitik tanpa terkesan klise dan didaktis. Puisi “Kecil-Kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak”, “Pecah Menanti Sebab, Retak Menanti Belah”, atau “Sudah Nasib Nasi Menjadi Bubur”, misalnya.  Peribahasa ditahbiskan sebagai pintu gerbang memasuki medan puisi namun tak memberi harapan bagi pembaca menemukan makna konvensionalnya.
                Simaklah potongan puisi “Air Di Daun Talas” berikut: yang bernama ular adalah engkau// yang berwujud air adalah aku//sepasang panjang ini saling memistarkan. Jika konvensi makna peribahasa yang dipakai sebagai judul adalah “orang yang tak punya pendirian”, puisi ini justru sama sekali jauh dari pemaknaan konvensionalitasnya. Personifikasi “ular” dan “air” yang “saling memistarkan”, menyiratkan imaji tentang “sesuatu yang bersejalan”, terlepas dari tautan makna “tak berpendirian”.


Efek Percakapan
Penyair tak menakik makna peribahasa, atau serta merta memformulasikan peribahasa ke dalam puisi.  Penyair justru  mengimajinasikan keberadaan subyek peribahasa,dan menampilkan permenungannya ke dalam puisi.  Pilihan ini tentu memberi efek percakapan antara pembaca dengan teks tidak berlangsung sederhana. Ada tawaran-tawaran tafsir dari penyair kepada pembaca atas peribahasa yang dicomotnya.
                Penyair juga menghadirkan sejumlah tokoh kartun dan tokoh bersejarah. Puisi berangkat dari penafsiran atas ucapan, sifat, kisah, biografi tokoh. Puisi “Nobita” ditulis dengan gelora sinisme, menampilkan kritik atas lelaku tokoh dalam dunia kartun. Simaklah petikan puisi berikut: “aku bodoh, maka dari itu aku ada”. Ungkapan klasik khas  Descartes justru diintertekstualisasikan  ke dalam adagium sarat kritik. Eksplorasi terhadap tokoh-tokoh kartun tidak selinear saat eksplorasi terhadap peribahasa.
                Penggarapan puisi dengan memberi rangsang atas ingatan-ingatan memang  memberi kemudahan bagi pembaca untuk memulai sebuah percakapan dengan teks.  Pembaca akan lebih mudah terpantik emosionalitasnya  ketika pembacaan sanggup menarik keluar pelbagai kenangan dari benak pembaca. Tekstasi pembaca memungkinkan untuk lebih mudah tercapai.
                Gerak zaman begitu cepat. Manusia disuguhi informasi dan teknologi namun terjebak dalam pikatnya. Modernitas justru melemahkan ingatan manusia. Publik gampang lupa dan abai pada historisitas diri. Eskapis jadi semacam ikhtiar menggali kembali historisitas ingatan  pembaca agar tersegarkan.
                Beberapa hal mungkin pernah dijumpai pembaca semasa kanak-kanak.  Ingatan saat guru mengajarkan peribahasa; tokoh-tokoh kartun yang pernah digemari; dongeng yang masih terngiang; semua terendap dalam ingatan. Puisilah yang kemudian beritikad menggali ingatan yang berdiam di ruang sunyi itu. Kadang, melawan lupa tidak melulu harus diisi orasi, selebaran, dan demonstrasi. Ingatan justru terkukuhkan lewat polesan puisi.
                Penggunaan sekita tiga puluh kata “ingatan/mengingat” dalam puisi-puisi Arif memberi penegas betapa penyair memberi perhatian lebih perihal kerja ingatan/mengingat. Petikan puisi “Yang Kau Panggil Namanya Sambil  Berlari” menggenapi keyakinan penyair atas rapuhnya ingatan menghadapi waktu dan gerak zaman. “betapa mustahilnya mengembalikan waktu/dan menjaga segala ingatan yang pernah erat memeluk/ tubuhnya—tubuhmu
Menekuri puisi Arif Fitra Kurniawan, dengan kesadaran untuk mencoba menarik satu pengikat dari sekian puisi-puisinya, tidak bisa tidak, saya teringat petilan sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” karya goenawan mohamad (2004). “ sesuatu yang kelak retak/dan kita membikinnya abadi”.
                Dalam resepsi saya, lewat sekumpulan puisinya, Arif seolah berbisik lirih kepada kita tentang sebuah aforisma: sesuatu yang kelak lupa, dan puisi membikinnya ingat. Jagat puisi adalah jagat ingatan. Bagi penyair, mengingat, barangkali, adalah semacam kala lain dari puisi.
-- Widyanuri  Eko Putra, esais dan pegiat forum bulanan Kelab Buku Semarang.

Tidak ada komentar: