Tas besar bergambar puteri Jasmin berwarna pink
itu bergoyang, sebentar-bentar ke kiri, sebentar-bentar bergoyang
ke kanan. Tas yang terlihat
begitu berat, sampai punggung
pemiliknya terbungkuk-bungkuk mencangklongnya saat berlari memasuki gerbang sekolah. Lumbi megap-megap
berada di dalam tas , berebut
tempat dengan buku-buku
pelajaran, tempat pensil, kertas karton hasta karya,botol minum, dan kotak bekal
makan siang. Lumbi, adalah sebuah, sssstttt, bukan sebuah, tapi seekor (boneka) Lumba-lumba, pemiliknya, gadis kecil
bernama Arimbi, selalu menganggap Lumbi seekor ikan yang hidup, Arimbi akan marah besar
kalau teman sebayanya menyebut Lumbi adalah boneka. Menurutnya, Lumbi datang dari gelanggang samudra Ancol, Ayah
sengaja membawanya pulang ke rumah sebagai
hadiah ulang tahunnya yang
kedua, dahulu. Kemudian seluruh
anggota keluarga sepakat,
memberi nama lumba-lumba itu Lumbi, alias
Lumba-lumba biru. Tentu saja,
karena boneka, eh, ikan Lumba-lumba itu berwarna biru. Dan
bagi Arimbi, Lumbi adalah
seekor ikan yang
menjadi teman paling
menyenangkan. Kemana-mana
mereka berdua, dulu kalau Arimbi makan
disuapi Ibu, maka Arimbi
akan merengek, agar Ibu, juga menyediakan
piring plastik kecil satu lagi, dengan
sayur dan lauk yang harus sama persis dengan yang
ada di piringnya, katanya, Lumbi juga
pasti lapar, sedari tadi belum
makan. Dan Ibu akan menuruti permintaan
putri kecilnya ini, karena kalau tidak, jangan harap Arimbi
akan menyentuh nasi sesuappun, ia akan memilih
mogok makan demi teman ajaibnya
itu. Sejak “kedatangan” si Lumbi, Arimbi
selalu tidur dengannya, ia
akan menjerit-jerit dan menangis
jika ada yang berani mengambil Lumbi dari dekapannya ketika
ia terbangun karena
haus, dan ingin minum susu. Ia juga akan memaksa Ayah ikut
menyertakan Lumbi, memasukkanya di koper besar ketika
mereka sekeluarga pergi keluar kota
menjenguk nenek. Pokoknya, akan
terlihat Lumbi dimanapun
Arimbi berada, bahkan saat mandipun, Lumbi akan
ikut dimasukkan kedalam ember kotak besar, tangan Arimbi
akan membuat ombak-ombak buatan, menggoyang-goyangkan ember, menuangkan sabun, hingga
seluruh permukaan air berbuih, dan kalau
ditanya ia segera akan
menjawab; lihat, betapa senang Lumbi berenang !.
Dan dulu, seluruh
keluarga dibuat geleng-geleng kepala dengan perilaku anak semata wayang mereka
yang manis ini,
bagaimana tidak, setelah acara “ berenang bersama”, Arimbi selalu menangis, lantaran tubuh
si Lumbi basah kuyup, dan Ibu yang
akhirnya ikut repot, harus
membeli alat pemanas listrik untuk
mengeringkan tubuh si Lumbi tiap
kali ikut mandi bersama Arimbi, butuh
kesabaran bagi Ibu memberi
pengertian, sampai akhirnya Arimbi berhenti cemberut,
“Nah begitu sayangku, kasihan Lumbi kan, kalau Arimbi
mandikan tiap hari, masuk
angin Lumbi nanti, ” kata
Ibu kepada Arimbi. Akhirnya, Arimbi mengangguk
setuju, dan bersedia membuat jadwal mandi
si Lumbi cukup seminggu sekali. Satu lagi
yang sampai saat
ini belum bisa
hilang dari Arimbi,
adalah tiap malam, sebelum tidur,
ia akan menyiapkan
selimut dan bantal
kecil untuk dipakaikan
pada Lumbi.
“Untuk apa Lumbi
kamu selimutin Arimbi ?, ” tanya Ayahnya
suatu malam.
“Biar tidak
kedinginan, Ayah, biar Lumbi
boboknya nyenyak,” jawabnya, setelah itu Arimbi
akan
meminta Ayahnya keluar, meninggalkan ia
berdua saja dengan Lumbi.
“Lho, kenapa
Ayah juga mesti keluar ?”
“Soalnya suara Ayah kenceng sih, jadi itu
akan mengganggu tidur Lumbi,
apalagi setelah ini , Arimbi
akan mendongeng sebentar
buat Lumbi”
Dan
Ayah yang penyabar
itu keluar sambil
tersenyum memikirkan perilaku
anak gadisnya, mengintip sebentar, melihat Arimbi mendongengkan kisah
Kancil dan Buaya kepada teman ajaib
kesayanganya. Bibir Arimbi bergerak-gerak lincah. Tapi
seiring waktu, Ayah dan Ibu Arimbi, mulai cemas dengan perilaku anaknya, karena, meski kini sudah
berumur hampir delapan
tahun, Arimbi selalu membawa Lumbi kemanapun dia
pergi. Lumbi selalu di gendongnya
ke tempat ia bersekolah, atau ketika pergi
mengaji di TPQ, ketika ia belajar kelompok, ikut Ibu
arisan, atau bermain-main dengan
teman, di lengannya selalu menempel
Lumbi. Pernah, Ayah dan Ibu bersepakat, untuk menjauhkan Lumbi dari Arimbi,
karena mereka khawatir, kebiasaan membawa
Lumbi ini tak
akan hilang sampai dewasa. Akhirnya rencana disusun, si Lumbi di sembunyikan untuk
sementara, di rumah tetangga. Apa yang terjadi ? Aduh, setelah sadar
kalau Lumbi hilang dari rumah,
Arimbi langsung jatuh demam, Arimbi sakit. Dan saat
sakit, nama Lumbi lah yang ia
sebut-sebut. Bu, Lumbi Bu,…, Lumbi
kemana,…., demikian igaunya dalam
keadaan sakit. Seluruh keluarga
panik, dan terpaksa membatalkan
rencana mereka. Mereka
akhirnya sadar Arimbi
dan Lumbi tak bisa dipisahkan.
Diam-diam Ibu menangis, sambil
mengembalikan Lumbi di pelukan
anaknya. Setelah kejadian itu
baik Ayah maupun Ibu, tak
pernah mempunyai rencana
memisahkan lagi Lumbi
dari Arimbi, mereka jadi ikut
menyayangi Lumbi seperti
mereka menyayangi Arimbi, dibiarkanya Arimbi
membawa Lumbi kemana saja. Toh, suatu
saat Arimbi akan
mengerti dengan sendirinya,
kapan saat yang
tepat untuk tidak
lagi menggendong Lumbi.
Seperti hari
ini, meski Arimbi sudah
kelas tiga, ia selalu membawa
Lumbi kesekolah, meski
aturan sekolah tidak
memperbolehkan siswanya
membawa mainan, tapi Arimbi punya
cara tersendiri, ia selalu menitipkan
Lumbi di tempat Pak Tukang kebun . Bahkan ia
jadi akrab juga
dengan Pak tukang kebun.
“Pak, titip si Lumbi lagi ya, Arimbi
mau masuk kelas dulu”, kata Arimbi kepada
pak tukang kebun, seperti biasa. Dan
kali ini pak
tukang kebun, sengaja iseng bertanya, “Neng, neng, buat apa sih, si Lumbi
dibawa ikut ke sekolah tiap hari ?”
“Biar Lumbi
Pinter pak, kayak Arimbi” jawabnya sambil meringis memperlihatkan beberapa
gigi susunya yang
tanggal.
(Semarang, 2011)
Arif Fitra Kurniawan.
Mencintai dongengan dan
pernah bercita-cita jadi
penyihir jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar