Langit
mendung siang ini
menambah warna pucat
milik seekor kupu kupu, namanya Pupa, kupu-kupu bersayap oranye dengan
sedikit bintik-bintik merah metalik. Seharian
ia terbang, sampai ia lupa
sudah berapa kali taman dan
kebun ia kunjungi. Tapi sepertinya, ia belum
mendapatkan apa yang
ia cari. Akhirnya, ia
memutuskan untuk beristirahat
sebentar, hinggap di daun Pohon Cabe merah kriting. Angin silir musim
penghujan bertiup dan hampir- hampir menghembuskan badan Pupa yang
ringan dan mungil.
Pupa lantas berpegangan
erat di salah
satu ranting Pohon itu. Tiba-tiba Pohon Cabe
berteriak :
“Awaaas, pegangan
yang erat pada
lenganku ya, jangan sampai
kamu terpelanting…”
Pupa melongok ke bawah ke arah
suara tadi keluar,
“Lho memaaaang
ada apaaaa, bundaaaaa Cabeeeeeeeee
?”
Tangan dan
kaki Pupa masih memeluk
erat-erat lengan Cabe
merah keriting, sayapnya
seperti mengerut dan
memipih terhantam angin. Untung
saja tidak sobek.
“ Angin memang
akhir-akhir ini agak
kencang, maklum, musim ini,
kerajaan cuaca sedang ngadain lomba
lari estafet buat
para atlet angin,
kemaren saja aku nyaris
tercabut kalo ngga
sekuat tenaga mencengkeram
tanah,”
Perlahan angin
mulai lembut , cuma sesekali
masih menyisakan tipasan, Pupa menarik
napas lega, mulai berani
mengembangkan sayapnya lagi.
“Oh iya,
kamu habis dari mana, kok mainmu
sampai jauh kesini, jangan-jangan kamu
kupu-kupu tersesat ya ?”
Bunda cabe keriting bertanya.