dilihat dari dalam adalah lampu-lampu kota, dilihat dari luar adalah masa lalu kata-kata
BEBERAPA PUISI SAYA UNTUK HASFA PUBLISHING
MAHAR SEORANG LELAKI DI POS PENGUNGSI
: pengantinku
pesta akan segera berangkat, diarak iringan pelayat
membawa sepasang wajah kita yang sungsang ,
mendidih dan matang,
mengembunkan sungging kesakitan.
di meja kaca yang tak berisi satupun undangan milik tamu,
aku melamunkan engkau, dalam bencana yang begitu tangguh,
hingga sulit bagi upayaku sekedar membantah.
meski telah kuminum peluh.
maka, demi panas dan abu yang tertangkap,
di alamatmu yang dulu beratap,
kita akan bangun suar dari biji pasir.
menyiarkan rasa berkabung,
yang selahar demi selahar,
menjauhi pagar milik leluhur.
tempat berkubang kaki ternak dan lumpur.
derajat ini, telah mengusir suhu tubuhmu, mirat beningku,
menjadi tenda pengungsi,
yang bahkan, kini tak hapal wajah sendiri.
maharku, seperangkat kepedihan ini,
yang tak pernah orang-orang amini.
akhirnya lengkap mengecup airmatamu.
DALAM SEBUAH TAS PUNGGUNG TERGELETAK YANG DITINGGALKAN PEMILIKNYA
pensil
akhirnya oleh buku gambar,
aku dipatahkan, bersebab baginya aku tak patuh,
tak mau mengucap biru,
yang terlumat bara,
tergelincir ke kening gunung,
seusai sejarah dijajah tangan ahli tenung.
menjadi lebih tebal dan murung.
sementara yang lubang dadaku bisa,
adalah menyimpan arsiran rahasia,
abu-abu sisa pembakaran, sisa letupan.
aku belum sempat mencatat ,
nama-nama yang sembunyi di kantung mayat.
aku sudah patah.
penggaris plastik
apa yang bisa kuceritakan,
agar engkau percaya,
pada sepuluh kilometer ini,
selain jarak yang mengelupas,
keinginan untuk berkembang biak dengan baik,
itupun akhirnya tandas.
botol minum
kujaga, rasa haus yang timbul tiap kali,
kau lewati sungai ini.
perjalanan katamu,
telah menumpahkan jam-jam,
yang terus berenang, mencari kedalaman.
aku tahu, jam di tubuhmu mungkin sudah mati,
terpanggang bumi.
tapi masih saja kudengar, sedu.
merengek-rengek padaku agar mengalirkan sesuatu.
penghapus kita
seperti sedang berbicara kepada ucapan yang lenggang,
betapa buas panas yang lahir dari abu-abu ini.
mungkinkah, salah satu penggalan kalimat itu jejakmu,
yang tanpa alasan jelas ditanggalkan sepasang sepatu.
kali ini aku cuma bisa menghapus,
hujan mata yang kadung jatuh ke tandus.
SUARA TUHAN DALAM GELAS
aku mendengar suara Tuhan dalam gelas yang tandas.
Ia masih maha menabung lenggang lengking doa kita,
yang lama bersabar diatas tangan hangus,
sebentar lagi, kataNya ;
mungkin Ia ingin agar kita lebih berdebar.
menebak-nebak kabar
yang datang dengan kaki memar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar