Kali ini memang ia
lulut, tak hendak berkata banyak
Bagaimana subuh
tadi keberaniannya dikhianati
hingga rusaklah semak terinjak
ia yang terburu-buru
berlarian di
setapak pinggiran kali
-- perang sudah
purna,
Ekornya melengkung
dan jantungnya jadi sunyi
Ketika diulang
desis itu lewat lidah si telik sandi
Semburat cahaya begitu
tajam bagi
Sepasang mata
sempitnya
Memang sempat menyanjung
retakan tipis
Di gadingnya yang
melengkung
“Ke langit, ke
langit, kerabatku,penghamba kekuatan,
aduhai yang putih
memplak milikmu akan naik
menjadi
bintang-bintang”
Tapi mustahil baginya
tergelincir dalam kesima,
Kepada seluruh tamsil
yang nantinya justru mudah
Meledakkan
diri di angkasa
Sekian waktu ia
belajar untuk terus mengasah
Apa itu berpencar.
Apa itu bergerak menyamping.
Apa itu bertahan di
sisi benteng.
Apa itu gunting di balik kain.
Apa itu mati
berkalang tanah.
Apa itu melawan
tanpa
cipratan darah di
tapak tangan.
Sekali saja ia
teledor ketika mahagurunya memberi
teka-teki, siapa
kiranya melembing dosa
dari celah sepasang
mata, rentangan jarak, pulau terpencil
dan seekor semut ngangrang yang justru terlihat terang
dari daratan
berkabut ini.
Setelah dua kali
meninggikan belalai,
Ia memutuskan saja
melanjutkan perjalanan mundurnya.
Sebab dari kemarin
sore begitulah titah sang ratu
Sang ratu yang
gemar berganti-ganti gaun,
mencelak alis,
merendam kaki
di sebaskom air garam
dan rajangan seledri.
Yang pernah sekali lupa menaruh cermin
di atas meja
kudapan
Dan menyeru kepada diri sendiri sebab tak ada
yang sepadan untuk
diajak berbantah-bantahan.
:
Kenapa justru usia ini yang melulu memusuhiku?
Kini ia jadi ingat bagaimana muasal tiga cambukan
di punggungnya itu.
(Gayam, 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar