Judul: Pinara Pitu
Penulis:
Mira MM Astra
Cetakan:
I, Mei 2016
Penerbit:
Gambang Buku Budaya
Jumlah
halaman: 104 halaman
ISBN:
978-602-6776-23-5
Bolehlah kita
sementara menahan peribahasa lama: berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian, untuk menggambarkan lebih banyak jerih yang
mesti ditanggung seorang pembaca ketika berhadapan, mencebur, tenggelam, sekuat tenaga
tetap mengapung sampai garis pinggir, lantas
mentas dari teks-teks puisi Pinara Pitu (Gambang Budaya, 2016). Sebanyak
33 judul puisi termaktub di dalamnya. Buku puisi tersebut dianggit Mira MM Astra, nama pena dari Mira Novianti—penyair kelahiran
Denpasar, yang sempat bertahun-tahun melanglang ke berbagai daerah di
Indonesia dan bahkan sempat mukim di Cekoslovakia demi menyelesaikan proses belajarnya.
Bertahun-tahun tangan tualang menyeret Mira keluar dari kampung kelahiran.
Bertahun-tahun tempat-tempat ‘asing’ mengajarinya banyak hal. Bertahun-tahun banyak
hal tersebut pada akhirnya harus ia akui mengajarinya satu hal; bahwa hidup harus
ditulis. Dan Mira memutuskan laku spiritual-literernya dengan menganggit puisi. Puisi bagi Mira tiada lain
adalah kitab hidup.
Lewat kata
pengantarnya, belum-belum penyair kita, dengan bayang gerak tangan mengepal ke atas
sudah mewanti-wanti para pemirsa, sekaligus dirinya sendiri: “Puisi itu harus bunyi!
Puisi harus dari dalam diri! Harus mampu meyakinkan.” Ya. Jika para penyair
selalu bisa membuat kredonya sendiri, para pemirsa sebaiknya jadi penguji
setegak dan sekokoh apa kredo itu mampu
muncul dalam teks-teks puisinya. Agar kredo tak sekadar omong kosong belaka.
Ada yang menarik dari
kecenderungan beberapa penyair beberapa tahun terakhir ini, yakni kepercayaan
diri mereka dalam mengolah puisi
menggunakan bahasa dari perkakas parole. Mereka menggunakan ujaran lisan serta bahasa ibu mereka untuk menyusun bait demi
bait. Pun Mira. Simaklah: Majene, Majene/ di paras sasiq-mu/siapa bisa
menduga bijak cuaca/ angin tanjung berliku menentang rahasia/ tempaan terik bulan
dan derai hujan (Majene, hal:58)
Bagi pemirsa pengguna
bahasa Indonesia sebagai lingua franca,
bait tersebut tentunya tak akan habis sekali kunyah. Bait alot
yang memaksa geraham kita dengan segala kehati-hatian atau pun sikap
jengkel akan mengeram-eram dugaan, apa
itu Majene, apa itu sasiq.
Belum lagi ketika kata-kata ‘asing’ tersebut sudah lebur juga dalam susunan-susunan metafora antropomorfik yang dimiliki puisi. Meskipun
dalam sikap cengengesan dan keisengan menduga, kita tak bisa begitu saja
seenaknya mengubah kata Majene dengan
kata Batagor, atau dengan kata Mengamuk atau Kotoran Hidung. Sementara kata sasiq
kita artikan sebagai Lapar, atau Bola Pingpong atau Sumbu
Kompor. Kredo penyair yang
mengharuskan puisi harus dari dalam diri berhadapan dengan hasrat pembaca yang
sepenuhnya ingin memiliki sesuatu yang asing pada akhirnya menciptakan ruang
pertarungan bagi bahasa.
Situasi perbalahan macam ini akan kita jumpai pula ketika melakukan pembacaan teks-teks
puisi, misal ambil saja dari beberapa generasi penyair dari Madura setelah D Zawawi Imron; ada Mahwi
Air Tawar dengan antologi puisinya Tanéyan (Komodo Books, 2015) atau
Shohifur Ridho Ilahi dalam Masègit
(Kendi Aksara, 2013). Pun puisi-puisi Mario F Lawi yang liat dengan
kisah-kisah biblis serta kepercayaan
adat yang salah satu baitnya begini: Aku menjumpai kau seusai Sabat,
Sahabat/Kucucukkan tangan tempayanmu yang pasrah/ Ke dalam lambungku
sebagaimana Thomas/ Senantiasa yakin pada kesedihannya sendiri. (Kana; hlm
26, Lelaki Bukan Malaikat)
Para penyair
memutuskan memperluas area kreasi puisi mereka menggunakan metonimi yang akrab
dengan keseharian mereka, semesta kalam mereka. Jika Mahwi dan Shohifur banyak mengolah kultur ke-Madura-an dan Islam, Mario lekat dengan tradisi
masyarakat Sawu serta Kekatolikan. Dalam hal ini Mira memutuskan untuk teguh menulis apa yang
intim bagi tubuh, pikiran, laku, dan pirasanya; Bali dan nilai-nilai spiritual Hindu. Mira seperti
berkehendak, Pinara Pitu, yang bisa
diartikan sebagai suara genta pemuat
saptacakra dalam tubuh manusia—pengandung
pancaran energi murni ke-Tuhan-an ini, suaranya tak semata hanya ia dengar
sendiri, melainkan gaungnya juga bisa kita cecap bersama.
Om suasti astu, Om.
Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata
dan Kelab Buku Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar