Ka dan Puisi dan Puisi



Judul:  Salju
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Cetakan:  Agustus, 2015
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jumlah halaman: 665 halaman
Judul Asli: Snow/ Kar (B. Turki)
ISBN: 978-602-290-043-6

Kiranya Orhan Pamuk  memang tidak pernah kering dalam menghasilkan prosa  cemerlang. Bisa kita lihat, sejak novel pertamanya, Tuan Chevdet dan Anak Lelakinya  terbit pada tahun 1982, tangan Pamuk seolah menjelma pancuran tinta yang deras  dalam mengucurkan produk bacaan yang membuat kemerungsung  pembacanya. Novel keduanya, Rumah Kesunyian terbit dua tahun berselang. Kemudian menyusul dengan berjeda tahun; Kastil Putih (1985), Buku Hitam (1990), Kehidupan Baru (1995), Namaku Merah (2000), Salju (2002), dan Museum Kepolosan  yang terbit pada tahun 2008, atau dua tahun setelah Pamuk menerima Nobel Sastra.  Pembaca novel berbahasa Indonesia, meski sebenarnya agak menyedihkan, sebab kadangkala  terlambat membaca sebuah novel dengan rentang  nyaris  lima sampai  sepuluh tahun dari terbitnya novel  dalam edisi bahasa Inggrisnya, sudah sepatutnyalah  berlega hati,  sebab  beberapa novel Pamuk sudah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia. Dan sekarang,  telah tiba waktu bagi kita untuk  melongok novel ketujuh Pamuk ini, Salju, yang diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta (2015).
Lewat sang narator—Orhan Pamuk, teman dari tokoh yang ia kisahkan, akan kita kuntit tokoh utama  kita, Kerim Alakuşoğlu, yang lebih menyukai jika orang-orang memanggilnya dengan sebutan; Ka. Di halaman pertama, narator membuka kisahnya dengan paragraf yang terasa begitu dingin dan hening.
“Keheningan salju, pikir pria yang duduk di belakang sopir bus. Jika keadaan ini adalah awal sebuah puisi, dia akan menyebut perasaannya ‘keheningan salju.” (hlm 1)
Ka seorang penyair berusia 42 tahun.  Seorang penyair sekaligus seorang  wartawan yang  masa dua belas tahun suramnya ia habiskan di Jerman sebagai  buangan politik. Ka kembali ke  kota Kars, kota di mana ibunya pernah lahir dan dimakamkan. Di Kota yang terisolir dari dunia luar  inilah, di antara hujan salju yang terus menerus melabur tanah  dengan  hawa dingin serta ketebalan warna putih, satu demi satu peristiwa dikopek di hadapan  pembaca layaknya suguhan demo  kerunutan mengupas  bawang merah  oleh pakar  pembuat acar.  Peristiwa demi peristiwa saling belit-membelit.  Tragedi bunuh diri massal gadis berjilbab cuma awal, sebab ketegangan terus saja berlanjut dari bab ke bab. Penembakan kepala sekolah yang mengusung aturan sekuler dari pemerintah, ancaman-ancaman dan teror mematikan dari kubu agama, penembakan murid-murid madrasah aliyah, gerakan sparatis  guna menggulingkan negara sampai pada perbalahan bagaimana cara mempersepsikan Barat dan Timur, Sekuler dan Islam.  

Kisah menjadi kompleks ketika laju plot dibuat menjadi kisahan detektif.  Satu kejadian menyimpan  sebagian dari  rahasianya agar kita semua penasaran. Namun, yang mesti dicatat, kompleksitas yang dihantamkan kepada tokoh kita, tak membuat  haluan besar dari alur kisah menjadi kabur.  Puisi. Ya, bagaimanapun, Pamuk berhasil menjaga agar  tokoh utama kita yang penyair dalam novel ini  tetap meledak-ledak menuliskan puisi-puisinya di Kars. Kita bisa  ikut  merasakan bagaimana merindingnya diri Ka, ketika ‘ilham’  untuk menuliskan puisi itu muncul tiba-tiba dan mendesak untuk dituliskan entah itu ketika Ka berjalan di antara buliran salju, di bawah tangga ketika listrik padam, di kedai teh, atau ketika Ka sedang  memikirkan  Ĭpek Hanim, kekasihnya.
Seolah justru di Kars, dengan kondisi politik dan keamanan yang mencekam, kemiskinan penduduknya, teror-terornya, juga kisah asmaranya  yang terlihat begitu rentan pecah kepada Ĭpek, itu semua justru mampu mengurai kebuntuan empat tahun terakhir Ka dalam menciptakan puisi. Kars membuat Ka menemukan kembali ruh suci  kepenyairannya. Ka jadi begitu paham, seorang penyair mesti lebur ke dalam realitas obyek yang akan ditulis.  Seperti afirmasi dari Necip, remaja madrasah aliyah yang mengagumi Ka sekaligus ia kagumi suatu ketika.
“Dan Bapak benar, hanya orang yang sangat pintar dan sangat tidak bahagia bisa menulis puisi yang bagus.”(hlm 204)
Nyaris segala konflik dan ketegangan  yang terjadi ketika Ka berada di Kars, selalu dikaitkan dengan puisi. Bahkan, nanti di beberapa bagian novel, ketika pembacaan kita terinterupsi oleh kemunculan Orhan, sang narator yang mengisahkan novel ini, kita akan tahu, bahwa narator, merasa kesulitan ketika akan melengkapi pengisahan novelnya dengan menunjukkan contoh puisi milik Ka, yang telah menuliskan sembilan belas judul puisi, sebab, empat tahun setelah kembali ke Frankfurt dan menjadi korban penembakan misterius, narator tak  menemukan  buku catatan berwarna hijau  berisi puisi-puisi yang  ditulis oleh Ka selama masa penyekapannya  di Kars. Meski sudah melakukan upaya  berupa pencarian berkas-berkas di apartemen tempat Ka tinggal, menanyai orang-orang yang kenal dengan Ka, kekasih-kekasih Ka, juga polisi ketika terjadi penembakan, namun tak satupun dari mereka  mampu memberikan keterangan memadai tentang keberadaan buku puisi tersebut. Akhirnya Orhan pun  putus asa dan mendesah kepada diri sendiri.
“Maka, ketika Orhan si penulis novel melongok ke sudut-sudut gelap kehidupan susah dan penuh penderitaan kawan penyairnya: seberapa banyakkah yang benar-benar dilihatnya?” (hlm 398)
Novel yang berkualitas, adalah novel yang dari awal sampai akhir tak pernah kehilangan daya untuk memperjuangkan agar alurnya terus kokoh, meski dibingkai dengan beragam sudut pengisahan. Sementara alur yang kokoh tersebut diisi oleh karakter-karakter yang juga kuat, tertandai dengan sesuatu yang khas, dan tentunya menarik. Sepertinya kita  akan mendapatkan itu semua di novel ini.  Sebab di novel ini, selain ada Ka dan sang narator Orhan, ada Ĭpek Hanim, karakter yang  elegan dan terus saja berkelit bahwa ia tak akan bercinta dengan Ka selama ayahnya berada di rumah. Ada Necip yang  mampu membaca pikiran orang lain.  Bahkan ada  Serdar Bey,  pemilik  Border City Gazette, sebuah koran lokal Kars, yang beroplah tiga ratus dua puluh ekslempar tiap edisi itu, yang selalu sesumbar, bahwa di dunia, surat kabar miliknyalah satu-satunya surat kabar yang mampu menuliskan berita sebelum suatu  peristiwa terjadi. Dari koran itulah, penyair kita, tokoh kita, pada akhirnya menjalani ramalan berita, bahwa ia akan menulis dan membacakan puisinya yang berjudul ‘kar’; salju—artinya.





Tidak ada komentar: