Suara
riuh ratusan pengunjung yang sudah berjubel-jubel memadati kursi-kursi yang
disediakan di ruangan balairung
Universitas PGRI Semarang menjadi beku seketika setelah neon-neon ruangan padam
digantikan nyala sebuah lampu sorot dari kiri atas panggung. Cuma hawa
pendingin ruangan serta perasaan keruh yang muncul dan menyergap begitu seorang perempuan gaek
bertudung terlihat bersimpuh di atas panggung. Dari depan panggung
disorotkanlah proyektor yang menciptakan siluet-siluet menjadi lansekap latar. Peta.
Hutan. Daun dan batang-batang pohon. Gesekan cello terdengar merengek. Dan
perempuan gaek itu lantas menggumam dan memulai
kisahnya, dengan artikulasi yang tenang di permukaan namun menyimpan ledakan
perih dan kesakitan di kedalaman. Dari tempat yang sunyi dan jauh perempuan
gaek sedang mengenang tanah kelahirannya. Nanggroe. Ia terkenang akan
hutan-hutannya yang gelap, daun dan pokok-pokok pohonnya. Ia sedang merutuki
nasib pengasingannya yang tak mungkin
mengijinkan untuk bisa mati dan terbaring di tanah kelahirannya sendiri. Perempuan
gaek itu adalah Cut Nyak Dien.
Ritme cello menekan dan seperti
ingin mencekik tenggorokan, sementara latar siluet juga mulai bergerak
mengiringi Cut Nyak Dien yang mulai bangkit seraya seperti sedang menghardikkan
kepada keturunannya, mengungkit-ungkit dan terus mengingatkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang diturunkan untuk tidak takluk pada yang menjajah, bahwa
di dalam darah mereka, orang-orang Aceh, mengalir darah keberanian dari Datuk Makhudum
Sati, yang melegenda atas upayanya melawan sultan yang mencoba menindas rakyat dengan penarikan upeti.
Maka, dia tak mau ada orang yang mempertanyakan kenapa dirinya ikut berjuang
bersama Teuku Ibrahim Lamnga, dan bersumpah ketika suaminya tersebut tewas dalam peperangan menghadapi pasukan
Belanda; bahwa dirinya tak akan pernah berhenti mengobarkan perlawanan dan
kebencian kepada kaphe-kaphe ulanda. Dan itu
benar-benar dibuktikannya dengan terus memimpin gerilya, bahkan setelah Teuku
Umar, suami keduanya juga tewas
tertembak ketika peperangan
meletus di Meulaboh. Keberaniannya tidak
mengerdil, meski matanya sudah mulai rabun, pendengarannya rusak dan
penyakit-penyakit usia tua mulai menggerogotinya. Ketika penangkapan atas dirinya
itu terjadi, ia masih berani menyumpah kepada Pang Laot yang ia anggap berkhianat sembari
mengacung-ngacungkan rencong.