Kisah Para Penggunjing dari Tanah Kakao (Koran Tempo, Minggu 26 April 2015)



Kisah Para Penggunjing dari Tanah Kakao
Judul: Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis
Penulis: Jorge Amado
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Cetakan:  I, Desember 2014
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jumlah halaman: 660 Halaman
Judul Asli: Gabriela, Cravo, e Canela
ISBN: 978-602-290-023-8


Seorang  penulis novel berhak menuliskan apa pun yang dia maui, sejauh dia mampu membuat para pembacanya percaya, itulah penggalan kalimat yang diucapkan Gabriel Garcia Marquez dalam  wawancaranya untuk Paris Review. Totalitas yang tidak main-main dan  harus ditanggung  oleh setiap penulis.  Itu  yang mungkin menjadikan, seperti pernah khalayak  dengar, bahwa di era 1960-1970  muncul  fenomena literatur  yang sering kita sebut El Boom—meledaknya karya-karya dari   pelaku sastra semisal  Mario Vargas Llosa (Peru), Isabelle Allende (Cile), Carlos Fuentes (Meksiko), Paulo Coelho (Brasil), dan masih banyak lagi penulis-penulis dari negara-negara Amerika Selatan yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing. Kenapa banyak karya-karya Amerika Latin bisa begitu diterima oleh pembacanya? Tak lain, karena karya-karya tersebut, selain memberikan alternatif tawaran estetik, tentunya mampu membuat pembacanya percaya terhadap apa  yang mereka ciptakan.

Para penggunjing  di Bar Vesuvius.
Totalitas itu juga yang akan kita reguk sampai  tandas  lewat  novel Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis ( Serambi, 2014) karya Jorge Amado. Novelis  kelahiran 1912 di  Itabuna—Brasil yang beberapa kali masuk dalam daftar  nominasi peraih Nobel  ini  kian mengukuhkan apa yang pernah dibeberkan Jose Ortega, seorang kritisi sastra asal Meksiko,  bahwa sastra Amerika latin  tak lain adalah  respons imajinatif  terhadap apa yang dihempaskan dunia barat (di antaranya Spanyol dan Portugis), setelah  ratusan tahun tanah dan kebudayaan mereka diperas oleh setan keji bernama kolonialisme dan imperialisme.

Dalam  novel  Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis ini Amado bercerita tentang kedatangan  Gabriela, seorang  gadis mulato (Afro—Amerika) ke Ilheus pada tahun 1920-an, sebuah  daerah perkebunan penghasil  kakao di Brasil  yang  gamang dalam menerima gerak peradaban. Kota kecil di mana penduduknya, khususnya laki-laki asyik bergunjing  menggosipkan banyak hal di bar Vesuvius milik Najib si Arab—tempat  Gabriela bekerja sebagai tukang masak.  Tradisi menggunjing ini  bahkan sudah menjadi roh Ilheus,

“Bergunjing adalah seni tertinggi dan kenikmatan terdahsyat kota itu. Para perawan tua menaikkan seni itu ke tingkat kehalusan yang menakjubkan” (hal. 133)


Di Ilheus,  pelabuhan, jalan-jalan besar dibangun;  plaza,  bioskop, kabaret, kafe dan bar  adalah gerak dari waktu yang tak bisa ditahan lajunya. Modernitas  berhasil menghunuskan pisau bermata duanya di antara orang-orang yang menggunjing. Yang akhirnya membelah penduduk Ilheus menjadi dua kubu yang saling  bersitegang.  Di satu sisi orang-orang yang diwakili sosok Mundinho Falcao—pengekspor kakao, memiliki visi bahwa tiap orang sudah semestinya memikirkan masa depan.  Menjunjung  tinggi peradaban atas nama  kemajuan. Sementara di kubu lain  ada para kolonel—tuan tanah perkebunan di bawah sosok Kolonel Ramiro Bastos   yang  ngotot yakin, kehidupan paling baik terletak di masa lalu.  Ketika hukum rimba tentang kekuasaan berlaku, di mana  keberanian menggunakan senapan dan menjarah tanah   menentukan kelas seseorang. Kegamangan identitas dari Ilheus ini mesti dibayar dengan banyak tragedi; ada Malvina, gadis dari sekolah paroki yang harus menerima cambukan dari ayahnya sendiri karena memberikan perlawanan akibat dilarang  memiliki hubungan asmara dengan seorang insinyur  beristri. Ada penembakan walikota Itabuna oleh orang-orang suruhan kolonel Melk Tavares. Ada pembakaran Koran Ilheus kala  suhu politik kian memanas mendekati pemilihan walikota.

Lantas di mana dan bagaimanakah  posisi  Gabriela?.  Di sinilah kejeniusan seorang Amado. Ini mengingatkan kita sebagai pembaca, bahwa realitas fiksi dari  novel 1984 milik  George Orwell membutuhkan tokoh Julia. The God of Small Thing milik Arundhati Roy membutuhkan tokoh Ammu.  Sementara di Novel ini kita  membutuhkan Gabriela, bukan sekedar demi menyusun kisah percintaan dengan Najib si arab. Di antara kekisruhan politik, di antara gunjingan para kolonel, dokter dan pengacara, di antara kultur patriarki yang kental, di antara sayatan panjang luka sejarah, Gabriela hadir sebagai manifestasi pertanyaan kepada  norma-norma dan hukum tak tertulis kolektif dari peradaban. Lewat karakternya yang naif dan terkesan primitif, kita diajak untuk bertanya; sejatinya, terbuat dari apakah  kebenaran?

***

Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.






Tidak ada komentar: