KEMATIAN KECIL KARTOSOEWIRJO; PUISI-PUISI DALAM KERANGKENG SEJARAH (Sebagian tulisan ini terbit di Suara Merdeka, Minggu 20 April 2015)



KEMATIAN KECIL KARTOSOEWIRJO; PUISI-PUISI DALAM KERANGKENG SEJARAH


/1/

Nama Kartosoewirjo lamat-lamat, bersama nama Tengku Daud Beureh, Semaun dan Muso saya sadap dari ibu guru sejarah; dulu sekali, ketika para murid  laki-laki  belum mengenal apa itu mimpi basah dan nikmatnya ejakulasi. Rangkuman dari ibu guru sungguh sedikit belaka, menerangkan bahwa mereka, adalah orang-orang yang malang melintang di republik ini  sebagai pemberontak. Orang-orang brengsek bagi republik. Kini bertahun-tahun sesudah jam pelajaran yang  tak menyediakan sesi tanya jawab, Kartosoewirjo mendatangi saya dalam bentuk buku kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo anggitan  Triyanto Triwikromo. Celakalah rangkuman yang sungguh sedikit belaka itu akan saya bawa sampai mati!

Membaca (fragmentasi) Kartosoewirjo sebagai teks puisi, berbekal pengetahuan minim yang terlanjur disubordinat  justru memberi keuntungan berupa keberjarakan  dari  detail konvensi-konvensi sejarah. Jadi di pembacaan awal,  saya  justru leluasa menikmati sembari menelisik teks-teks tersebut sebagai  teks konotatif yang berdiri secara otonom.

Meski pada akhirnya, lantaran puisi-puisi dalam buku ini diciptakan dalam kerangkeng  keketatan data sejarah, baik itu  dokumentasi foto, data tertulis atau ujaran lisan, puisi-puisi ini, meski berupaya sekuat apapun untuk ‘memberontak’, ia  tetap tak  bisa keluar dari koridor ketaklukannya. Lah, mau apa lagi, yang bisa  kita lakukan adalah seperti dalam permainan lego. Kau diberi kebebasan menukar bangunan di sebelah kiri atau kanan, depan dan belakang, merekonstruksi  A-B-C-D nya untuk leluasa dibolak-balik, kau jungkir-sungsangkan, tapi kau tak mungkin menambahkan W atau Z karena memang konvensi tak menyediakan W dan Z.  

Kenyataan atau sejarah di hadapan raut muka linguistik, ternyata juga cuma sekedar varian  dari modus pengucapan yang sudah dipatenkan. Maka, aktivitas bahasa yang dilakukan puisi-puisi Triyanto  di sini bukanlah sebuah penyingkapan sesuatu yang tersembunyi. Teks puisi tidak juga sedang menciptakan kebenaran baru. Kerja puisi cuma berpandai-pandai saja menemukan modus pengucapan lain. Bukankah di tiap kepala penyair, selalu ada yang bergentayangan di luar pengucapan yang dominan?  Terlebih jika mengingat  puisi-puisi berhutang dengan porsi yang besar kepada sejumlah foto eksekusi  hukuman mati  Kartosoewirjo.  Puisi-puisi semisal  ‘Di Kain Penutup Mata’, ‘Di Mobil Tahanan’,  ‘Di Sehelai Foto’, ‘Hidangan di Meja Serdadu’, ‘Ganti Baju’, ‘Menonton Pembunuhan’  akan memberikan rujukan bagaimana aktivitas bahasa bekerja menyusun konotasi-konotasi.

Kita tahu, imaji dalam foto dokumenter  adalah analogon yang sempurna dari realitas. Ia  adalah pesan yang telanjang. Foto memberikan kita lanskap denotatif yang akan habis pada sistem interpretasi  tingkat pertama.  Teks puisi  mengupayakan  modus kosakata baru untuk memperpanjang napas dari imaji fotografis yang bersifat  ajek. Ia membuatkan realitas fiksi yang bersifat performatif  agar kita bisa masuk ke tingkat hermeneutik—pemaknaan lapis kedua.  

Lantas perangkat puitik apa saja yang digunakan dan kecenderungan-kecenderungan apa saja yang dilakukan teks puisi dalam buku ini  ketika melakukan  aktivitas bahasanya?

Akan terbaca jelas  bagaimana puisi-puisi  melakukan metonimi dan alusi.  Anggaplah, lantaran puisi berstruktur narasi, begitu ada substansi narasi yang muncul, sederet penggantian dan kisahan ditempelkan sedemikian rupa sebagai sampiran atau semata-mata demi  perluasan interpretasi. Kita akan disuguhi karnaval petilan kisahan Nuh, Ibrahim,Isa, Daud, Musa, Muhammad, Nuh lagi, Musa lagi, Durna, Bambang Ekalaya, Gandari, Sangkuriang, Ibrahim lagi, Adam, Ular, Pohon Hayat, Hawa, Destrarata, serta pembelokan-pembelokan lain, yang saya pikir, di bagian ini, teks-teks sampiran dan perluasan yang fungsi ontologisnya dimaksudkan untuk memperoleh efek transeden, perasaan-perasaan agung dengan kemunculan tragedi-tragedi arkhaik,  beberapa di antaranya malah mubazir, dan jika dibaca keseluruhan  jadi njelehi.  Bagaimana tidak njelehi, jika setiap, anggaplah aktivitas dan kejadian yang mengenai subyek  lirik, selalu ditempeli kisahan-kisahan yang diulang.  Okelah, ambil contoh,  saya bisa menerima jika pada puisi ‘Nahkoda’, ditempeli pembengkokan petilan Nuh. Gugus substansi dari puisi ‘Nahkoda’; pemimpin, pemegang kemudi, imam dari komunitas akan memiliki ikatan dan relevansi dengan alusi-nya. Toh, segala rupa dari intertekstualitas yang diwanti-wantikan baik Mikhail Bakhtin, Todorov maupun Julia Kristeva, memang semestinya memiliki posisi keterikatan yang kuat dalam teks. Unsur dari intertekstual adalah solidaritas. A memengaruhi B dan B memengaruhi A. Puisi ‘Nahkoda’ ini bagi saya berhasil menyuguhkan metoniminya. Ia berhasil karena ia tahu diri.  Yang njelehi adalah ketika ‘hujan metonimi dan alusi’ itu dipancurkan  semena-mena seperti kencing para penarik angkot jurusan Pasar Johar—Pudak Payung.  Lihat saja, ketika ada  hidangan di meja serdadu, ujug-ujug ada Adam dan Hawa, ketika di beranda menunggu  hujan, ujug-ujug ada Musa. Ada Isa. Ada Ibrahim, aktivitas Kau—lirik  ketika  minum kopi ujug-ujug ditempeli desis ular yang ragu-ragu mengulum dosa pertama.  Memang jika dibaca keseluruhan, puisi-puisi Triyanto terlihat cerdik dan luwes ketika memilih strategi berupa penyempitan subtema intertekstual. Ia bisa mengerem diri untuk cuma menggunakan kisah-kisah dari alkitab dan pewayangan. Arab dan Jawa. Islam dan Hindu. Ia tidak kemaruk memperluas area jelajah literer dengan loncat sana kemari seperti kita lihat di dalam cerpen-cerpen maupun novelnya. Namun, lantaran kehati-hatian menjaga bagan besar intertekstual tersebut, di puisi-puisi ini  Kartosoewirjo justru berlebihan  menggunakan kerangka dongeng-dongeng kenabian untuk  memperoleh efek  negasi ‘aku bukan nabi’ nya untuk kemudian bertahan dengan ‘Aku sekedar hamba yang daif’

Judul Puisi
Metonimi
Alusi
Personifikasi dan Metafor
Penangkapan
ü  Mengutuk batu menjadi ibu yang gampang menangis.
ü  Kisahan burung ababil.
ü  Hutan biru,
ü  Satwa dililit besi belapis salju, Pencuri cahaya,
ü  Pertapa bersayap yang mengerami telur ajaib,
ü  Kerlip kenangan
ü  Kekhalifahan sunyi
ü  Hakim berjubah hijau
ü  Hantu berambut ungu
ü  Ganggang melilit terumbu karang 
Interogasi
ü  Dada yang dibelah. Jantung Suci
ü  Ibrahim
ü  Ismail
ü  Ababil
ü  Tentara Abrahah
ü  Adam
ü  Maryam
ü  Kakbah
ü  Mata para Nabi
ü  Baskom kemuliaan
ü  Jantung putih
ü  Laut tak berkabut
ü  Negara dari laut
ü  Pulau penuh desau
ü  Pulau yang kesepian
ü  Kekhalifahan penuh angin
ü  Surga sebelum senja


Begitulah, saya comotkan dua puisi  dan mengurainya dalam tabel di atas, bagaimana perangkat Metonimi, Alusi, Personisifikasi dan Metafora bekerja menempati fungsi bahasanya masing-masing.

/2/
Sementara itu, rancang bangun dari teks yang  bermain-main dalam kungkungan  otoritasi sejarah yang   dilakukan puisi-puisi Triyanto terlihat nyaris sama dengan pola yang  digunakan  dalam teks-teks lain Triyanto. Baca saja novela Surga Sungsang, atau kumpulan ceritanya baik  Ular di Mangkuk Nabi atau  Celeng Satu Celeng Semua. Eh, tunggu dulu, apakah cukup bisa teks-teks puisi Triyanto kali ini dibaca sebagaimana prosa? Bisa, jika struktur dan komponen-komponen prosanya memadai.
Karakter tokoh, alur, latar waktu, latar tempat juga konfliks; Kematian Kecil Kartosoewirjo meyediakan kesemua hal tersebut.  Tidakkah jika dibaca dari halaman pertama sampai terakhir dengan singgetan  Awal—Antara—Akhir ,  buku puisi ini berkemungkinan besar menjadi novela. Kita sudah punya Kartoesoewiryo sebagai tokoh utamanya. Kita sudah bisa menangkap pernyataan,  gerak aksi maupun tekanan-tekanan psikologis dari  Ara Suhara, Dokter, Si Oditur, Regu tembak untuk menghadirkan kemencekaman narasi. Ada konflik yang  ditujukan oleh Kartoesoewiryo kepada Sukarno, kepada Tjokroaminoto, kepada harapan-harapan ideal tentang bagaimana sebuah bangsa berdiri. Ada plot flashback yang digunakan untuk memberi informasi penggalan masa kecil Kartosoewirjo. Ada Latar waktu dan latar tempat yang dinamis.  Perbedaannya mungkin, kalau di Surga Sungsang, teks tersebut tidak terkebiri oleh sejarah, jadi ia lebih leluasa mengekplorasi perangkat-perangkat untuk menyusun realitas fiksinya. Tapi tak bisa dielak, jika teks-teks milik Triyanto selalu memuntahkan kekayaan intertekstualitas. Disamping pola dekonstruktif tentunya. Ini mempunyai efek menempatkan teksnya dalam lajur disposisi.  Teks yang tak tak ingin berada di kiri dan di kanan. Ia sedapat mungkin menghindari logos. Post—sruktural, dekonstruksi, jika kita merujuk apa yang diyakini Derrida, akan selalu berkelit dari dikotomi oposisi binner.

Atau jika ingin lebih eksplisit melihat kecenderungan sistem kepengrajinan dan gagasan Triyanto mengolah fiksi dalam lingkaran data sejarah,  kita bisa membaca secara komparatif  antara buku puisi ini dengan cerpen-cerpen semisal: Hantu di Kepala Arthur Rimbaud, Iblis Paris, Sayap Kabut Sultan Ngamid, Seperti Hujan yang  Meruncing Merah,  Sirkus Api Natasja Korolenko.  Ambil saja, dengan alasan kedekatan kita dengan sejarahnya, Sayap Kabut Sultan Ngamid, yang menceritakan penggalan kisah penangkapan pangeran Diponegoro. Cerita ini juga membangun konotasi-konotasinya dari lukisan milik Raden Saleh. Seluruh perangkat yang telah saya beberkan di awal: alusi, metonimi, metafora, membuat lilitan di cerita ini. Tokoh-tokoh seperti Haji Ngisa, Alibasah Gandakusumah, Raden saleh, Haji Badarudin, mempunyai fungsi yang sama dengan tokoh-tokoh yang ada;  Imam Tentara, Komandan Regu Tembak, Penggali Kubur,  Oditur, Sukarno, Tjokroaminoto, Penonton pelaksanaan hukuman mati dlsb dalam buku puisi ini.  Mereka dihadirkan untuk memberikan testimoni-testimoni, memberikan kepada pembaca kemungkinan-kemungkinan tafsir. Tapi yang perlu kita pegang yakni, keberadaan mereka tak memberikan konklusi final, demi mempertahankan pola dekonstruksi yang ditanamkan penulisnya. Ia tidak sedang mencari kebenaran baru. Ia tetap samar-samar dan mengambang.  Dan meminjam bait Triyanto Triwikromo, ia tetap semacam sabda yang berbunyi la, maknanya li. Sementara malaikat lupa menerjemahkan perihnya kepadamu…

***


Semarang, Maret—April 2015

*Digunakan untuk kepentingan diskusi Kelab Buku#7 edisi membaca sehimpun puisi ‘Kematian Kecil Kartosoewirjo’ yang diagendakan pada hari Sabtu, 18 April 2015.





Tidak ada komentar: