KEMATIAN KECIL
KARTOSOEWIRJO; PUISI-PUISI DALAM KERANGKENG SEJARAH
/1/
Nama
Kartosoewirjo lamat-lamat, bersama nama Tengku Daud Beureh, Semaun dan Muso saya
sadap dari ibu guru sejarah; dulu sekali, ketika para murid laki-laki belum mengenal apa itu mimpi basah dan nikmatnya
ejakulasi. Rangkuman dari ibu guru sungguh sedikit belaka, menerangkan bahwa
mereka, adalah orang-orang yang malang melintang di republik ini sebagai pemberontak. Orang-orang brengsek bagi
republik. Kini bertahun-tahun sesudah jam pelajaran yang tak menyediakan sesi tanya jawab, Kartosoewirjo
mendatangi saya dalam bentuk buku kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo anggitan Triyanto Triwikromo. Celakalah rangkuman yang
sungguh sedikit belaka itu akan saya bawa sampai mati!
Membaca
(fragmentasi) Kartosoewirjo sebagai teks puisi, berbekal pengetahuan minim yang
terlanjur disubordinat justru memberi
keuntungan berupa keberjarakan dari detail konvensi-konvensi sejarah. Jadi di
pembacaan awal, saya justru leluasa menikmati sembari menelisik
teks-teks tersebut sebagai teks
konotatif yang berdiri secara otonom.
Meski
pada akhirnya, lantaran puisi-puisi dalam buku ini diciptakan dalam kerangkeng keketatan data sejarah, baik itu dokumentasi foto, data tertulis atau ujaran lisan,
puisi-puisi ini, meski berupaya sekuat apapun untuk ‘memberontak’, ia tetap tak bisa keluar dari koridor ketaklukannya. Lah,
mau apa lagi, yang bisa kita lakukan adalah
seperti dalam permainan lego. Kau
diberi kebebasan menukar bangunan di sebelah kiri atau kanan, depan dan
belakang, merekonstruksi A-B-C-D nya untuk
leluasa dibolak-balik, kau jungkir-sungsangkan, tapi kau tak mungkin
menambahkan W atau Z karena memang konvensi tak menyediakan W dan Z.
Kenyataan
atau sejarah di hadapan raut muka linguistik, ternyata juga cuma sekedar varian
dari modus pengucapan yang sudah
dipatenkan. Maka, aktivitas bahasa yang dilakukan puisi-puisi Triyanto di sini bukanlah sebuah penyingkapan sesuatu
yang tersembunyi. Teks puisi tidak juga sedang menciptakan kebenaran baru. Kerja
puisi cuma berpandai-pandai saja menemukan modus pengucapan lain. Bukankah di
tiap kepala penyair, selalu ada yang bergentayangan di luar pengucapan yang
dominan? Terlebih jika mengingat puisi-puisi berhutang dengan porsi yang besar
kepada sejumlah foto eksekusi hukuman
mati Kartosoewirjo. Puisi-puisi semisal ‘Di Kain Penutup Mata’, ‘Di Mobil
Tahanan’, ‘Di Sehelai Foto’, ‘Hidangan
di Meja Serdadu’, ‘Ganti Baju’, ‘Menonton Pembunuhan’ akan memberikan rujukan bagaimana aktivitas
bahasa bekerja menyusun konotasi-konotasi.
Kita
tahu, imaji dalam foto dokumenter adalah
analogon yang sempurna dari realitas.
Ia adalah pesan yang telanjang. Foto memberikan
kita lanskap denotatif yang akan habis pada sistem interpretasi tingkat pertama. Teks puisi
mengupayakan modus kosakata baru
untuk memperpanjang napas dari imaji fotografis yang bersifat ajek. Ia membuatkan realitas fiksi yang
bersifat performatif agar kita bisa masuk
ke tingkat hermeneutik—pemaknaan lapis kedua.
Lantas
perangkat puitik apa saja yang digunakan dan kecenderungan-kecenderungan apa
saja yang dilakukan teks puisi dalam buku ini
ketika melakukan aktivitas
bahasanya?
Akan
terbaca jelas bagaimana puisi-puisi melakukan metonimi dan alusi. Anggaplah, lantaran puisi berstruktur narasi,
begitu ada substansi narasi yang muncul, sederet penggantian dan kisahan
ditempelkan sedemikian rupa sebagai sampiran atau semata-mata demi perluasan interpretasi. Kita akan disuguhi
karnaval petilan kisahan Nuh, Ibrahim,Isa, Daud, Musa, Muhammad, Nuh lagi, Musa
lagi, Durna, Bambang Ekalaya, Gandari, Sangkuriang, Ibrahim lagi, Adam, Ular,
Pohon Hayat, Hawa, Destrarata, serta pembelokan-pembelokan lain, yang saya
pikir, di bagian ini, teks-teks sampiran dan perluasan yang fungsi ontologisnya
dimaksudkan untuk memperoleh efek transeden, perasaan-perasaan agung dengan
kemunculan tragedi-tragedi arkhaik,
beberapa di antaranya malah mubazir, dan jika dibaca keseluruhan jadi njelehi.
Bagaimana tidak njelehi, jika setiap, anggaplah aktivitas dan kejadian yang
mengenai subyek lirik, selalu ditempeli
kisahan-kisahan yang diulang. Okelah, ambil
contoh, saya bisa menerima jika pada
puisi ‘Nahkoda’, ditempeli pembengkokan petilan Nuh. Gugus substansi dari puisi
‘Nahkoda’; pemimpin, pemegang kemudi, imam dari komunitas akan memiliki ikatan
dan relevansi dengan alusi-nya. Toh, segala rupa dari intertekstualitas yang
diwanti-wantikan baik Mikhail Bakhtin, Todorov maupun Julia Kristeva, memang
semestinya memiliki posisi keterikatan yang kuat dalam teks. Unsur dari
intertekstual adalah solidaritas. A memengaruhi B dan B memengaruhi A. Puisi
‘Nahkoda’ ini bagi saya berhasil menyuguhkan metoniminya. Ia berhasil karena ia
tahu diri. Yang njelehi adalah ketika ‘hujan metonimi dan alusi’ itu dipancurkan semena-mena seperti kencing para penarik
angkot jurusan Pasar Johar—Pudak Payung.
Lihat saja, ketika ada hidangan
di meja serdadu, ujug-ujug ada Adam
dan Hawa, ketika di beranda menunggu hujan, ujug-ujug
ada Musa. Ada Isa. Ada Ibrahim, aktivitas Kau—lirik ketika
minum kopi ujug-ujug ditempeli desis ular yang ragu-ragu mengulum dosa
pertama. Memang jika dibaca keseluruhan,
puisi-puisi Triyanto terlihat cerdik dan luwes ketika memilih strategi berupa
penyempitan subtema intertekstual. Ia bisa mengerem diri untuk cuma menggunakan
kisah-kisah dari alkitab dan pewayangan. Arab dan Jawa. Islam dan Hindu. Ia
tidak kemaruk memperluas area jelajah literer dengan loncat sana kemari seperti
kita lihat di dalam cerpen-cerpen maupun novelnya. Namun, lantaran kehati-hatian
menjaga bagan besar intertekstual tersebut, di puisi-puisi ini Kartosoewirjo justru berlebihan menggunakan kerangka dongeng-dongeng kenabian
untuk memperoleh efek negasi ‘aku bukan nabi’ nya untuk kemudian
bertahan dengan ‘Aku sekedar hamba yang daif’
Judul
Puisi
|
Metonimi
|
Alusi
|
Personifikasi
dan Metafor
|
Penangkapan
|
ü Mengutuk batu menjadi ibu yang gampang
menangis.
|
ü Kisahan burung ababil.
|
ü Hutan biru,
ü Satwa dililit besi belapis salju, Pencuri
cahaya,
ü Pertapa bersayap yang mengerami telur
ajaib,
ü Kerlip kenangan
ü Kekhalifahan sunyi
ü Hakim berjubah hijau
ü Hantu berambut ungu
ü Ganggang melilit terumbu karang
|
Interogasi
|
ü Dada yang dibelah. Jantung Suci
|
ü Ibrahim
ü Ismail
ü Ababil
ü Tentara Abrahah
ü Adam
ü Maryam
ü Kakbah
|
ü Mata para Nabi
ü Baskom kemuliaan
ü Jantung putih
ü Laut tak berkabut
ü Negara dari laut
ü Pulau penuh desau
ü Pulau yang kesepian
ü Kekhalifahan penuh angin
ü Surga sebelum senja
|
Begitulah,
saya comotkan dua puisi dan mengurainya
dalam tabel di atas, bagaimana perangkat Metonimi, Alusi, Personisifikasi dan
Metafora bekerja menempati fungsi bahasanya masing-masing.
/2/
Sementara
itu, rancang bangun dari teks yang bermain-main dalam kungkungan otoritasi sejarah yang dilakukan puisi-puisi Triyanto terlihat
nyaris sama dengan pola yang digunakan dalam teks-teks lain Triyanto. Baca saja
novela Surga Sungsang, atau kumpulan
ceritanya baik Ular di Mangkuk Nabi atau Celeng Satu Celeng Semua. Eh, tunggu dulu,
apakah cukup bisa teks-teks puisi Triyanto kali ini dibaca sebagaimana prosa?
Bisa, jika struktur dan komponen-komponen prosanya memadai.
Karakter tokoh,
alur, latar waktu, latar tempat juga konfliks; Kematian Kecil Kartosoewirjo meyediakan kesemua hal tersebut. Tidakkah jika dibaca dari halaman pertama
sampai terakhir dengan singgetan Awal—Antara—Akhir , buku puisi ini berkemungkinan besar menjadi
novela. Kita sudah punya Kartoesoewiryo sebagai tokoh utamanya. Kita sudah bisa
menangkap pernyataan, gerak aksi maupun
tekanan-tekanan psikologis dari Ara
Suhara, Dokter, Si Oditur, Regu tembak untuk menghadirkan kemencekaman narasi.
Ada konflik yang ditujukan oleh
Kartoesoewiryo kepada Sukarno, kepada Tjokroaminoto, kepada harapan-harapan
ideal tentang bagaimana sebuah bangsa berdiri. Ada plot flashback yang digunakan untuk memberi informasi penggalan masa
kecil Kartosoewirjo. Ada Latar waktu dan latar tempat yang dinamis. Perbedaannya mungkin, kalau di Surga Sungsang, teks tersebut tidak
terkebiri oleh sejarah, jadi ia lebih leluasa mengekplorasi perangkat-perangkat
untuk menyusun realitas fiksinya. Tapi tak bisa dielak, jika teks-teks milik
Triyanto selalu memuntahkan kekayaan intertekstualitas. Disamping pola
dekonstruktif tentunya. Ini mempunyai efek menempatkan teksnya dalam lajur
disposisi. Teks yang tak tak ingin
berada di kiri dan di kanan. Ia sedapat mungkin menghindari logos.
Post—sruktural, dekonstruksi, jika kita merujuk apa yang diyakini Derrida, akan
selalu berkelit dari dikotomi oposisi binner.
Atau
jika ingin lebih eksplisit melihat kecenderungan sistem kepengrajinan dan
gagasan Triyanto mengolah fiksi dalam lingkaran data sejarah, kita bisa membaca secara komparatif antara buku puisi ini dengan cerpen-cerpen
semisal: Hantu di Kepala Arthur Rimbaud, Iblis
Paris, Sayap Kabut Sultan Ngamid, Seperti Hujan yang Meruncing Merah, Sirkus Api Natasja Korolenko. Ambil saja, dengan alasan kedekatan kita
dengan sejarahnya, Sayap Kabut Sultan
Ngamid, yang menceritakan penggalan kisah penangkapan pangeran Diponegoro.
Cerita ini juga membangun konotasi-konotasinya dari lukisan milik Raden Saleh. Seluruh
perangkat yang telah saya beberkan di awal: alusi, metonimi, metafora, membuat
lilitan di cerita ini. Tokoh-tokoh seperti Haji Ngisa, Alibasah Gandakusumah,
Raden saleh, Haji Badarudin, mempunyai fungsi yang sama dengan tokoh-tokoh yang
ada; Imam Tentara, Komandan Regu Tembak,
Penggali Kubur, Oditur, Sukarno,
Tjokroaminoto, Penonton pelaksanaan hukuman mati dlsb dalam buku puisi
ini. Mereka dihadirkan untuk memberikan
testimoni-testimoni, memberikan kepada pembaca kemungkinan-kemungkinan tafsir.
Tapi yang perlu kita pegang yakni, keberadaan mereka tak memberikan konklusi final,
demi mempertahankan pola dekonstruksi yang ditanamkan penulisnya. Ia tidak
sedang mencari kebenaran baru. Ia tetap samar-samar dan mengambang. Dan meminjam bait Triyanto Triwikromo, ia
tetap semacam sabda yang berbunyi la,
maknanya li. Sementara malaikat lupa
menerjemahkan perihnya kepadamu…
***
Semarang,
Maret—April 2015
*Digunakan untuk kepentingan
diskusi Kelab Buku#7 edisi membaca sehimpun puisi ‘Kematian Kecil Kartosoewirjo’
yang diagendakan pada hari Sabtu, 18 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar