LAMPION KEMBAR



[1]
kami  pada akhirnya hidup  untuk  saling  mencerminkan, mendekatkan  nyala  retak di kejauhan  sekarib  kawan, seintim  perkawinan,  kemudian  menetaskan  umur  berlumpur yang  tumbuh  samar  bersebab  terhalang  jurang bayangan sumur.  tempat  engkau  menimba  keruh air mata, tempat kaki  dada  memanjat-manjat   tangga diantara licin  asap hio sua.

[2]
kami  sering  melihat  deret  gigi mereka  sehitam  kuaci, biji-biji  yang  terusir  dari  sekelopak  bunga  matahari, memperkarakan  nasib serta  nasab tanggal  lahir  koh  akiang,  yang berkeras  di ujung  gang  menjual  ca kwe padahal  bershio  babi, memperkirakan  jendela dekat  perigi  di rumahnya  sungguh melawan  feng shui, sungguh  kami  tak  tahu  menahu, ia  bertahan  untuk  tetap  meyakini bahwa  tahun-tahun telah  dijatuhkan  tuhan  dengan  penuh  perhitungan.

[3]
kami berbantahan dengan  telinga  sendiri, setelah  mencuri  dengar, bagaimana cara  membuat  gambar  naga yang  tertidur  di meja  giok ini lebih  bergembira,  lantas  kami  menyalin  doa-doa mereka, mengipasi  arang  tepat  dibawah  mangkuk  tembaga  berisi  kuah  lo mi, ca  kangkung, dan  bebek goreng mentega. mengundang   tiap  rencana yang  telah  kami  pilih  sebagai  saudara. berharap  musim  hujan  mampu membujuk  naga  meluruskan  lidah  apinya,  yang  tiap malam ketika  ia  tidur  berbelok, menceruat memanggang  mata, mati mata kami.

[4]
pohon  itu, si pohon  angpau, yang  selalu  menarik-narik  kerah baju   ketika kami asyik mengunyah  kalimat  asin di rantau, terlalu  banyak  garam  yang  mesti  kami dulang, duhai moyang. maka  ketika lilin  itu  nyala bersama  rentet  petasan, kami  berlari  ke laut, tempat  kami pertama  kali  meminjam  rasa  takut. kami  tak  sempat  menjenguk, perih mata  saudara  yang  mengabukan  nama-nama  kami di dalam  guci, sungguh  pantai  dada kami  telah  banyak  tercuri.


- kampung layur, 29 Januari 2011 -



gambar  dari  sini

Tidak ada komentar: