puisi puisi AF kurniawan : Antalogi Sastra Pawon


KITA SULIT PERCAYA PADA TIGA UNGKAPAN LAMA

1//
padamu, nasi kemarin yang terlanjur menjadi bubur,
barangkali kau bisa bercerita padaku,
tentang keriput daun telinga gajah di samping rumah.
betapa rajin ia meminta ijin,
mengintip dari celah pohon ramunia.
masa kecil kita saling berlomba.
menggambar bentuk kubah diatas tanah.
berkejar-kejaran.
mengkotak kotakkan harta warisan.

2//
padamu, air dan minyak yang saling berpunggungan.
yang tak bosan dipermalukan kiasan.
adalah jarak,sengaja hadir menguji kesabaran.
menghasut kalian untuk terus menajamkan pedang.
padahal, pernah suatu malam di pelabuhan.
kalian sama-sama memanggul.
berat jam yang berisi pukul demi pukul.
membuat penahan air pasang sepanjang tanggul.
syahbandar tak tahu menahu.
ia sibuk menghitung berapa jumlah lokan yang hilang.

3//
padamu, lengan pendek yang ingin mengumpulkan gunung.
sudah berapa kali jari kemustahilan,
menyembunyikan tanda sama dengan diantara hitungan.
agar kau habis tenaga.
menyerah.
lantas mengembalikan segala kesimpulan.
kepada semua buku-buku pengetahuan,
yang kau pinjam dari rak perpustakaan.

tak kumengerti kenapa kau lebih memilih percaya,
pada suluh yang enggan berbicara.
terus saja mencabuti ganggang
rungkut yang berkelindan di jelujur jiwa.

***

PARIBAHASA SEBENARNYA TELAH MENGURUNG KITA

sengiang perumpamaan,
yang merasuk dan memberi keturunan,
pada getah tetumbuhan di ladang.
kita terus saja mencari letak sumur tua,
tempat pertama kali langit menjatuhkan biru,
kedalam mata, hingga selalu keliru mengeja usia.

sedalam lubuk ditinggalkan ikan-ikan,
kini jeritan,
mencoba memindahkan segala bayangan.
ke sungai, tempat beberapa pertanyaan,
pernah dulu ditanggalkan para danyang.
mereka terlanjur menuduh kita pencuri.
mengambil sembilan puluh sembilan warna
milik hujan dan matahari.

***


KEPADA ADIKKU
:dewi citra sari

lihatlah tubuh ibu dik,
tempat debu dan jutaan pisau membuatkan lubang besar bagi suara kita
hingga kita leluasa teriak,
memainkan robot-robotan dan boneka.
betapa adil ia menjatahkan-jatuhkan air susu,
tak pernah membiarkan mulutmu mulutku
mengering-erangkan puting kiri atau kanan.
bayang atau kenyataan.

lihatlah jemari ibu, dik
mesin jahit yang sabar menyatukan cahaya,
serekat warna bendera,
yang kita tatap sepanjang upacara.
sambil berdiri.
tegak lurus memasang tangga ke matahari.

betapa ia telah patahkan hal-hal penting,
yang lapuk dan rusak sekeras angin
memetik daun kering.
menjauhkan pipi merah jambu kita
dari bisa.
dari muslihat rencana.
dari asin airmata.


REMANG KEMATIAN

sebelum mengucap selamat jalan,
aku ingin mengecup ratusan mayat
yang selama ini hidup di dirimu.
lalu dari jauh , kau bisa melihat luap tangisan
yang mengucur dari lubang-lubang di pungggungku.

punggungku yang berkeras membangun panggung.
mementaskan gaung dan mendung.
kesedihan-kesedihan yang mengaku sekandung.


SURAT IBU UNTUK AYAH YANG BARU BISA KUBACA SETELAH AKU DEWASA

untuk engkau, halaman tebal buku mataku.
yang menerimaku sebagai kalimat pucat.
dengan lengkap raga
yang tak pernah ditumbuhi ragu .
kau karat ranjang,
menunggu kaki mimpi berpulang.
terus membuka pintu,
barangkali suatu malam sepasang lampu
diingatanku, akan menemuimu, dengan tungkai telanjang.
menanam di kamarmu,
terang demi terang.

kedatangan ini kupanggul dari alamat jauh.
bergaun kabar dan debar.
berdandan samar dan memar.
wangi lumpur
yang menempel di nisan nisan kubur.

pelan-pelan, kumasuki tiap suara,
yang berdiam di telingamu.
disana kulihat, bibir anak-anak kita,
sedang belajar berbicara.
sedang berusaha mempercayakan diri pada dusta.
kaukah yang mengasuh segala bunyi ini ?

bunyi-bunyi yang akhirnya piatu,
berjauh dari puting susu.
luka- luka lidah kulihat merekah.
saling membentur, saling berkelindan.
seperti lengan-lengan kecil berebut mainan


nb : selamat ya, buat diri sendiri !



klik disini untuk mengetahui karya siapa yang masuk dalam antologi

Tidak ada komentar: