Gambar ini masih saya amati terus, gambar
usang seukuran kartu pos, diambil tepat pada waktu usia saya
genap satu tahun, itu berarti gambar ini diabadikan duapuluh
tiga tahun dari sekarang. Dua puluh tiga tahun !
Begitu lampau dan pikun waktu yang saya punya, Bril. Begitu gemuknya saya waktu itu ya bril, bukan sekadar gemuk, tapi juga sehat, putih, dan terawat. dan lihat, jidatnya itu, jidat yang kata
nenek, ya, benar, yang digambar sedang memangku saya dengan
teguh itulah, pernah bilang jidat saya semirip jidat milik Pak
Hatta, tokoh proklamator bangsa. Bukan Pak karno, kata nenek
Bril. Jidat pak karno nampak
keling, dan hitam manis, sementara punya saya lebar dan putih
bengkoang. Ah, Bril, saya tak tahu juga, waktu itu nenek sedang
menggigau atau sedang melelo lelo saya, hm, ada ada saja nenek ya bril. Mungkin dia ingin saya seperti beliau, seperti Bung Hatta, cendekia, ekonom, demokratis, gemar menabung, dan satu lagi, gila membaca !
Perempuan
yang muda itu ibu saya bril. Pada masanya, kata orang orang,
ia perempuan yang serba bisa. Jago memasak dan olahraga. Supel, terngginas, dan memiliki daya tahan yang luar biasa saat melakukan sesuatu. Ah pokoknya perempuan itu ibu yang paling ibu. Kamu, tahu, satu hal saja mungkin yang selalu mengantar saya
pada determinasi paling tinggi dalam kehidupan, adalah
mewujudkan satu permintaan ajaibnya. Kamu pingin tau apa satu
permintaan itu ?
Bril , perempuan itu cuma minta :
ia pingin melihat hidup saya lebih baik.
Belum
puas Bril rasanya saya menikmati kedekatan, kehadirannya dalam
merawat usia saya yang tiap detik tumbuh. Meninggi . menua. Ia
pamit pergi, waktu itu saya labil, usia saya masih delapan
belas tahun. Sulit rasanya melepasnya, mengepak koper besarnya,
membawakan keperluannya selama bepergian. Ia hijrah, ke tempat
yang katanya cuma bisa di jangkau cahaya. Tapi aneh, perempuan
itu malah tersenyum, seriang anak anak TK saat naik bus
pariwisata. Tangannya melambai. Dan perempuan itu berujar dari
kaca, nanti ibu kabari kalau sudah nyampe, jaga dulu rumah,
ayah, dan adikmu ya yip…
Waktu itu saya sempat setengah berteriak, ibu, nanti kalau yipp kangen bagaimana.
dan ibu, menjawabku, suaranya menggema dari dalam bis,
kau kan sudah besar, kalau kangen tulis surat saja.
tak
ada gerakan lain setelah itu Bril, selain anggukan kepala
saya yang mengiringinya menjadi titik putih yang kecil,
kemudian lenyap.
jadi
ini sebuah kebetulan atau tidak, jika malam ini kamu mampir ke
sini, saya memang berharap begitu, tolong ya, sampaikan bingkisan
ini,Bril, sampaikan pada ibu, ini kiriman dari anak lelakinya,
yang dulu pernah minta tiap hari dimandikan air susunya, yang
tiap akan tidur selalu menodong dongeng, yang dulu selalu
menangis saat kehilangan mainan mainan kecilnya. jadi maaf kalo
di bungkus ini tak ada stempel bea wesel, atau cantuman
alamat, sungguh, saya kira, cuma kamu yang tahu alamat ibu
yang baru.
salamsuperduper
buat ibu disana ya bril. bilang yiip kangen, makanya saya
menulis surat ini, khusus untuknya, di hari lahir : 15 juni
nanti.
catatan
: kalau tiap orang selalu bilang Selamat panjang umur pada
seseorang saat ia berulang tahun, maka kurasa ibu sudah ngga
perlu itu. umur ibu sudah lebih panjang dari doa itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar