Lama kusimpan kancing itu
Bertahun tahun mereka kusembunyikan di saku,
tapi kini kugunakan untuk mengancingi sepasang mataku.
Mata yang bertahun tahun terjaga menjadi selembar telinga,
Sekedar menunggu kabar itu datang.
Bahwa jauh di seberang sana kau telah menemukan kancing baru
sebagai pengganti peniti.
Merapatkan belahan dadamu yang terbuka.
Huh, betapa telah kusinggahi segala jenis toko busana, tempat-tempat para penjahit.
Menanyakan barangkali ada yang menyerupai kancing kancing ini.
Dan aku selalu menjadi bahan tertawaan kasir juga penjaga toko,
Saat aku ceritakan bahwa kancing ini adalah kancing gaun kekasihku.
Sepertinya mereka ingin menyarankan,
Bahwa tiap kejadian tak akan mau disamakan.
Aku keluar, dan sesekali memandang etalase, sekedar menyemangati keinginan.
Alangkah jauhnya waktu,
Alangkah menakin nya wajahmu !
Tiap kali aku ingin pulang, selalu saja aku dituntun kompas paling asing.
Penunjuk arah yang malah membuat bising. Nyaris tak ada pemberhentian.
Menyadari perjalanan ini, pemahaman terbalik.
, seperti kamera.
Seperti anak kecil yang merindukan warna susu ibunya
Langkahku makin pagar di rambati serabut akar.
Dan gaunmu yang menjadi rumah kancing ini makin mekar di tengah halaman
aku makin tahu.
Halaman luas penuh pasir ini,
adalah kenangan yang kau pinjamkan pada ingatan.
Bagaimana kabar asap itu ?
Jadi putih atau hitam,
Apakah ia tak jadi membunuhmu,
Atau ia terlalu na�f, seperti asbak yang siap menerima
bahkan bila ia dimintai menampung abu.