MEMBAYAR YANG DIBERIKAN HIDUP
Judul: Dear Life
Penulis:
Alice Munro
Penerjemah:
Tia Setiadi & Rini Nurul Badariah
Cetakan: I, Oktober 2014
Penerbit:
Bentang Pustaka
Jumlah
halaman: 302 halaman
Judul
Asli: Dear Life
ISBN:
978-602-291-025-1
Mungkin agak
melelahkan bagi pembaca yang tak
terbiasa dengan cerpen-cerpen yang
panjang, apalagi masyarakat baca
cerita pendek Indonesia, yang sekian dekade teks-teks—nya mau tidak mau
tunduk kepada konvensi “maksimum 9.000—15.000 karakter” dari media cetak
baik koran, majalah, atau tabloid.
Ketabahan. Ya, hal pertama yang dibutuhkan pembaca sepertinya memang ketabahan, sebab dalam Dear Life (Bentang, 2014) milik Alice Munro, cerita-cerita yang
disajikan dua sampai tiga kali lebih panjang dari yang sering pembaca temui.
Zoom
In dalam Realisme ala Munro
Tempo
cerita dalam Dear
Life bergerak pelan. Datar. Kaya
akan detail. Ciri yang menempel pada
teks-teks realis. Tiap obyek yang muncul dalam cerita mengalami Zoom
In, kita akan bisa mengingat
hitungan berapa kilometer jarak dari
kota A ke Kota B, jenis kayu yang digunakan membuat sebuah almari di ruang keluarga, bau asam cat
mobil yang mengelupas, atau motif dan warna seprai tempat tidur. Munro tak
pernah meninggalkan detail dalam setiap
narasinya. Proses pembesaran detail ini
dialami setiap benda, kejadian, waktu,
bahkan sisi kejiwaan karakter
tokoh-tokohnya. Tengok saja dalam Corrie
:
Gadis itu mengaku bukan perawan. Tapi,
ternyata agak rumit sebab orang yang menyentuhnya kali pertama adalah guru
pianonya, sewaktu Corrie berusia 15 tahun.
Dia memenuhi keinginan si guru
karena mengasihani orang-orang yang menginginkan sesuatu. (hlm155)
Dengan plot
yang kuat Munro menyajikan kisah Corrie—perempuan kaya
berkaki timpang sebelah yang menjalin hubungan asmara dengan seorang
arsitek yang sudah berkeluarga. Hubungan yang bagi Corrie begitu penting,
bahkan perselingkuhan tersebut harus ia bayar dengan rutin mengirimkan uang
sogokan kepada bekas pelayannya yang berusaha memeras dengan cara mengancam akan membocorkan skandal tersebut kepada istri si
arsitek. Kita akan merasa teraduk-aduk dengan cara tokoh-tokoh dalam cerita
ketika membenturkan diri dengan
kenyataan. Hidup memang berharga, dan kita mesti membayar untuk itu.
Dalam Dear Life, Munro memiliki kecenderungan
menciptakan karakter-karakter perempuan
yang individual, terperangkap
jukstaposisi, dan terkesan sedang mengupayakan pemberontakan terhadap
otoritas—baik yang dimiiliki oleh kaum lelaki maupun nilai normatif dari budaya
yang mengungkung.
Ada Greeta,
seorang penyair perempuan beranak satu yang melakukan penyelewengan
imajiner dengan seorang jurnalis yang ia
temui dalam sebuah pesta para penulis (cerpen Sampai ke Jepang). Ada Vivien—guru yang mesti bertahan dengan
benturan pengalaman cinta pertamanya dengan seorang dokter (Amunsend). Ada Leah, penjual tiket
bioskop yang memutuskan kawin lari
dengan seorang pemain saksofon (Meninggalkan
Maverley).
Perempuan-perempuan Munro
mengusung semangat feminisme.
Munro menghidupkan mereka di latar waktu
kisaran perang dunia dua berlangsung. Di antara latar
yang kaku dari pandangan
konservatif agama juga masyarakat
dalam memperlakukan posisi perempuan. Dibungkus
dengan konflik-konflik yang kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga, pernikahan, pertentangan anak
dengan orang tua atau saudara dengan saudara. Yang menarik, sejak cerita
pendeknya “Royal Beating” pertama kali
dimuat majalah The New Yorker
pada tahun 1977—yang kala itu sebenarnya Munro sudah nyaris putus asa lantaran mendapatkan
surat informal dari pihak redaksi, bahwa cerita-cerita yang ia kirim sebenarnya bagus, cuma terlalu familiar—
ia tak berhenti untuk terus
mengeksplorasi tanah kelahirannya; Kanada.
Itulah sebabnya, kadang Munro dianggap chauvinistis, lantaran setting
cerita yang ia garap tak pernah jauh-jauh dari Vancouver, Danau Huron, Toronto,
Saskatoon dan daerah-daerah pedesaan di Kanada. Kesetiaannya mengeksplorasi tanah kelahiran sebesar kesetiaannya untuk
terus bertahan menulis cerita pendek. Kesetiaannya menuliskan cerita-cerita
yang akrab dengan keseharian. Sebab bagi
Munro, fiksi benar-benar perkakas mimesis dari hidup.
Munro
lahir pada tahun 1931 dan mulai menulis
cerita pendek sejak usia belasan tahun. Ia sudah menerbitkan sembilan buku
kumpulan cerita pendek sejauh ini. Wajar jika pada 2013, ketika usia Munro
delapan puluh dua tahun, ia dianugerahi nobel sastra, juga The Man Booker International pada tahun 2009. Saya pikir, dunia memang sudah sepantasnya membayar apa yang Alice Munro berikan kepada kita. Terakhir, kita akan terus berharap, bahwa kata-kata
Munro tidaklah benar tentang empat
cerita yang ada di Dear Life, bahwa
bisa jadi ini adalah yang
terakhir.
***
Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas
Lacikata dan Kelab Buku Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar