MEMBAYAR YANG DIBERIKAN HIDUP (Jawa Pos, Minggu 1 Februari 2015)



MEMBAYAR YANG DIBERIKAN HIDUP
Judul:  Dear Life
Penulis: Alice Munro
Penerjemah: Tia Setiadi & Rini Nurul Badariah
Cetakan:  I, Oktober 2014
Penerbit: Bentang Pustaka
Jumlah halaman: 302 halaman
Judul Asli: Dear Life
ISBN: 978-602-291-025-1



Mungkin agak melelahkan bagi pembaca yang  tak terbiasa dengan cerpen-cerpen  yang panjang, apalagi  masyarakat  baca  cerita pendek Indonesia, yang sekian dekade teks-teks—nya  mau tidak mau  tunduk kepada konvensi “maksimum 9.000—15.000 karakter” dari media cetak baik koran, majalah, atau  tabloid. Ketabahan. Ya, hal pertama yang dibutuhkan pembaca sepertinya memang  ketabahan, sebab dalam Dear Life (Bentang, 2014) milik Alice Munro, cerita-cerita yang disajikan dua sampai tiga kali lebih panjang dari yang sering pembaca temui.


Zoom In   dalam Realisme ala Munro
Tempo cerita   dalam  Dear Life  bergerak pelan. Datar. Kaya akan detail.  Ciri yang menempel pada teks-teks realis. Tiap obyek yang muncul dalam cerita mengalami  Zoom In, kita akan bisa  mengingat hitungan berapa kilometer jarak  dari kota  A ke Kota B, jenis kayu yang digunakan membuat  sebuah almari di ruang keluarga, bau asam cat mobil yang mengelupas, atau motif dan warna seprai tempat tidur. Munro tak pernah meninggalkan  detail dalam setiap narasinya.  Proses pembesaran detail ini dialami setiap  benda, kejadian, waktu, bahkan sisi kejiwaan  karakter tokoh-tokohnya. Tengok saja dalam Corrie :

Gadis itu mengaku bukan perawan. Tapi, ternyata agak rumit sebab orang yang menyentuhnya kali pertama adalah guru pianonya, sewaktu Corrie berusia 15 tahun.  Dia memenuhi  keinginan si guru karena mengasihani orang-orang yang menginginkan sesuatu. (hlm155)

Dengan plot yang kuat Munro menyajikan kisah Corrie—perempuan  kaya  berkaki timpang sebelah yang menjalin hubungan asmara dengan seorang arsitek yang sudah berkeluarga. Hubungan yang bagi Corrie begitu penting, bahkan perselingkuhan tersebut harus ia bayar dengan rutin mengirimkan uang sogokan kepada bekas pelayannya yang berusaha memeras dengan cara mengancam akan  membocorkan skandal tersebut kepada istri si arsitek. Kita akan merasa teraduk-aduk dengan cara tokoh-tokoh dalam cerita ketika  membenturkan diri dengan kenyataan. Hidup memang berharga, dan kita mesti membayar untuk itu.


Dalam Dear Life, Munro memiliki kecenderungan menciptakan karakter-karakter perempuan  yang  individual, terperangkap jukstaposisi, dan terkesan sedang mengupayakan pemberontakan terhadap otoritas—baik yang dimiiliki oleh kaum lelaki maupun nilai normatif dari budaya yang mengungkung.

Ada Greeta, seorang penyair perempuan beranak satu yang melakukan penyelewengan imajiner  dengan seorang jurnalis yang ia temui dalam sebuah pesta para penulis (cerpen Sampai ke Jepang). Ada Vivien—guru yang mesti bertahan dengan benturan pengalaman cinta pertamanya dengan seorang dokter (Amunsend).  Ada Leah, penjual tiket bioskop  yang memutuskan kawin lari dengan seorang pemain saksofon (Meninggalkan Maverley).

Perempuan-perempuan  Munro  mengusung semangat  feminisme. Munro  menghidupkan mereka di latar waktu kisaran  perang dunia dua  berlangsung. Di antara  latar  yang kaku dari  pandangan konservatif   agama juga  masyarakat  dalam memperlakukan posisi perempuan.  Dibungkus  dengan konflik-konflik yang kerap terjadi dalam kehidupan  rumah tangga, pernikahan, pertentangan anak dengan orang tua atau saudara dengan saudara. Yang menarik, sejak cerita pendeknya “Royal Beating” pertama kali  dimuat majalah The New Yorker pada tahun 1977—yang kala itu sebenarnya Munro sudah nyaris putus asa lantaran mendapatkan surat informal dari pihak redaksi, bahwa cerita-cerita yang ia kirim  sebenarnya bagus, cuma terlalu familiar— ia  tak berhenti untuk terus mengeksplorasi tanah kelahirannya; Kanada.  Itulah sebabnya, kadang Munro dianggap chauvinistis, lantaran setting cerita yang ia garap tak pernah jauh-jauh dari Vancouver, Danau Huron, Toronto, Saskatoon dan daerah-daerah pedesaan di Kanada. Kesetiaannya mengeksplorasi  tanah kelahiran sebesar kesetiaannya untuk terus bertahan menulis cerita pendek. Kesetiaannya menuliskan cerita-cerita yang akrab dengan keseharian.  Sebab bagi Munro, fiksi   benar-benar perkakas mimesis dari hidup.

Munro lahir  pada tahun 1931 dan mulai menulis cerita pendek sejak usia belasan tahun. Ia sudah menerbitkan sembilan buku kumpulan cerita pendek sejauh ini. Wajar jika pada 2013, ketika usia Munro delapan puluh dua tahun, ia dianugerahi nobel sastra, juga  The Man Booker  International pada tahun 2009.   Saya pikir, dunia memang  sudah sepantasnya membayar apa yang  Alice Munro berikan kepada  kita. Terakhir,  kita akan terus berharap, bahwa kata-kata Munro tidaklah  benar tentang empat cerita yang ada di Dear Life, bahwa bisa jadi  ini  adalah  yang terakhir.

***


Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.





Tidak ada komentar: