PRODUK BENCANA PASCAKOLONIAL (Jawa Pos, Minggu 4 Januari 2015)




PRODUK BENCANA PASCAKOLONIAL
Judul: Angela
Penulis: Frank McCourt
Penerjemah: Meda Satria
Cetakan:  I, Oktober 2014
Penerbit: Penerbit Matahari
Jumlah halaman: 594 halaman
Judul Asli: Angela’s  Ashes
ISBN: 978-602-1139-55-4

Milan Kundera dalam  bukunya Art of Novel menulis, seorang novelis bukanlah ahli sejarah dan juga  bukan nabi. Melainkan  seseorang yang bersungguh-sungguh mengeksplorasi eksistensi tokoh-tokohnya. Keberadaan manusia itulah yang memang mesti diolah sedemikian rupa, tak peduli jika  kadang berurusan dengan sejarah, ia harus tampil beda dalam memberikan nilai estetisnya kepada pembaca. Sejauh ini kita mungkin bisa bertanya dan berhitung, sudah berapa novel hadir menyajikan peperangan, kemiskinan, genosida, atau segala renik  dari tragedi humanitas, tapi kita juga tetap akan berdecak untuk mengakui, bahwa  beberapa dari teks-teks tersebut memang muncul untuk kita kagumi, seolah novel tersebut lahir dalam upayanya menonjok dan memberi tahu kita: Setiap mahkluk tidak sesederhana yang kerap kita pikirkan.

Itu juga kiranya yang ingin disodorkan  oleh Frank McCourt lewat  novel  Angela (2014, Penerbit Matahari). Novel pertama McCourt yang mengantarnya menjadi pemenang anugerah Pulitzer Prize pada tahun 1997, juga bersamaan dengan itu ia juga diganjar penghargaan dari national Book Criitic Award, Los Angeles Time Award,  serta Royal Sosiety of Literatur Award. 

Novel yang berisi kronologi kemelaratan   Angela dan keluarganya,  produk sebuah bencana post-kolonial. Perempuan yang diciptakan di dalam gambaran lanskap sengkarut  periode di mana Irlandia  terus saja  gamang dengan kemerdekaannya. Namun  800 tahun memang  bukan sekedar angka kesakitan  bagi penduduk sebuah negeri. Itu adalah neraka yang mesti diceritakan kepada  anak cucu  sambil mengumpat, sambil menuding-nuding dan tentunya dengan sedakan  air mata.
Sejarah mencatat, The Troubles, istilah yang digunakan khalayak untuk menyebut kecamuk konflik yang terjadi di Irlandia, irisan kepentingan yang menjadi luka sejarah antara utara dan selatan Irlandia, antara kaum republik dan kaum loyalis yang berlangsung hampir empat puluh tahun dari rentang tahun 1960 sampai 1998, dan sampai saat pun ini percikan-percikan dari konflik itu masih saja belum hilang. Demikianlah data sejarahnya. Namun Frank McCourt lewat novelnya ingin berbicara lain. Dalam novel, sebuah sejarah tak pernah sesederhana angka statistik. Dia menjadi kumparan kompleksitas karena tiap tokoh membawa sesuatu bernama eksistensi.

Adalah Angela, perempuan yang awalnya bermigrasi ke Amerika untuk bertaruh barangkali di tanah utopis yang waktu itu dipimpin oleh Rosevelt,  kehidupannya akan membaik, tidak hanya jadi rongsokan ketika di negeri sendiri. Namun apalah daya, nyatanya Amerika  tak lebih ramah dari Irlandia. Angela  lantas kembali ke Irlandia, kembali  terlempar ke dalam mimpi-mimpi buruk. Angela harus mau menerima kutukan hidup di gang sempit Limerick— zona kumuh di Irlandia selatan kala itu. Melahirkan banyak anak. Hidup dari mengemis kupon makanan di Dinas Sosial. Menjadi saksi bahwa agama selalu saja berdiri di atas tiang kepentingan masing-masing yang kadang menyakitkan.

Kronologi kemiskinan ini  diceritakan oleh  aku  narator, bernama Frank— sulung  dari  enam bersaudara  anak-anak Angela, hasil dari pernikahannya di Amerika dengan Malachy, seorang  mantan pasukan IRA, yang  hidup dari halusinasi  dari pub ke pub untuk minum sampai mabuk, ketidakpedulian terhadap  apapun selain membangunkan Frank dan adik-adiknya tiap fajar, untuk menyanyikan yel-yel lagu patriotik dan menyuruh mereka  bersumpah siap mati demi Irlandia.  Sementara perut  Frank dan adik-adiknya ini tak berisi apapun berhari-hari.  Dengan narator  anak kecil, Frank McCourt  tidak sulit kiranya menampilkan hal-hal menakjubkan dalam novel. Anak-anak adalah semesta liar.  Kita bisa melihatnya dari cuplikan ini,


Kau berhak mati dan menjadi martir, seandainya  kami diserang oleh orang-orang Protestan, atau Islam, atau kafir manapun. Urusan mati lagi. Aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak mau mati demi Iman, karena aku sudah dipesan untuk mati demi Irlandia.(hal. 293)

Di samping keluguan dan kejernihannya berpikir, anak-anak adalah medium tepat untuk menyuguhkan ironisme, paradoks, dan kekonyolan-kekonyolan dari anekdot  yang tak mungkin kita temukan dalam  dunia orang dewasa. Lewat  cara berpikir  Franky yang sarat silogisme, pembaca akan menemukan, betapa yang benar dan yang salah sebenarnya cuma serangkaian lelucon. Perseteruan antara kaum pemeluk agama Katolik dan Protestan, sinisme dan  kebencian antara penduduk Irlandia Utara dan Irlandia Selatan yang tak kunjung menemukan rekonsiliasi, kesenjangan antara kaum Proletar dan kaum Borjuis, efek dari benturan  anasir sosio—kultural—teologi tersebut mampu dipecahkan dengan narasi yang akan menggelitik pembaca. Dengan kekuatan sense of Humor lah seseorang akan lepas dari perangkap keterpurukan. Dan keluarga Angela pun mencoba melawan penderitaan dengan tertawa. Dengan terus menyanyi. Dengan terus menari.

Siapapun tentu melihat mengapa aku
menginginkan ciumanmu
Itu pasti dan alasannya adalah ini
Mungkinkah benar, seseorang seperti dirimu
Bisa mencintaiku, mencintaiku? (hal. 81)


Lirik-lirik lagu yang seolah jamur  tumbuh di musim hujan, penggambaran pub-pub di irlandia, aroma bir, gang demi gang juga daerah pedesaan akan mengantarkan  pembaca  sampai  kepada  nuansa musik-musik celtic. Ya, dari sanalah sub kultur musik Irish—celtic  seperti Bono, Paul Braddy,  Enya, The Corrs, Clannad hadir sebagai manifesto bahwa nyanyian bagi keluarga-keluarga di Irlandia adalah jiwa.  Sebab musik dan lagu-lagu, bagaimanapun, adalah alat hubung universal.  Maka dalam keporak-porandaan sosial budaya, Angela menyanyi. Frank menyanyi, Malachy menyanyi, Paman Ka Keating menyanyi. Tiap penghuni rumah di gang-gang sempit Limerick menyanyi. Dengan menyanyi, mereka  mencintai hidup. Melawan kesia-siaan.


***

Arif Fitra Kurniawan—giat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.

 



Tidak ada komentar: