PRODUK BENCANA PASCAKOLONIAL
Judul:
Angela
Penulis:
Frank McCourt
Penerjemah:
Meda Satria
Cetakan:
I, Oktober 2014
Penerbit:
Penerbit Matahari
Jumlah
halaman: 594 halaman
Judul
Asli: Angela’s Ashes
ISBN:
978-602-1139-55-4
Milan Kundera
dalam bukunya Art of Novel menulis, seorang novelis bukanlah ahli sejarah dan
juga bukan nabi. Melainkan seseorang yang bersungguh-sungguh
mengeksplorasi eksistensi tokoh-tokohnya. Keberadaan manusia itulah yang memang
mesti diolah sedemikian rupa, tak peduli jika kadang berurusan dengan sejarah, ia harus
tampil beda dalam memberikan nilai estetisnya kepada pembaca. Sejauh ini kita
mungkin bisa bertanya dan berhitung, sudah berapa novel hadir menyajikan
peperangan, kemiskinan, genosida, atau segala renik dari tragedi humanitas, tapi kita juga tetap
akan berdecak untuk mengakui, bahwa beberapa dari teks-teks tersebut memang muncul
untuk kita kagumi, seolah novel tersebut lahir dalam upayanya menonjok dan
memberi tahu kita: Setiap mahkluk tidak sesederhana yang kerap kita pikirkan.
Itu juga
kiranya yang ingin disodorkan oleh Frank
McCourt lewat novel Angela
(2014, Penerbit Matahari). Novel pertama McCourt yang mengantarnya menjadi
pemenang anugerah Pulitzer Prize pada tahun 1997, juga bersamaan dengan itu ia
juga diganjar penghargaan dari national Book Criitic Award, Los Angeles Time
Award, serta Royal Sosiety of Literatur
Award.
Novel yang
berisi kronologi kemelaratan Angela dan keluarganya, produk sebuah bencana post-kolonial. Perempuan yang diciptakan di dalam gambaran lanskap
sengkarut periode di mana Irlandia terus saja gamang dengan kemerdekaannya. Namun 800 tahun memang bukan sekedar angka kesakitan bagi penduduk sebuah negeri. Itu adalah neraka
yang mesti diceritakan kepada anak
cucu sambil mengumpat, sambil
menuding-nuding dan tentunya dengan sedakan air mata.
Sejarah mencatat,
The Troubles, istilah yang digunakan
khalayak untuk menyebut kecamuk konflik yang terjadi di Irlandia, irisan kepentingan
yang menjadi luka sejarah antara utara dan selatan Irlandia, antara kaum
republik dan kaum loyalis yang berlangsung hampir empat puluh tahun dari
rentang tahun 1960 sampai 1998, dan sampai saat pun ini percikan-percikan dari
konflik itu masih saja belum hilang. Demikianlah data sejarahnya. Namun Frank
McCourt lewat novelnya ingin berbicara lain. Dalam novel, sebuah sejarah tak
pernah sesederhana angka statistik. Dia menjadi kumparan kompleksitas karena
tiap tokoh membawa sesuatu bernama eksistensi.
Adalah Angela,
perempuan yang awalnya bermigrasi ke Amerika untuk bertaruh barangkali di tanah
utopis yang waktu itu dipimpin oleh Rosevelt, kehidupannya akan membaik, tidak hanya jadi
rongsokan ketika di negeri sendiri. Namun apalah daya, nyatanya Amerika tak lebih ramah dari Irlandia. Angela lantas kembali ke Irlandia, kembali terlempar ke dalam mimpi-mimpi buruk. Angela
harus mau menerima kutukan hidup di gang sempit Limerick— zona kumuh di
Irlandia selatan kala itu. Melahirkan banyak anak. Hidup dari mengemis kupon
makanan di Dinas Sosial. Menjadi saksi bahwa agama selalu saja berdiri di atas
tiang kepentingan masing-masing yang kadang menyakitkan.
Kronologi
kemiskinan ini diceritakan oleh aku narator, bernama Frank— sulung dari enam bersaudara anak-anak Angela, hasil dari pernikahannya di
Amerika dengan Malachy, seorang mantan
pasukan IRA, yang hidup dari halusinasi dari pub ke pub untuk minum sampai mabuk,
ketidakpedulian terhadap apapun selain
membangunkan Frank dan adik-adiknya tiap fajar, untuk menyanyikan yel-yel lagu
patriotik dan menyuruh mereka bersumpah
siap mati demi Irlandia. Sementara perut
Frank dan adik-adiknya ini tak berisi
apapun berhari-hari. Dengan narator anak kecil, Frank McCourt tidak sulit kiranya menampilkan hal-hal
menakjubkan dalam novel. Anak-anak adalah semesta liar. Kita bisa melihatnya dari
cuplikan ini,
Kau berhak mati dan menjadi martir,
seandainya kami diserang oleh
orang-orang Protestan, atau Islam, atau kafir manapun. Urusan mati lagi. Aku
ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak mau mati demi Iman, karena aku
sudah dipesan untuk mati demi Irlandia.(hal. 293)
Di samping
keluguan dan kejernihannya berpikir, anak-anak adalah medium tepat untuk
menyuguhkan ironisme, paradoks, dan kekonyolan-kekonyolan dari anekdot yang tak mungkin kita temukan dalam dunia orang dewasa. Lewat cara berpikir Franky yang sarat silogisme, pembaca akan
menemukan, betapa yang benar dan yang salah sebenarnya cuma serangkaian lelucon.
Perseteruan antara kaum pemeluk agama Katolik dan Protestan, sinisme dan kebencian antara penduduk Irlandia Utara dan
Irlandia Selatan yang tak kunjung menemukan rekonsiliasi, kesenjangan antara
kaum Proletar dan kaum Borjuis, efek dari benturan anasir sosio—kultural—teologi tersebut mampu
dipecahkan dengan narasi yang akan menggelitik pembaca. Dengan kekuatan sense of Humor lah seseorang akan lepas
dari perangkap keterpurukan. Dan keluarga Angela pun mencoba melawan
penderitaan dengan tertawa. Dengan terus menyanyi. Dengan terus menari.
Siapapun tentu melihat mengapa aku
menginginkan ciumanmu
Itu pasti dan alasannya adalah ini
Mungkinkah benar, seseorang seperti dirimu
Bisa mencintaiku, mencintaiku? (hal. 81)
Lirik-lirik
lagu yang seolah jamur tumbuh di musim
hujan, penggambaran pub-pub di irlandia, aroma bir, gang demi gang juga daerah
pedesaan akan mengantarkan pembaca sampai
kepada nuansa musik-musik celtic. Ya, dari sanalah sub kultur
musik Irish—celtic seperti Bono,
Paul Braddy, Enya, The Corrs, Clannad
hadir sebagai manifesto bahwa nyanyian bagi keluarga-keluarga di Irlandia adalah
jiwa. Sebab musik dan lagu-lagu,
bagaimanapun, adalah alat hubung universal.
Maka dalam keporak-porandaan sosial budaya, Angela menyanyi. Frank
menyanyi, Malachy menyanyi, Paman Ka Keating menyanyi. Tiap penghuni rumah di
gang-gang sempit Limerick menyanyi. Dengan menyanyi, mereka mencintai hidup. Melawan kesia-siaan.
***
Arif Fitra Kurniawan—giat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku
Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar