Eskapisme dan Migrasi ke Dunia Khayal
(Oleh: Muhammad Aswar)
Semacam Pembuka
Untuk memulai perbincangan ini, izinkan saya mengajukan beberapa pembelaan
apologetik atas pembacaan saya terhadap Eskapis. Pertama, buku ini baru saya
terima tiga hari yang lalu: tentu sangat tidak komprehensif untuk melakukan
pembacaan terhadap sebuah buku, apalagi kumpulan puisi, dalam tiga hari. Terlebih,
kecenderungan puitik Arif Fitra Kurniawan, yang, bagi saya pribadi, berbeda
dengan puisi-puisi yang sering saya baca. Ia penuh dengan metafora dan diksi
yang segar, juga citarasa bahasa yang khas.
Oleh sebab itu, pembacaan saya pasti sangat sederhana dan tak bisa
sepenuhnya dijadikan rujukan untuk memasuki dunia puisi Arif dalam Eskapis.
Tulisan ini hanya percobaan awal sebelum memasukinya.
Eskapis, Eskapisme, Universum
Dimulai dari judul buku, Eskapis. Eskapis mungkin diambil dari kata
bahasa Inggris, escapist. Escape berarti lepas, keluar, lari, melarikan
diri. Sementara eskapisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan
sebagai kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari
hiburan dan ketentraman dalam dunia khayal maupun situasi rekaan.
Mengapa lari dari kenyataan? Sebab gagasan, ide dan segala yang timbul
sebagai pengharapan, tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang berlangsung. Ibaratnya
seseorang yang telah berdandan dan mengharapkan dirinya lebih indah, namun
ketika bercermin, ia ternyata tidak indah sesuai pengharapannya. Menghindari atau
menghancurkan cermin, bahkan merusak wajahnya sendiri, bisa jadi bentuk
eskapis.
Sikap ini, dalam sosiologi Durkheim, timbul akibat melemahnya solidaritas
sosial: ketika kohesi sosial semakin melemah, dan struktur sosial tidak mampu melindungi
tiap individu, pada saat itulah individu melepaskan diri dari sosialnya.
Durkheim sendiri, karena meneiliti fenomena bunuh diri, menyimpulkan bahwa
tindakan bunuh diri merupakan bentuk pelarian dari realitas sosial.
Dalam filsafat, pelarian bisa dari dua situasi, kenyataan dan realitas.
Lari dari kenyataan disebut eskapisme, sementara lari dari realitas disebut
posmodernisme. Kenyataan adalah apa yang terjadi dan dapat diamati dengan panca
indra. Realitas adalah apa yang di balik dari kenyataan itu. Jika kenyataannya
orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin, berarti realitasnya terjadi
ketimpangan sosial.
Kita tidak mencoba untuk melihat bahwa eskapisme berasal dari kenaifan dan
posmodernisme dari idealitas, tapi keduanya berada dalam satu cara berpikir,
yang sering diistilahkan sebagai mazhab abstraksionisme. Mazhab ini merupakan
gelombang baru yang mengingkari kenyataan dan realitas serta berupaya untuk
melarikan dirinya darinya, lalu mendekam di “alam gaib”.
Ada dua ciri utama dari mazhab abstraksionisme. Manusia dan universum (alam
dan realitas) berbeda, kadang saling mengisi, tapi lebih banyak diposisikan
sebagai oposisi. Manusia adalah wujud yang mengindra dan merasa. Manusia adalah
makhluk pencipta yang, tentunya, lebih tinggi derajatnya dibanding
entitas-entitas material lainnya. Alam adalah benda mati; tidak memiliki
pikiran dan perasaan. Ia tidak memiliki daya mencipta, membangun dan inovasi.
Manusialah yang berkehendak, memilih, membangun, dan merasakan apa tindakannya
dan apa yang telah dipahaminya tentang alam. Karenanya, alam yang bergerak
(realitas) merupakan konstruk dari pikiran dan keinginan manusia.
Pemahaman ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang selalu merasa
terasing dengan universum. Keterasingan muncul disebabkan atas dasar merekalah
yang mengontrol alam, namun alam berjalan tidak sesuai dengan apa yang mereka
pikirkan dan inginkan. Tidak sebatas itu, mereka akan menghindari alam dan
membangun dunianya sendiri lewat khayalan dan rekaan.
Di Eropa dan Amerika, paham ini menampakkan diri terutama dalam kesenian. Ia
kemudian menciptakan sinetron-sinetron dan sastra populer. Keduanya bangkit membawa
dunia yang sepertinya tidak realistis bagi kaum borjuis dan pengagum keagungan
seni.
Sampai hari ini, karena sastra kita terlanjur berpatokan pada sejarah
sastra di Barat, maka klasifikasi yang kita gunakan pun tetap mengikut
kepadanya: sastra mainstream, sastra avant garde dan sastra populer. Sastra
mainstream dan avant garde tumbuh dari suatu kebudayaan dan tradisi intelektual
suatu bangsa. Kegiatan intelektual itu bertujuan mencari kenyataan hakiki
kehidupan, untuk dapat memperbaikinya. Sastra populer tumbuh dengan mengikuti
sastra sejati, namun peniruan sebatas bentuk lahirnya dan kurang berminat terhadap
pencarian hakiki kehidupan. Alih-alih memperbaiki, sastra populer justru
mengajak pembacanya melupakan nilai hakiki kehidupan dan masuk ke dalam
kehidupan yang tidak realistis.
Eskapis, Dunia Rekaan sebagai Dunia Alternatif
Semoga batasan-batasan yang coba saya ajukan di atas bisa kita pakai untuk
memasuki Eskapis, sekaligus Tuan-Tuan Pembaca dapat membaca posisi saya
dalam pembacaan. Mari, sejenak kita kesampingkan penghakiman atas nilai baik dan
buruk sikap eskapisme dan sastra populer.
Ada satu hal yang terus timbul-tenggelam dalam pikiran saya saat menuliskan
ini. Mungkin suatu kejeniusan, sebagai seorang penulis puisi, ketika Arif memindahkan
semangat eskapisme yang cenderung dikaitkan dengan sastra populer ke dalam
puisi. Saya tidak hendak mengatakan bahwa Arif sedang menulis puisi populer (ketidakhadiran
puisi dalam perbincangan sastra populer menjadi satu pertanyaan sendiri), tapi
bagaimana dunia rekaan dan khayalan dijadikan semangat dalam memandang
universum.
Saya kira Arif sangat sadar memilih kata ‘eskapis’ sebagai judul utama dari
78 puisi yang ada di dalam buku tersebut, meski kesemua puisi ditulis dalam
rentang waktu 2011-2014. Izinkan saya melihat ketersesuaiannya dalam hal
bagaimana puisi-puisi tersebut memandang universum sekaligus membangun dunia
rekaan dan khayalan. Sekali lagi, karena waktu saya yang cukup singkat untuk
membaca Eskapis, analisa ini pasti sangat tidak komprehensif.
Di dalam puisi pertama, “Beberapa Alasan Serta Ulasan Mengapa Aku Betah
Bermukim di Dadamu”, kita sudah dijejali dengan pembangunan dunia rekaan, namun
dengan semangat romantik terhadap masa kecil:
dalam tidur tak henti aku membelah diri ribuan
kali,
menjadi tokoh-tokoh yang hidup di sepanjang
kisah ajaib yang pernah engkau tumpahkan
dari dada ke liang telingaku yang manja
Dalam puisi “Eskapis” dunia rekaan itu
digambargan dengan tragis:
di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan
pasang mata
yang menangis, bangsal-bangsal rumah sakit
bersalin, jarum
suntik, kapsul penenang dan, rumit rumusan
demi menebus
kehilangan. Masa depan orang-orang terlanjur
bibbit penyakit
menunggu waktu tepat sembari memeluk
pertanyaan kapan
dirimu akan berulang-ulang bangkit. Mereka
terlanjur getir
menyimpan ucapan selamat.
------------------------------------------------------------------------
Di dalam diriku mimpi terbuat dari
berjuta-juta kelahiran bayi
Binatang purba. Aku satu-satunya manusia yang
membenci diri
Sendiri dan sering menangis. Kenapa tidak
punah dan diganti
Dengan perumpamaan baru agar bisa tertukar
denganmu
Bukan hanya kegetiran, bahkan dalam dunia rekaan itu, Arif juga menyiapkan
sebuah agama: aku menyembah cakar burung-burung flamengo. Juga paruh/mereka...(“Pikiran-Pikiran
Sesat”). Arif juga sudah membuat suatu regenerasi yang menarik, bahwa yang
melahirkan bukan ibut, tetapi ayah: aku melihat ayahku mengandung diriku.
Perutnya/membesar. Dikiranya aku angkasa yang salah ia hirup lewat/hidungnya yang
kerap mimisan (“Mengandung Diriku”).
Masih banyak lagi pembangunan dunia rekaan yang terdapat dalam puisi-puisi
Arif, dengan tingkat keberhasilannya masing-masing sebagai suatu imajinasi
untuk memasuki sebuah dunia rekaan. Begitu pun dengan imaji dan pemilihan benda
dan makhluk apa saja yang ia masukkan dalam dunianya itu. Bisa saja kita
mencoba untuk membongkar alam sadar dan bawah sadar Arif untuk melihat mengapa
benda ini dimasukkan dan benda yang lain tidak.
Tapi mari kita lanjutkan ke masalah universum, bagaimana Eskapis memandang
dunia yang kita tempati ini, yang dalam puisi “Eskapis” diistilahkan sebagai
lingkaran kesalahan dan kekesalan yang berputar.
Saya melihat pandangan Arif yang cukup memadai dalam puisi “Nenek Merajut
Nenek”. Terdiri dari tiga paragraf, yang masing-masing, bagi saya, memuat tiga
permasalahan utama dalam universum. Ada baiknya jika saya cantumkan puisi ini
secara utuh.
Ia punya awan-awan yang kami sangkal. Lantaran
tidak ada
Burung sanggup hidup mempertahankan nyanyian
di sana.
Jatuh diserang jarum-jarum rajut dan bisikan
milik maut yang
Bangkit di hari ia pernah berjanji kepadamu
menceritakan
Bagaimana pahala dibuat untuk memperalat kami.
Lewat sobekan kecil di gaun panjangnya yang
hitam kami
Melihat masa depan anak-anak kami menjulang
di atas
Jembatan plastik yang mudah dipermainkan. Dipindah dari
Bahu kiri ke bahu kanan, atau sebaliknya.
Kami merasa sudah ratusan tahun menjadi
penduduk sebuah
Dusun terjepit di sela jari-jarinya yang gagal
mengenang
Nama siapapun. Ia masih terus merajut sembari
sesekali
Membenarkan letak kondenya seolah sedang membenarkan
Sejarah yang melenceng agar kau tak tersesat ketika ingin
Memahami kami.
Puisi ini terdiri dari tiga paragraf yang memuat masalah utama dalam
realitas kita: agama, sosial dan sejarah. Bayangkan, jika masa depan kita hanya
jembatan plastik yang mudah dipermainkan; sedangkan masa lalu, sejarah, telah
melenceng; agama, sebagai sebuah keyakinan dan pengharapan, dibuat tidak lain
untuk memperalat kita. Ketiga wilayah ini menjadi penopang dasar dalam sebuah
dunia. Jika ketiganya bermasalah, maka dunia tidak akan pernah benar-benar enak
untuk ditinggali.
Bagi Arif, permasalahan itu setidaknya ditimbulkan oleh satu masalah
mendasar dan memang terus terjadi:
Lantaran tidak ada di antara kita yang
berupaya
Saling menahan perhitungan
Agar tetap bisa dijangkau sama dengan
(“Menukar Diri”)
Akhirnya, saya tak menemukan satu
kalimat pun dalam puisi Arif yang mengindikasikan kebaikan dunia kita. Semuanya
serba bebal, penuh kekesalan dan penyesalan. Lalu apa yang harus kita lakukan
dengan semua ini? Arif menjawabnya dengan memasuki dunia rekaan dan khayalan.
Semacam Penutup
Mungkin pengantar saya sudah terlalu panjang, jadi izinkan saya untuk
mengakhiri tulisan ini dengan beberapa kesimpulan awal yang, semoga, di
kemudian hari bisa saya obrolkan dengan Arif.
Pertama, masalah sastra populer. Saya sangat menghargai Eskapis. Meski
ditulis dengan semangat eskapisme yang melahirkan sastra populer, namun Arif
dengan jenius mengambil satu tempat kosong yang didiamkan oleh sastra populer. Eskapis
berhasil membuat dunia khayalan, namun tetap memaparkan alasan ia melarikan
diri dari universum. Sepengetahuan saya, saya belum pernah membaca sastra
populer yang dengan gamblang, seperti Arif, mengutarakan alasan. Hal ini
memungkinkan puisi Arif didudukkan dalam karya sastra yang membicarakan
permasalahan dunia sekaligus memberikan jawaban alternatif atas
permasalahan-permasalahan itu.
Kedua, masalah dunia kita, realitas kita. Apakah dunia di mana kita mengada
di dalamnya benar-benar seperti yang digambarkan Arif? Ataukah hanya dramatisasi
(yang sangat umum dalam eskapisme)? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sendiri
mungkin butuh waktu beberapa tahun, membuka kembali buku-buku filsafat dan
agama, mawas diri dalam melihat kenyataan, untuk mengetahui ketiga persoalan
itu. Tapi Arif telah lebih dahulu menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar