BERLATIH MENGINGAT SEBUAH NOVEL: 1984
Oleh: Arif Fitra Kurniawan*
Bercintalah dengan liar. Sebelum
partai menghapus orgasme. Menyusur 1984 nya George Orwell memang semestinya dari situ saja. Dari
Percintaan. Julia dan Winston Smith. Simbol pemberontakan yang mewakili
keinginan terselubung penduduk Oceania
terhadap kekuasaan. Orwell cerdas dalam menampilkan bagaimana sebuah sistem
kekuasaan menerapkan dirinya. Jeli
ketika menciptakan realitas fiksi yang carut marut. London yang suramnya minta
ampun di sebuah masa depan yang melompat dari tahun penulisannya—1949. Orwell sedang menjadi Nostradamus meramalkan
apa yang akan terjadi 36 dari tahun dia menulis. Upayanya membangun
arsitektur kesuraman membuat bergidik. Jalan-jalan berlapis debu dan
cuilan-cuilan bom dan kadang organ tubuh manusia yang tak perlu dipedulikan.
Bangunan-bangunan keropos. Kedai arak yang sumpek. Flat dengan saluran air yang
mampat berbau kubis. Kesuraman dalam sebuah imajinasi futuristik. Teleskrin.
Polisi pikiran. Benteng apung. Gedung partai berbentuk piramida baja. Ya, Julia
dan Winston diciptakan untuk menggerakkan semua elemen-elemen tersebut.
Percintaan memudahkan pembaca dalam
menerima 1984. Meski, seandainya Winston dibiarkan sendirian untuk membawa
novel ini sampai akhirpun, plot masih tetap akan kuat beberapa pembaca.
Tapi percayalah, cara Julia dan Smith
dalam bercinta akan kita ingat .
Bagaimana Winston merasa dekat dengan maut ketika membaca sobekan kertas
bertulis “I Love You” dari Julia,
bagaimana Julia dengan ketangkasan seorang perempuan menunjukkan peta aman di
balik pohon patah untuk bertemu Winston, bagaimana mereka menyembunyikan
perasaan mereka di hadapan teleskrin
juga pembuatan kode-kode agar percintaan mereka berumur lebih panjang.
Saya kadang sering merasa putus asa, jika
berhadapan dengan sebuah bacaan, belum lagi ditambah berkumpul dengan teman-teman,
menyerahkan diri ditodong dengan bedil pertanyaan; menurutmu novel ini bagaimana, atau
apa yang membuat kuat dan dikenang orang-orang dari novel yang kemarin kita itu?. Rasanya meski semakin banyak membaca, daya analitik saya tak
pernah kemana-mana. Ajeg dan lengket dalam lingkaran kebebalan—novelnya bagus, atau karakter tokohnya kuat, atau ending-nya mengejutkan. Bah!
Berpijak dari rasa putus asa, saya
jadi mudah gumunan, terhadap orang lain sesama pembaca, yang bisa mengungkapkan
panjang lebar dan mempunyai daya
intelektual untuk menghubung-hubungkan sebuah bacaan dengan pemikiran ini,
teori itu, wacana anu. Tapi baiklah, sebaiknya saya hibur diri saya sendiri
dengan apa yang dipikirkan Winston Smith
dalam 1984, dalam situasi tertentu, kebodohan sama pentingnya dengan kecerdasan; sama-sama sulit dicapai—
Mungkin fase saya baru sampai
tataran ‘fase berterima kasih’ kepada bacaan-bacaan bagus. Termasuk kepada 1984. Ada beberapa hal yang
saya dapatkan yang menyeret keinginan
untuk berterima kasih tersebut. Pangetahuan dan rasa penasaran.
- Saya jadi tahu, dan mulai keranjingan untuk mencari bacaan yang direkomendasikan sebagai karya-karya dystopian novel. Fahreinheit 451 milik Ray Bradburry, Lord of The Flies nya William Golding, Brave New World nya Aldous Huxley, dan berpuluh-puluh novel lain yang membuat saya jadi ingin terus berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar dikaruniai umur panjang, jangan mati dulu sebelum membaca novel-novel bagus itu. Tentu, saya jadi penasaran ingin membandingkan penulis-penulis tersebut dengan kepiawaian mereka dalam mengolah lanskap distopia. Sebuah dunia yang menurut tokoh O’Brien, di halaman 330, adalah kebalikan dari utopia hedonistik yang tolol. Dunia yang menurutnya penuh rasa takut dan pengkhianatan dan penyiksaan. Dunia yang cuma berisi rasa takut, marah, jaya, dan penistaan diri sendiri. Jika ingin membayangkan masa depan, bayangkanlah sepatu boot menginjak-injak wajah tiap orang.
- Meski masih pincang seperti ayam petarung yang terus kalah di arena adu, 1984, atau bacaan bagus yang lain, membuat saya ingin ke arah kalah yang lebih bermartabat. Saya baca ulang 1984 lagi. Dan hasilnya, saya kian terpuruk. Ternyata saya terlambat jauh sekali, bersinggungan dengan pengetahuan pemikiran-pemikiran semacam pembagian kelas Karl Marx, Kuasa simbol-simbol dari Pierre Bourdieu, pemikiran sistem kenegaraan dari Machievelli. Orwell benar-benar meninju saya. Ya, saya jadi tahu, bagaimana saya bisa membuat sebuah analisis (sebodoh-bodahnya analisis) jika sama sekali tak memiliki referensi sebagai topangan alat ucap saya. Bagaimana,misal, saya ingin berkata, karya-karya Orwell kuat dalam cerita tapi begitu lapuk jika dijadikan propaganda, atau kebalikan dari kalimat tersebut, jika saya tak pernah mengerti apa borjuis, itu sosialisme, apa itu totalitarian, bagaimana perang ideologi liberal dan komunis berlarut-larut. Tentu, saya sendiri akan begitu terkejut ketika saya dengan naif mengoceh tanpa dosa; Orwell sedang membuat kritikan untuk komunisme dalam 1984, dan sedang membuat kritik terhadap kapitalisme sekaligus sosialisme dalam Animal Farm. Weleh.
- Pastinya, banyak sekali yang belum saya baca, tapi sejauh ini, bacaan yang dikenang, selalu berurusan dengan kemanusiaan, atau pelurusan—pembengkokkan tafsir di area tersebut. Sebelum ini, tidak terlalu lama sebelum membaca Orwell, saya sempat membaca The God of Small Thing milik Arundhati Roy, buku yang sempat mendapatkan Man Booker Prize tahun 1997 yang mengisahkan bagaimana pertarungan kepentingan partai Naxalite dengan kaum Harijan, the untouchabel, dalam lanskap kesuraman India. Ini membuat saya berkeyakinan (untuk sementara, sebab kita tahu, keyakinan itu labil), tak ada yang lebih benar diantara liberalisme dan komunisme. Cuma ada rakyat, little people, yang akan terus menjadi sasaran kekerasan dari sebuah kekuasaan. Apa saja akan dibuat untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Tidak boleh ada keyakinan individu, yang ada cuma keyakinan kolektif. Keyakinan penguasa yang mutlak dan dipegang sebagai konvensi kebenaran.
Kembali ke plot 1984, saya
trenyuh ketika Winston dalam tahanan Kementrian Cinta Kasih, dan sampai pada nadir
penyiksaan dihadapkan pada tikus got, sesuatu yang paling ia takuti. Bahkan
kepercayaannya kepada cinta dan Julia pun raib. Tidak ada yang mesti
diberontak. Tiap orang memang akan
mencintai Bung Besar dengan tulus pada akhirnya. Tanpa kemenduaan terhadap
obyek selainNYA. Sebab; BUNG BESAR MENGAWASI SAUDARA.
(Semarang, 30 September 2014)
*Ditulis untuk kepentingan Kelab
Buku#4, yang diacarakan pada hari kamis, 2 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar