UPAYA MEMBACA GEMBALA TIDUR LEWAT PINTU BELAKANG



UPAYA MEMBACA GEMBALA TIDUR LEWAT PINTU BELAKANG
oleh Arif Fitra Kurniawan*


Shohifur Ridho Illahi (dalam  catatan berjudul “Maaf Apakah Gembala Tidur masih tidur”) merasa terganggu dengan Surat Upaya yang ditulis Kekal di halaman awal buku puisinya, itu dibaca oleh Ridho sebagai upaya  pendiktean kepada pembaca untuk memasuki teks serta konsepsi berani--tidak berani atas  kemunculan puisi-puisi di dalamnya.  Berpijak pada  keyakinan atas variasi subyektivitas pembacaan, saya  merasa berbeda pendapat dengan anggapan Ridho. hemat saya, berani atau tidak beraninya teks tidak ada kaitannya dengan upaya-upaya penyair  dengan mengungah  lampiran bagaimana berproses. Sangkaan saya, jika seseorang terganggu dengan sebuah pembacaan lantaran kata pengantar/ prolog/epilog, semata-mata karena strategi pembaca saja yang kemudian mengehendaki untuk diganggu. Saya bisa jadi juga merasa jauh lebih terganggu dengan pembacaan tulisan Ridho, jauh lebih terganggu dari Ridho yang merasa terganggu dengan adanya Surat Upaya. Lantaran Ridho sudah menulis begitu banyak, urutan dari puisi satu ke puisi lain, mengelompokkan, membetotnya, memberikan anasir-anasir pemaknaan., mencarikan tarikan-tarikan interstektual dsb. Menjadikan pikiran saya terpojok dan tidak disisakan ruang untuk menulis lagi. Mungkin bisa saja nanti pada akhirnya  saya akan menulis tentang apakah ada hubungan dan semiotik yang bisa diambil antara puisi-puisi kekal dengan gambar-gambar Dwi S Wibowo  yang mengisi ilustrasi di dalamnya? Atau Menuliskan, Bagaimana strategi  penyair memasarkan buku puisinya dalam sebuah kegamangan retoris sebagai insan yang salik? Atau membuat rekaan fenomonologis tentang hubungan penyair yang memangkas rambut dari gondrong ke cepak.  Pengarang memang pantang membuat interpretasi, namun ia diperkenankan mengisahkan mengapa dan bagaimana ia menulis. Umberto Eco menulis dalam Catatan Terakhir--nya untuk novel   Ill nome della rose, karyanya sendiri. Berisi tentang apa saja yang  ia butuhkan untuk menyusun novelnya.  Sebelumnya  di jauh waktu hal  semacam ini juga dilakukan oleh Poe, dalam  Philosohpy of Composition, dimana Poe sengaja menaruh duduk perkara bagaimana dia menciptakan sajaknya  The Raven. Poe  menerangkan secara detil metodologi pembuatan, berisi rumus-rumus estetik yang paling mendasar serta mengunggah pengakuan bahwa ia adalah seorang  insinyur Sastra yang ahli dalam memanipulasi kejiwaan orang lain. Dalam tradisi  buku kumpulan puisi Indonesia mutakhir, hal semacam ini bisa kita lacak  di Antologi-antologi tunggal Afrizal Malna (sejauh ini tulisan tentang dakuan menulis tersebut saya baca melalui Kalung Dari Teman, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, dan Museum Penghancur Dokumen). 

kini aku adalah engkau
yang jatuh dari akar
bintang padam

(Tangan Icarus, halaman 39)

Akhirnya, demi variasi pembacaan, lewat belakang saya membaca manuskrip Gembala Tidur milik penyair  Ahmad Kekal Hamdani ini, dan tentu saja  saya langsung berhadapan dengan Tangan Icarus (sebelum mungkin ada penggalan kata puitik  dan biodata penyair). Untuk kemudian merunutnya pelan-pelan ke depan. Judul demi Judul. Enigma; Kesaksian; Gembala Tidur;  Perbatasan Diri.  Hingga Akhirnya sampai pada Tanah Bangsalan. Teks-teks kekal memberi tawaran kondisi simalakama menghadapi sengkarut, antara yang arkaik  ketika digerus tanpa ampun oleh penghancuran demi penghancuran peradaban. Puisi-puisi Kekal memposisikan diri diantara khaos yang tak bisa dielakkan:  lanskap  distopia.  Dan dimana ada kondisi distopia, sekonyong-konyong  kita akan diperosokkan ke  dalam wacana melarat-larat  segitiga :  Distopia—Apokaliptik—Utopia. Saya jadi teringat Orwell, lewat  tokohnya Winston  Smith yang sudah tak bisa lagi membedakan mana masa sekarang, mana masa lampau, mana masa depan. Sistematis waktu selalu menjadi tragedi bagi ingatan tiap orang. Bahkan ambisi  Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past—itupun ambrol.  Ambisi neurotik Icaruspun tak bisa dibengkokkan menjadi “langit yang lain”.  Tidak Ada Kebebasan. Kebebasan mati. Sementara kematian menjadi rutinitas yang banal. Dalam pembacaan saya,  dari  proses  keruntuhan mengerikan semacam itulah puisi-puisi Kekal  bergerak.  Kuplet-kuplet keputus asaanya menarik kita ke jaman Barok, dimana Shakespeare menulis: Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi—lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang.  Pesimisme memang menarik untuk puisi, sekaligus menekan  kita  sebagai pembaca  agar   pasrah  melepaskan pamrih-pamrih kita terhadap  realitas teks; yang datar, buram, dan permukaannya membosankan.  
Ini kenapa pembaca seperti saya mesti terjun dan menyelam lebih ke dalam. Teks-teks puisi Kekal menyembunyikan keasyikan  puitiknya  di palung dan di jantung (Jantung airmata, jantung dongeng)—meminjam kata yang acap digunakan Kekal sebagai metafor. Kelahiran. Kematian. kekuasaan. Perlawanan.  Kesedihan. Anasir-anasir tersebut  berada di antara metonimi tradisional.  Adjektiva yang dialihkan. Maka Tuhan menjelma pohon, maka Kata menjelma gembala tidur,  Waktu adalah lautan tanpa batas. Kekal  memilih menggunakan citraan-citraan yang bagi rumah tangga teks nya dijadikan benteng dari ancaman diksi-diksi Urban. Negasi terhadap rusaknya kenyataan ia lawan dengan keteguhan  membangun ilusinya sendiri. Saya mencatat. Cuma ada kata “Kota” lama-- (dalam Puisi ‘Dalam Lengang Bulan’), yang tak bisa dihindari untuk muncul di rumah tangga teks nya, itupun sekadar menghormati latar penciptaan puisi, saya pikir.

Dalam pengantarnya untuk Buku kumpulan  puisi   “Tak ada Luka Yang Lebih Sederhana” anggitan M Fauzi, Kekal menuliskan secara rinci bagaimana Ke-Madura-an sudah  sudah begitu ditusuk luar dalam oleh para penyair. Kekal  paham sengkarut dan percobaan-percobaan  dialektika teks yang dilakukan oleh penyair-penyair seperti  D  Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman  yang mengusung Madura dalam  lajur  keromantisan, sementara generasi seperti Timur Budi Raja, M Faizi, Harkoni,  menyerahkan Madura dalam  bocoran dan robekan budaya. Yang  arkhaik  digerus  serangan membabi buta posmodernisme. Kekal juga melek,  rezim yang sudah dan akan diciptakan tangan Afrizal dalam 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Dia membaca dengan hati-hati untuk kemudian, memutuskan dengan kondisi compang-camping untuk tetap  berjaga di padang-padangnya,di ladang-ladangnya, di pantai dan dahan pohon-pohon kelapanya.Biarlah Posmodern berlalu lalang memikul kekejian melewati  kenangan, pucuk-pucuk bunga dan waktu istirahnya. Teks-teksnya pada akhirnya mengutip apapun dari masa lampau  yang bisa diambil untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa masa lalu tidak bisa dihancurkan.
aku kan’an yang tak
percaya. kebenaran datang
dari  ayah dan tuhan
sebab di mulut maut yang sejuk
kutemukan wahyuku
berdekap tatap
dengan wajahKu
sendiri

(Kesaksian, halaman 34)

Sebab dalam teks-teks Gembala Tidur, Kekal seperti   yakin, sebagaimana Eco, bahwa  posmodern, akan datang dan menjawab kepada yang modern (jika ada yang bertanya),  dengan sikap mengakui:  bahwa  masa lalu, karena tidak bisa benar-benar dihancurkan, harus dikunjungi kembali, tetapi dengan ironi; dengan sikap tidak bersalah.

--Esai ini ditulis untuk kepentingan diskusi NgoPi#15 edisi menggunjingkan Kesalikan ‘Gembala Tidur” milik Ahmad Kekal Hamdhani yang dilaksanakan Sabtu, 5 Juli 2014. Di jalan Stonen 29 Semarang.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Cakep!

Namun masih agak susah dipahami oleh awam sepertiku..
---------------------
Sangkaan saya, jika seseorang terganggu dengan sebuah pembacaan lantaran kata pengantar/ prolog/epilog, semata-mata karena strategi pembaca saja yang kemudian mengehendaki untuk diganggu.
Oke!