PADA SEBENTANG JALAN (Puisi Amal Bayu Ramdhana)



: untuk Arif Fitra Kurniawan

/1/
Tiba di sini yang kudapati malah senyap gerbang.
Dan orang dan satpam mungkin memang durhaka
telah mengganti kokok ayam dengan bunyi bel kuningan.
Kucari-cari coretanmu di pintu gudang penyimpanan.  
Siapa tahu kau pernah mengguratkan semacam tanggal;
menyepi-diri kalau sedang menghalau denyut cita-citamu
untuk membeli sepotong topi pada waktu gajian nanti.
Cita-cita nan tentunya harus kautukar dulu dengan
belasan kali bergonta-ganti shift kerja malam.

Satpam hanya gusar, Anak muda jangan banyak longgar,
supaya kau tidak sempat sedih sehabis dibuai berita.
Ia sama sekali tak pernah mendengar nama pun hari baikmu.
Sama sekali tidak suka mengenang-ngenang orang
atau slogan yang dipampang di jendela bis jemputan.
Aku merasa salah soundtrack salah kostum salah baca pesan.



/2/
Orang bilang di jalur-jalur pabrik nasib nyata diduakan.
Kau bisa masuk berdamai kepada mesin-mesin tebal,
atau mengenyam peruntungan sekenanya di luar pagar.
Dan pasti, siang adalah tuan lain nan siap menitahmu.
Kau hanya boleh meneduhkan dirimu sekejap di pasar malam;  
mengundi beberapa butir mimpi, sekelebat menyebut hari,
lalu cepat menyusun dan mewas-waskan siasat baru lagi.

Aku menjengkali trotoar dan menerima bau limbah;
tetapi tidak ada cemar udara lantaran kata-kata cinta.
Mungkinkah apa pun harus rapi dibungkus dan digetarkan
di sinyal di nada dering di inbox yang diam-diam.
Kau kubayangkan flamboyan dengan topi idamanmu.
Menenteng beberapa kotak kata — terserah dari mana.
Kukenang kau tatkala girang sehabis mengkhatamkan satu
resep masakan nan suatu saat akan kausuguhkan pula
kepada perempuan secerah cangkang rajungan.
Di sini aku utuh mengukurmu sebagai kawan.
Niscaya malam akan mencapit dalam-dalam.


/3/
Aku sendiri cuma mampu mampir di warung pinggiran.
Mungkin kau sepakat, tidak ada puisi manis bisa dipesan.
Tetapi dulu pulalah kausebut tempat ini di dalam baris-baris awal  
kisahmu; ada senja, ayah baru dan ibu muda, juga puber pertama.
Kadang kauceritakan pacarmu sebagai manisan, kecap ikan,
telur dadar, atau segala hal yang mestinya mengalihkanmu
dari bayangan di muka sungai dekat gardu bekas rezim dulu.
Kaubilang juga kota ini telah mengacak dadamu sembarangan.

Kaucomot namamu dari sisa air seduhan mie instan.
Penyair berbibir sirsak yang pernah mengkhayalkan
kemalangan Adam; kemalangan nan ditutup kesepian.
Aku selalu tidak percaya air sungai meski ikan-ikan
boleh saja mencuri dengar larik-larikmu: pilu lalu.
Lagi pula dulu kau telah mengenalku demikian.  
Sebagai pualam buram sebagai kisah lembab
sebagai jarak panjang sebagaimana tak selesai-selesai
kautebak hilangku: suatu ketika cacing.


/4/
Pada hari yang naas kudapati kabar tentangmu
tersangkut di tanggal merah, sebelum aku berlindung
dari bisikan dan godaan yel-yel yang terkutuk. (Amin).
Ratusan orang berjalan sibuk memamer-mamerkan
Suara rakyat, suara Tuhan berulang-ulang.
Tetapi kau tidak pernah diajarkan berteriak,
pun tidak pernah dibujuk untuk mengempiskan
gelembung-gelembung di dalam kepalamu.
Di depanku pula kau memilih pertanyaan lain.
Apa milikku? Apa milikmu? Kecuali birahi puisi.


/5/
Titip salamku untuk topimu dan persimpangan baru
yang — iyakan saja — akan kautuliskan sendiri.
Tentu kau berhak meminang balada lain
nan merekahkan jantungmu; hidup khidmat.
Aku pun sepenuhnya tahu cara mengingat.




Bekasi, 2014
Amal Bayu Ramdhana

Tidak ada komentar: