Aku mengenangmu sebagaimana kau menghuni musim rontok terakhir.
Kau topi kelabu dan masih saja menjadi jantungku.
Lewat sepasang matamu pijar petang (aram-temaram) menyala.
Dan daun-daun menjatuhkan diri ke jiwamu yang digenangi ricik air
Rengkuhan tanganku seutas tanaman merangkak yang
daun-daunnya berkeras mengumpulkan suaramu. Kedap--pelan, serta damai.
Dahaga yang terus-terusan membakar api unggun kekagumanku.
Bakung biru yang memilin-milin semesta jiwaku.
Lewat sepasang matamu pijar petang (aram-temaram) menyala.
Dan daun-daun menjatuhkan diri ke jiwamu yang digenangi ricik air
Rengkuhan tanganku seutas tanaman merangkak yang
daun-daunnya berkeras mengumpulkan suaramu. Kedap--pelan, serta damai.
Dahaga yang terus-terusan membakar api unggun kekagumanku.
Bakung biru yang memilin-milin semesta jiwaku.
Mampu kurasakan sepasang matamu melintas, dan musim rontok raib menjauh.
Topi kelabu, cicicuit seekor burung, jantung yang mirip rumah
Mendorong parah kerinduanku untuk berpindah.
Dan ciuman-ciumankupun jatuh, bahagia membiru serupa api membara.
Sebuah kapal yang menatapi langit. Tanah lapang dari sebuah bukit.
Ingatanmu ditatah dari cahaya, putih asap, dan kolam yang masih saja sama!
Lewat ceruk matamu,--yang jauh tak sanggup aku sentuh, pucuk malam menyala.
Daun kering musim rontok berhambur--berterbangan mengerubungi jiwamu.
Pablo Neruda
(*diterjemahkan secara serampangan oleh
Arif Fitra Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar