Sehabis
membungkus dengan plastik ia ucapkan terima kasih kepada marimas dan warna
merah semangka. Warung yang masih saja panas dan meleleh ketika jadi puisi.
Mamakku sanggup memberikan ludahnya untuk tanganku, untuk kipas angin yang
berbunyi krik krik krik menjatuhkan keringatnya seolah sedang menjatuhkan
dendam.
Aku tertawa melihat foto profil temanku, R A Kartini dengan kacamata riben. Dengan konde yang stabil. Pasti jalan ke situ perih tak tertandingi. Aku buka lagi bukumu yang aku pinjam pada halaman 54, aku tutup lagi. Aku buka lagi. Seorang lelaki tua tertembak di sana dan aku tak sanggup mengulurkan tanganku.Kehidupan kami mungkin melilit bahumu. Ulet tapi tak menyakiti tapi sudahlah.
Pada jam 12 siang lebih sedikit terima kasih-terima kasih itu sengaja aku kumpulkan, dari berpuluh-puluh sachet marimas (semangka-nanas-jeruk keprok-sirsak-jeruk pontianak-buah naga-mangga manalagi-coco pandan) Aku mengira begitulah perasaanku padamu, berkedut-kedut ingin menguasai seluk beluk kandung kemihku.
(Semarang, 21 April 2014)
3 komentar:
Saya suka tulisan ini, pendek tapi padat, salam santun :)
Terima Kasih sudah menyimak dan menikmatinya mbak, tabik saya.
Terima Kasih sudah menyimak dan menikmatinya mbak, tabik saya.
Posting Komentar