BENTUK
PERLAWANAN DALAM “BLUES UNTUK BLORA”
Esai oleh: Arif Fitra
Kurniawan*
MAKA
ketika konon pada abad ke 14 seorang
Raja Louis menyerukan L’etat c’est moi,
sekonyong-konyong rakyat perancis memberikan perlawanan dengan mengobarkan vox populi, vox dei yang keduanya kemudian menjadi
aforisme dalam pelajaran menghafal sejarah
ingatan kita. Bahwa ternyata, terlepas itu berhasil atau tidak, negara
dan kekuasannya cuma bisa dilawan oleh suara Tuhan yang menyusup di ribuan
mulut dan bibir rakyat dalam cengkeraman tirani. Perlawanan-perlawanan yang pada akhirnya
berlangsung menjadi dongeng yang telah—sedang—dan akan kita dengar dari bangsa satu ke bangsa
lain, dari peradaban satu ke peradaban lain. Panca indera kita tidak akan
benar-benar bersih dari cipratan maupun guyuran tragedi semacam itu. Atau
jangan-jangan itu semua – tirani, tragedi, kekejian politik, kekuasaan--,
menjadi produk yang inheren dengan diri kita agar kita masih bisa merefleksi
diri sebagai [kesakitan] manusia?
Adalah Blues
Untuk Blora, antologi puisi tunggal
yang berisi 64 judul puisi anggitan
Yuswinardi; penyair dari Blora. Yang
akan meneruskan “dongeng” perlawanan dalam puisi-puisinya. Perlawanan
menggunakan bahasa; Puisi. Kita seperti diingatkan lagi, apa yang disebut
Oktavio Pas dalam eseinya dimana puisi menjadi suara lain. Suara yang tumbuh
dari ceruk transendensi ditengah hiruk pikuk dan ketegangan kultural. Puisi
membawa hari-hari dari masa lalu dan masa kini, sebuah kekunoan-keantikan tanpa
dibatasi penanda waktu. Tak mau berhenti mendengung. Demikian
juga apa yang ada pada Blues Untuk Blora. Beberapa diantaranya, atau nyaris sebagian besar adalah representasi dari pergulatan dengan “produk inheren” yang sudah kita singgung diatas, yang diciptakan sebagai suara lain untuk terus bergetar agar bisa kita dengar.
juga apa yang ada pada Blues Untuk Blora. Beberapa diantaranya, atau nyaris sebagian besar adalah representasi dari pergulatan dengan “produk inheren” yang sudah kita singgung diatas, yang diciptakan sebagai suara lain untuk terus bergetar agar bisa kita dengar.
Akhirnya kau
rasai juga kotornya politik. Hingga mimpimimpi
tak
berkutik. Jatuh menukik. Diantara derai hujan
rintik-rintik.
Dan matahari yang tak lagi lentik.
Tak mungkin
waktu balik! Tak mungkin! Hanya doa yang
memantik-mantik.
Gedor itu Khalik. Gedor! Biar
segalanya
membaik.
..... .....
[Politik, hal: 2]
Kukirim cinta;
pada percik hujan yang habis bekerja di lembar
daun dan; di lapang atap
dalam sepi; cintaku menjelma luka; yang
menguliti resahmu;
pada bercak cahaya di jendela; ku sempatkan
hangatnya kangen;
samarnya yang lewat di kerling matamu; kau
tangkap;
kau jejalkan dalam-dalam di batinmu;
sembari gemeretak; kau berbisik;
“jika cinta mengirim tanda; hanya ada dua;
merenggutnya lekat-lekat; atau melepaskannya”
dan kita di tempeleng cinta sampai tua.
[Bahasa Sedang Kehilangan Ironi dan Negara Kehilangan
Cinta]
...
Tiga biji
coklat.
Bukan tiga
juta sayang.
Bukan tiga
milyar sayang.
Bukan tiga
trilyun sayang.
Bukan!
Hanya tiga
biji coklat.
Minah tua
seperti makan buah khuldi.
terusir dari
surga terjanji.
Negeri yang
tak pernah terpahami.
Keadilan
yang perlahan mati.
Mati! Mati!
Bunuhdiri!
[Blues untuk
Minah; hal 29]
Beberapa puisi diatas sekedar mewakili Blues untuk Blora. Tentu di sini kita tidak
bisa secara detail menelisik mengorek kata sampai ke tulangnya satu
demi satu puisi Yuswinardi, namun dari apa yang disuguhkan teks puisinya kita
akan membenarkan sekaligus menambahkan nantinya, apa yang dicantumkan penyair
di halaman muka buku puisinya; perihal puisi, cinta, dan negara. Bahwa bahasa
dipergunakan sebagai alat rekam jejak merangkum
pergulatan-pergulatan diantara
ruangan imajinasi dan lanskap mimetik dari kenyataan yang faktual. Terserah kita
akan membuat kerangka-kerangka fragmentaris darimana terlebih dahulu, kemudian
menambahkan skema dari Cinta—puisi—dan
Tuhan ini.
Yang bisa segera kita runut adalah nyaris keseluruhan puisi-puisi
Blues untuk Blora dipenuhi dengan
kekerasan bahasa. Stilistika yang dipersenjatai
untuk mengemas satire, ironi dan paradok--yang menurut Maman S. Mahayana ketika membaca Sapardi, maksudnya begini tapi artinya begitu. Itu bisa dilacak dari berhamburannya
benda-benda tajam semacam pisau, klewang, bedil, parang, paku, palu, yang
kemudian digunakan sebagai piranti-piranti untuk menciptakan kata kerja yang sarkas; menghunus, menembak,
menusuk, menyobek, meledakkan. Selain
bermunculannya juga kata-kata yang membentuk citraan perangkat genital; kutang,
celana dalam, lingerie, selangkangan.
Bahasa tampil sebagai tangan dan aktivitas yang agresif. Dan juga menyeret kita bertanya, jangan-jangan
dalam kedhaifannya, puisi-puisi Yuswinardi sebenarnya juga menyusun tangan
kekuasaan. Upaya untuk mempertahankan diri dari keapatisan terhadap kenyataan,
yang menurutnya tidak pernah ideal. Bahwa yang tidak sesuai mesti di re(de)konstruksi
dengan cara kekerasan, penghancuran terlebih dahulu demi bangunan dunia yang
utopis. Dunia ideal berisi pohon-pohon rindang, sawah-sawah sehat
dengan aliran irigasi yang mecukupi, cinta yang luber kemana-kemana dari tiap
individu manusia, kondisi kultural yang berjalan dalam keseimbangan. Rentang
waktu dari tahun 2004 sampai 2012 barangkali cukup membuat muntah bagi penyair
untuk menikmati carut marut dan pegeseran yang dibawa peradaban.
Kesenjangan-kesenjangan yang menjadi hierarki dalam tatanan sosial.
***
Lantas kemudian yang dipilih Yuswinardi adalah sedapat mungkin
bertahan di dalamnya, dengan kondisi tarik-menarik dan babak belur dihantam konflik-konflik individu dan konflik
kolektif yang dicengkeramkan oleh
kenyataan di sekitarnya. Bahkan dalam beberapa puisinya, terihat situasi yang
darurat, ketika penyair merasa apatis pada apa yang, sejauh ini diyakininya.
Kondisi apatis terhadap bahasa, kepada puisi. Ini dapat dilihat dalam sederet judul-judul puisinya. Yang
meletakkan penyair dalam kondisi yang ambivalen. Di satu sisi merasa puisi
adalah sesuatu yang diyakininya, di lain pihak ia mesti mengumpat sendiri
keyakinannya tersebut. Puisi sekedar
bahasa yang remeh-temeh. Dusta. Di lain sisi puisi tetap ditulis, pada akhirnya.
Tak ada yang
lebih buruk dari kata-kata penyair.
Dalam tiap
puisi ia lupa kemana segala mula mesti
berakhir.
Dalam tiap tanda ia lupa kemana waktu
mesti
diarsir. Pun dengan dzikir ia pura-pura
berdesir
seperti coba merangkup air dengan pasir.
Aih,
segalanya coba dibuat cair dengan meramu
kata-kata
yang entah cinta atau dusta. Bahkan
kadang-kadang
ia coba mengkhianati dunia dengan
igauannya
yang sengau dan risau. Dunia yang
seringkali
dibikin dengan tergesa-gesa dan
membikinnya
gila. Tak adakah yang lebih sederhana
dari
kata-kata penyair? Tak adakah yang lebih mulia
dari sekedar
kata-kata penuh sindir? Mungkin lebih
baik ia
menghabiskan bir bercangkir-cangkir
daripada
membikin perawan kehilangan pikir. Ya,
lebih baik
ia minum kopi secangkir dan
mengkhawatirkan
hidupnya yang serapuh kulit
bergelambir.
Kulit takdir.
[Tak ada yang lebih buruk
dari kata-kata
Penyair: hal: 54]
Nak, aku
harap kamu jadi koruptor. Buang jauhjauh
mimpimu jadi
diktator, profesor, doktor,
supervisor,
organisator, mandor apalagi tukang
kompor.
Setidak-tidaknya jika kamu jadi koruptor
kamu bisa
kaya dan sering muncul dilayar kaca dan
berita-berita.
Tak usah capek-capek kamu ikutan
idol-idol
tolol atau realiti show dobol. Ya, sekarang
ikutilah
partai-partai kotor dan selebor. Aminilah
segala
kebijakan-kebijakan yang membikin karir
politikmu
secepat senapan memuntahkan pelor.
Dor! Dor!
Dor! Kalau perlu bercelotehlah yang
kontroversial
biar jadi pusat perhatian mediamedia
yang suka
berita gombal mengoyor-oyor.
Tak mengapa
nak asal kamu jadi koruptor. Jangan
takut menjilat
sebab itu salah satu alat. Jangan
takut
mengorbankan sejawat sebab itu salah satu
siasat. Yang
penting incar tinggi-tinggi semua
tempat yang
bisa kamu jabat. Sikat! Sikat! Jangan
ragu-ragu
nak kamu jadi koruptor. Kamu mesti
total jadi
koruptor, jangan setengah-setengah
apalagi
menyerah. Sebab hidup ini cuma sekali nak
maka tak
mengapa jika kamu korupsi. Jangan takut
dosa sebab
toh semuanya bahkan nabi sekalipun
juga
sama-sama dihisab nantinya. Ayo nak, jadilah
koruptor
yang tersohor. Jangan takut pengadilan.
Jangan takut
hukuman. Jangan takut pandangan
orang.
[ Dor! Dor! Dor!, hal;56]
Terlihat dalam puisi-puisinya, manakala puisi
dipandang sebagai manifestasi diri, penyair tidak bisa menafikan kondisi solitudnya,
takdir penyair yang melulu sepi, dunia yang sulit dijangkau selain diri
sendiri. Maka dalam pola bahasanya sendiri, benda-benda tajam itu mesti saling
menyusup diantara imajeri kesepian. Penyair seolah tidak berhasil meloloskan
diri dari diksi-diksi sunyi, kelam,
muram, sendiri, malam,
Menambahi catatan, dalam Blues Untuk Blora, hal-hal
paling individual semacam cintapun(meski dalam puisi, ini bisa menjadi bentuk interpretasi yang
universal) ikut teraniaya, namun Yuswinardi tidak mau larut dalam
kemendayu-dayuan. Cinta dan melankolia perasaan mesti dibangun dari kerangka maskulinitas. Malah
cenderung sarkas. Diksi-diksi diatur seringkas mungkin. Acap menghilangkan
konjungsi-konjungsi yang membawa puisi ke arah jebakan naratif yang
berputar-putar. Ada yang mesti kita baca juga secara semiotik, penggunaan tanda
baca titik, dan tanda baca titik koma, serbuan tanda baca itu ditempatkan untuk
membatasi frasa-frasa pendek, yang secara tidak langsung membangun relevansi
dengan efisiensi kata yang dipergunakan Yuswinardi. Meski di beberapa puisinya kentara melakukan
perpanjangan tangan Chairil Anwar dan Sapardi, ia memutuskan mengambil arah
stilistikanya sendiri. Tradisi puisi lama cuma nampak dan bisa dilacak pada
kata-kata yang berima di akhir larik, meski kadang seperti sebuah upaya
penjejalan-penumpukan bunyi agar seragam belaka.
***
Kerusakan
kultural yang terjadi sangat cepat menimbulkan kengerian. Orang-orang jadi
semacam miniatur dari plastik ditengah budaya urban, di lain sisi, yang berbau
tradisi kita pandang sebagai benda mati yang datang dari masa lalu. Kemudian
sikap-sikap skeptik, ketidak percayaan muncul sebagai representasi itu semua. Puisi-puisi dalam Blues Untuk Blora juga berpijak diantara tradisi yang tergilas.
Cengkeraman politik—negara yang menjengahkan. Puisi-puisi yang sumuk dan
selanjutnya memilih bertelanjang dada, mengacung-ngacungkan telunjuk. Telunjuk
yang mengarah ke hegemoni budaya, Tuhan, ke pemerintahan, cinta, dan...
telunjuk yang diarahkan kepada diri sendiri.
Kebencian
dalam puisi-puisi Blues Untuk Blora
merekam dirinya dengan kata-kata yang lugas. Yuswinardi meminimkan metafora-metafora, kalaupun ada, sekedar metafora yang sudah “uzur” dalam
khasanah perpuisian dewasa ini, semisal tajam
sepi, sarang hari, palu sembilu, puisi-puisinya berhemat
untuk itu. Personifikasi yang dibangun juga memperhitungkan efisiensi kata. Kata semacam siasat perlawanan yang mesti
digunakan untuk sesegera mungkin ditembakkan ke sasaran. Hampir secara tematik,
Blues Untuk Blora terasa begitu linear, dalam artian, kita selama ini dihantui
oleh pelbagai kejadian yang sama. Tak ada tema yang belum mengenai teks puisi.
Religiusitas, humanitas, tradisi- modernisai, mitologi, waktu, desakan
kehidupan urban. Cuma cara bertutur dan kontemplasi-kontemplasi yang nantinya
diterima pembaca sebagai sebuah ciri khas sitilistika yang akan membentuk
pilahan-pilahan secara alami. Hal ini bisa dilihat ketika Yuswinardi menyuarakan
kesumpekannya kepada produk-produk
kapitalisme serta negara barat yang acap mencederai nilai-nilai humanisme
universal. Yuswinardi menyeru demikian;
Lepas sangkar. Bibir revlon bergetar. Ada maut
tawar. Nenggak wine sekerat caviar. Cinta sungguh
lapar. Selalu kasar waktu membusar. Merusak sepi
pasar dan denting gitar. Kau! Hidup yang tak butuh
doa. Tapi bikini lebih dari cinta. Memuncak mulia
zikir nokia. Alangkah seksi tuhan ini. Jelmakan nabi
dalam cola. Lebih bahagia dari tangis gaza.
Sucikanmu papa. Dalam merdeka yang tak kenal
warna. Selamanya...
[Amerika
mencipta cocacola dan memimpi
jadi tuhan dengan bikini
merah muda, hal:48]
...
Lalu aku bercermin pada
kaca jendela yang sepi;
Bertanya; mengapa pohon
dan burung-burung
cepat binasa; Padahal
dalam konser tadi malam;
Masih sempat ku eja
percakapan daun dan hujan;
Tentang orang-orang yang
terusir; dan kekuasaan
yang menyihir;
[Blues Jakarta, Hal; 38]
Tema-tema urban juga ditapis sampai serbuk oleh penyair lain di negeri ini.
Bukan bertendensi apa-apa, sebagai upaya melihat saja bagaimana penafsiran dan
sarana puitik menciptakan distingsi pada bahasa yang digunakan tiap penyair, mari
kita lihat satu-- dua puisi yang pernah ditulis Afrizal Malna pada era 80 sampai 90 an, demikian;
Tetapi
seorang lelaki adalah kisah lain, Holger, yang meletakkan dirinya dalam sepi
lampu-lampu 5 watt. Dan membuat bisik-bisik, dalam bahasa Jerman yang beku.
Lalu dari apartemen ini kita tahu, Holger, di luar orang berlalu,
berlalu...meletakkan bangsanya, tanpa membanting ember: kita hanya mengenang
manusia, dari kota-kota, yang ditata kaleng-kaleng coca-cola.
[Antropologi
dari kaleng coca-cola—afrizal malna, 1993]
Dengan bis yang asing, kami
tinggalkan rumah-rumah tak berlistrik. Berangkat ke
negeri-negeri baru, tumbuh di sepanjang
jalan. Senja tertahan pada pendaran lampu-lampu neon. Orang
hanya tinggal bayang-bayang berkelebat. Begitu saja anak—isteri kami berdandan
baju merah biru. Kami putar impian-impian Amerika. Seperti mahkluk-mahkluk yang
setiap saat sibuk mengubah diri.
[Bis membawa Mereka Pergi—Afrizal malna,1985]
Ini membuktikan,
tiap penyair akan melihat sesuatu dimana dia lahir dan berkembang, melihat
tidak hanya sekedar melihat tapi melihat secara kritis, menyelusupkan sesuatu yang unik terhadap kejadian dan
lanskap persoalan yang bersamaan datang kepada kita. Mengarahkan kita untuk
mengambil keputusan akan meletakkan diri sebagai apa dalam bentangan waktu.
***
waktu
adalah ketika kita berjalan; kemudian
berhenti;
dan
tiba-tiba kita menyesal; mengapa kita tidak
berlari
saja;
untuk mengejar
semuanya
(waktu, hal :19)
Begitulah.
Semoga Blues Untuk Blora, benar-benar membawakan kita semangat Blues.
Sebagaimana kita tahu Blues yang konon “ the root of the music” -- akar, sementara
jenis musik lain semata adalah buah-buahan, adalah tipikal musik yang bernada
menyeret-nyeret yang secara historis berabad-abad lalu dikultuskan oleh para buruh kulit hitam di
Amerika sebagai analog perlawanan terhadap banyaknya ketidak adilan, dan sekarang perlawanan itu hadir dalam
puisi-puisi Blues Untuk Blora. Menyesallah bagi yang ingin menyesal,
berhentilah bagi yang ingin berhenti, berjalanlah bagi yang ingin berjalan. Dan
ujar Yuswinardi dalam puisinya: tak
mungkin waktu balik [!].
Semarang, April 2013
* Arif Fitra Kurniawan,
bergiat serius di komunitas Lacikata. (Tulisan ini dibuat untuk kepentingan
acara diskusi puisi-puisi Blues untuk Blora karya Yuswinardi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar