kaset

K a s e t.

Side A


Lagu-lagu ini masih saja sering kau tanyakan, apakah terdapat sebait jerit dari suaraku yang mengertas di jalan yang sempat lepuh oleh peluh , lolong akhirnya panjang menggapai terowongan dari punggungmu yang terus membela diri. Di atas lancip gerigi, pita memutar gulungannya, sementara ingatan akan hujan yang curah ke lengan gaun pestamu benar benar telah menyebabkan nada menderu. kau tahu, tanpa basah, aku tak mungkin kuasa menjadi lidah. Semuanya kembali bergerak melewati erang pahit, kembali melebarkan labirin-labirin yang pernah kita buat. Nostalgia raung-raung ganjil memenuhi ruang-ruang nihil, tepat dimana kepekaan milik kita menemukan titik interlude paling jujur. Memutar tiap perumpamaan, sebagaimana ingatan pernah saling mengalpakan , dimana kehadiran pernah saling bertukar buku kunjungan. Dan entah pada ketukan yang keberapa, setelah helai napasmu jatuh dari puncak lengking keramaian, kemudian engkau menuruni rongga telinga kiriku dengan getaran lemah nyaris punah, aku mendengar kau mengharap agar tubuhku menyusun kembali puncak menara plastik itu. Sayangku, Kau tahu sejak gelungan rambutmu menjadi Jonggrang, aku bersedia menjadi hitungan yang gigih mengumpulkan bilangan, hampir semalaman aku meninggalkan tubuhku, dan menyadap tetesan getah angka demi angka dari lempeng kalender, nomer rumah, daftar telepon, ukuran bra, plat kendaraan, juga dari kepala orang-orang yang bersedih merumuskan usia. Sialnya , sedemikian sulit kurunutkan angka angka tadi ke dalam bahasa suara. Aku heran, bertahun-tahun aku mendalami kemegahan bebunyi, namun rumit sekali lidahku ketika akan menggubah not-not kunci itu menjadi sebatang lagu. Dan kau, ah, terlalu dini mematahkan kentungan. Sebelum subuh itu rubuh, cuma gemerutuk dari ngilu geraham yang tersisa. Grrhhh.

Side B

Kini tiba waktumu membalik bagian yang telah sering kau dengarkan, kau putarkan. Meski tak semudah mencabut gemetar dari telapak tangan, sungguh karena aku tahu, di gurat-gurat keriput itulah engkau pernah ditakdirkan, menyebuti namaku setinggi tiang bendera, seranum merah yang menyusup diantara warna lentera. Satu saja yang mungkin luput dari perkiraan, sebetapa engkau ingin bernyanyi sendiri kau selalu akan merasa berdampingan dengan nada temaram yang menjadi latar, alangkah karibnya kalian bertatap muka dengan cermin yang enggan ditinggalkan bayang-bayang.. Kau terlalu sendiri untuk bisa menjadi nada, dan aku begitu sepi untuk menjadi pengukur ragu. Di lidahmu yang pangkal, mungkin aku adalah akar dari segala jenis pohon yang dikutuk kematian. aku seringkali membayangkan di bagian yang terbalik ini akan menemukan lagu-lagu itu menua dan rapuh, lagu-lagu itu akan menjadi buta sekaligus tuli. Hingga semua lagu di bagian ini tak perlu menyaksikanmu, mendengarkanmu, mencari-carikan aku sebuah cekung interval yang tepat untuk menampung sebait jerit. Sayangku, aku ingin punggung punggung kita kembali menjumlah kembara, mungkin dengan seperti itu kau akan jauh lebih merdeka. Selain mengajar kebijaksanaan dalam merawat rasa bosan, engkau paham kan, betapa kesepuluh lagu ini tak akan pernah mau mengantar kita ke mana-mana, ke siapa-siapa, ke irama musik lain belaka, Dan bunyi krak yang kau dengar jika sempat, akan menjadi bunyi terakhir yang akan kau dapati dari kesepuluh nyinyir itu,ketika pita tipis henti tepat di penghujung gerigi. selebihnya adalah airmata yang menjelma suara enggan henti mengalir terus-terusan menuju telaga. semoga bukan milikmu.

Bonus track.


Kaset ini kini akan kutaruh dimana.

Di depanmu,

Atau di belakangmu ?


Tidak ada komentar: