Sebelum Babad Tanah Jawa (Koran Tempo, edisi Agustus-September 2016*)


Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom

Cetakan:  I, 2016

Penerbit: Banana

Jumlah halaman: 448 halaman

ISBN: 978-979-1079-52-5



                Apa kiranya yang mampu menyeret para pencinta buku untuk menandaskan stok ekslempar yang ada di gudang percetakan, meski penerbitnya bukanlah penerbit besar yang tentunya  jauh dari upaya pemasaran ngoyoworo dan ugal-ugalan? Tentu salah satu dari beberapa kemungkinan masuk akalnya adalah bahwa buku tersebut bagus. Dan buku bagus memiliki pelita jisimnya sendiri. Ia tak perlu koar-koar untuk menyuarakan kepada semesta alam bahwa keberadaannya berfaedah. Buku tersebut cuma perlu dibaca oleh satu orang, dan orang itu akan melipir ke tetangganya guna menyerukan bahwa hidupnya jadi lebih berbahagia ketimbang para pemenang lotere semenjak membaca buku tersebut. Lantas dengan rumus  perkalian kabar baik—bahwa kabar baik punya potensi menyebar paling sedikit kepada tujuh orang, tetangga-tetangga tersebut akan gatal pula untuk mengabarkan kebahagian mereka. Dan begitulah takdir nantinya akan terus mengantarkan Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi (Banana, 2016), sebuah dongeng yang ditulis oleh Yusi Avianto Pareanom ini kepada pembaca-pembacanya.

                Sampulnya memang pas-pasan, cuma ada laburan merah bergradasi semburat hitam dengan gambar tiga manusia kecil yang terlihat sedang berlari, yang jika kita legawa menjauhkan buku sejarak tiga puluh centi, kita akan teringat  sepetak seprei yang apes kejatuhan tiga butir tahi cicak. Di sampul belakangnya juga nir—embel-embel sanjungan dari sastrawan bangkotan. Tapi Yusi seperti yakin, apa gunanya perisai lama ‘jangan nilai buku dari sampulnya’, jika bukan untuk menghalau perkara itu semua?

                Ada tiga belas bab dalam dongeng setebal 448 halaman ini. Pembaca tak perlu risau, bahkan untuk kaum pembaca yang gandrung dengan perkara-perkara nyeleneh, semisal gemar mempersulit diri dengan membaca bab-babnya dari tengah ke depan, dari belakang ke tengah, atau dari belakang lantas melompat ke depan kemudian kembali tengah. Sungguh itu tak akan mencuri sedikitpun  kenikmatan melunaskan halaman demi halaman. Buku bagus akan terus teguh menjadi buku bagus sekalipun kita berupaya membuat kadar bagusnya merosot.


                Sedikit menumpahkan  bocoran saja, dongeng Raden Mandasia  Si Pencuri Daging Sapi lebih dari sekadar estafet biografi para tokoh yang sebagian besar menghuni Pulau Padi, pulau dimana Kerajaan Gilingwesi dibangun dan membengkak menjadi kerajaan adikuasa. Yusi mampu menampilkan tiap tokohnya dengan karakter yang bagi pembaca akan melulu tergiang serta mudah dipilah-pilah ingatan; bahwa ada Watugunung sang baginda raja Gilingwesi sekaligus ayahanda Raden Mandasia yang kesaktiannya niscaya sanggup membuat  bumi bergetar; ada Nyai Manggis, pemilik rumah dadu di daerah Kelapa yang keelokannya bahkan akan membuat seluruh lelaki akan merancap cuma dengan membayangkan lutut atau mata kakinya; Ada  Wimba dan Nedzar, para nahkoda pengantar pelayaran ke tlatah barat. Belum lagi Barja, Banyak Wetan, Hoyoso, Loki Tua, Putri Tabassum, sampai kasim U dan Pangeran Awatara dari kerajaan Gerbang Agung. Ringkasnya, sia-sia kiranya jika kita mencari kemubaziran pada tokoh yang hadir sepanjang dongeng ini. Kejelian dan ketepatan menjalar juga bahkan dalam deskripsi penanda kekhasan yang melekati para tokoh. Kita akan dilimpahi rincian bagaimana tiap karakter memiliki lingkaran pengetahuan serta langgam suara yang beraneka ragam. Misal, kita akan diyakinkan bahwasanya Raden Mandasia tak sekadar pencuri daging sapi semenjana dengan menyaksikan bagaimana ia memotong-motong daging sapi dengan cara yang sungguh mengagumkan; ia paham betul bagian mana dari sapi paling cocok dimasak rendang, mana paling tepat dibikin kari, atau abon. Apakah itu bagian iga, sandung lamur, tetelan, gandik atau sancan.  Dan dari keseluruhan bagian sapi tersebut, Raden mandasia cuma akan keranjingan dengan has dalam dan has luar.  Bagian daging paling menggetarkan bagi lidah Raden Mandasia, meski cuma dibakar dan ditaburi garam dan merica. Peristiwa pembuktian kelezatan atas daging lulur ini juga bisa menjadi penanda bahwa percakapan-percakapan dalam dongeng  begitu bernas, segar, dan aktraktif. Ini terjadi di malam ketika  Raden Mandasia beserta Sungu Lembu sedang membakar sembari mengunyahi hasil curian mereka. Sungu Lembu tak sanggup untuk tidak berkomentar, “Raden, daging ini rasanya... luhur.” (hlm:22)

                Ya, meski beragam tokoh diciptakan oleh Yusi, sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada Sungu Lembu,  pakar segala racun dari Banjaran Waru yang didapuk  sebagai juru dongeng, sang pemikul narasi ini. Sungu Lembu membuat kepercayaan kita terhadap sihir dan prosesi kerasukan itu nyata adanya. Kita mengenal Bilbo Baggins, karakter hobit ciptaan J.R.R Tolkien yang merangkum petualangan-petualangan fantastisnya di Middle-Earth. Kita juga paling tidak pernah mendengar polah Ibnu Battutah, pencatat sejarah yang bersikeras bahwa apa yang ia tuliskan tentang jalan hidup mengembarai benua dan samudra selama ini adalah murni dari dirinya sendiri. Dan Sungu Lembu, adalah seonggok jasad yang mampu menampung kejeniusan dari  kedua sosok tersebut. Bahkan ketika ia berusaha meyakinkan kepada kita, bahwa keseluruhan catatan petualangannya dari Gilingwesi ke Gerbang Agung  kelak akan menjelma kitab babon yang nantinya ia bundel dengan judul anggitan: Babad Tanah Jawa.

               



Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.



* catatan: kalau tak diberitahu oleh teman Widyanuari Eko Putra, saya tak bakal tahu  resensi ini terbit di Koran Tempo. Arsipnya dia lihat ketika mengunjungi Bandung Mawardi, di Solo, dan menemukan Koran Tempo yang memuat ulasan ini. Katanya sih, terbit  kisaran di bulan-bulan Agustus-September-Oktober (2016), dia lupa :D. Apalagi saya. Beuh.

Tidak ada komentar: