Judul: Raden Mandasia Si
Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto
Pareanom
Cetakan: I, 2016
Penerbit: Banana
Jumlah halaman: 448 halaman
ISBN: 978-979-1079-52-5
Apa kiranya yang mampu menyeret para
pencinta buku untuk menandaskan stok ekslempar yang ada di gudang percetakan,
meski penerbitnya bukanlah penerbit besar yang tentunya jauh dari upaya pemasaran ngoyoworo dan ugal-ugalan? Tentu salah
satu dari beberapa kemungkinan masuk akalnya adalah bahwa buku tersebut bagus.
Dan buku bagus memiliki pelita jisimnya sendiri. Ia tak perlu koar-koar untuk
menyuarakan kepada semesta alam bahwa keberadaannya berfaedah. Buku tersebut
cuma perlu dibaca oleh satu orang, dan orang itu akan melipir ke tetangganya
guna menyerukan bahwa hidupnya jadi lebih berbahagia ketimbang para pemenang
lotere semenjak membaca buku tersebut. Lantas dengan rumus perkalian kabar baik—bahwa kabar baik punya
potensi menyebar paling sedikit kepada tujuh orang, tetangga-tetangga tersebut
akan gatal pula untuk mengabarkan kebahagian mereka. Dan begitulah takdir
nantinya akan terus mengantarkan Raden
Mandasia si Pencuri Daging Sapi (Banana, 2016), sebuah dongeng yang ditulis
oleh Yusi Avianto Pareanom ini kepada pembaca-pembacanya.
Sampulnya memang pas-pasan, cuma
ada laburan merah bergradasi semburat hitam dengan gambar tiga manusia kecil
yang terlihat sedang berlari, yang jika kita legawa menjauhkan buku sejarak
tiga puluh centi, kita akan teringat sepetak seprei yang apes kejatuhan tiga butir
tahi cicak. Di sampul belakangnya juga nir—embel-embel sanjungan dari sastrawan
bangkotan. Tapi Yusi seperti yakin, apa gunanya perisai lama ‘jangan nilai buku
dari sampulnya’, jika bukan untuk menghalau perkara itu semua?
Ada tiga belas bab dalam dongeng
setebal 448 halaman ini. Pembaca tak perlu risau, bahkan untuk kaum pembaca
yang gandrung dengan perkara-perkara nyeleneh, semisal gemar mempersulit diri
dengan membaca bab-babnya dari tengah ke depan, dari belakang ke tengah, atau
dari belakang lantas melompat ke depan kemudian kembali tengah. Sungguh itu tak
akan mencuri sedikitpun kenikmatan
melunaskan halaman demi halaman. Buku bagus akan terus teguh menjadi buku bagus
sekalipun kita berupaya membuat kadar bagusnya merosot.
Sedikit menumpahkan bocoran saja, dongeng Raden Mandasia Si Pencuri Daging
Sapi lebih dari sekadar estafet biografi para tokoh yang sebagian besar menghuni
Pulau Padi, pulau dimana Kerajaan Gilingwesi dibangun dan membengkak menjadi
kerajaan adikuasa. Yusi mampu menampilkan tiap tokohnya dengan karakter yang
bagi pembaca akan melulu tergiang serta mudah dipilah-pilah ingatan; bahwa ada Watugunung
sang baginda raja Gilingwesi sekaligus ayahanda Raden Mandasia yang kesaktiannya
niscaya sanggup membuat bumi bergetar;
ada Nyai Manggis, pemilik rumah dadu di daerah Kelapa yang keelokannya bahkan
akan membuat seluruh lelaki akan merancap cuma dengan membayangkan lutut atau mata
kakinya; Ada Wimba dan Nedzar, para
nahkoda pengantar pelayaran ke tlatah barat. Belum lagi Barja, Banyak Wetan,
Hoyoso, Loki Tua, Putri Tabassum, sampai kasim U dan Pangeran Awatara dari
kerajaan Gerbang Agung. Ringkasnya, sia-sia kiranya jika kita mencari kemubaziran
pada tokoh yang hadir sepanjang dongeng ini. Kejelian dan ketepatan menjalar juga
bahkan dalam deskripsi penanda kekhasan yang melekati para tokoh. Kita akan
dilimpahi rincian bagaimana tiap karakter memiliki lingkaran pengetahuan serta
langgam suara yang beraneka ragam. Misal, kita akan diyakinkan bahwasanya Raden
Mandasia tak sekadar pencuri daging sapi semenjana dengan menyaksikan bagaimana
ia memotong-motong daging sapi dengan cara yang sungguh mengagumkan; ia paham
betul bagian mana dari sapi paling cocok dimasak rendang, mana paling tepat
dibikin kari, atau abon. Apakah itu bagian iga, sandung lamur, tetelan, gandik
atau sancan. Dan dari keseluruhan bagian
sapi tersebut, Raden mandasia cuma akan keranjingan dengan has dalam dan has
luar. Bagian daging paling menggetarkan
bagi lidah Raden Mandasia, meski cuma dibakar dan ditaburi garam dan merica.
Peristiwa pembuktian kelezatan atas daging lulur ini juga bisa menjadi penanda
bahwa percakapan-percakapan dalam dongeng begitu bernas, segar, dan aktraktif. Ini
terjadi di malam ketika Raden Mandasia
beserta Sungu Lembu sedang membakar sembari mengunyahi hasil curian mereka.
Sungu Lembu tak sanggup untuk tidak berkomentar, “Raden, daging ini rasanya...
luhur.” (hlm:22)
Ya, meski beragam tokoh
diciptakan oleh Yusi, sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada Sungu Lembu,
pakar segala racun dari Banjaran Waru
yang didapuk sebagai juru dongeng, sang
pemikul narasi ini. Sungu Lembu membuat kepercayaan kita terhadap sihir dan
prosesi kerasukan itu nyata adanya. Kita mengenal Bilbo Baggins, karakter hobit
ciptaan J.R.R Tolkien yang merangkum petualangan-petualangan fantastisnya di
Middle-Earth. Kita juga paling tidak pernah mendengar polah Ibnu Battutah, pencatat
sejarah yang bersikeras bahwa apa yang ia tuliskan tentang jalan hidup
mengembarai benua dan samudra selama ini adalah murni dari dirinya sendiri. Dan
Sungu Lembu, adalah seonggok jasad yang mampu menampung kejeniusan dari kedua sosok tersebut. Bahkan ketika ia
berusaha meyakinkan kepada kita, bahwa keseluruhan catatan petualangannya dari
Gilingwesi ke Gerbang Agung kelak akan
menjelma kitab babon yang nantinya ia bundel dengan judul anggitan: Babad Tanah Jawa.
Arif
F Kurniawan—Bergiat di Komunitas Lacikata dan Kelab Buku Semarang.
* catatan: kalau tak diberitahu oleh teman Widyanuari Eko Putra, saya tak bakal tahu resensi ini terbit di Koran Tempo. Arsipnya dia lihat ketika mengunjungi Bandung Mawardi, di Solo, dan menemukan Koran Tempo yang memuat ulasan ini. Katanya sih, terbit kisaran di bulan-bulan Agustus-September-Oktober (2016), dia lupa :D. Apalagi saya. Beuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar