Penulis:
Etgar Keret
Penerjemah:
Ade Kumalasari
Cetakan: Juni, 2016
Penerbit:
Bentang
Jumlah
halaman: 195 halaman
Judul
Asli: The Seven Good Years
ISBN:
978-602-291-200-2
Tiga
tahun lalu, tahun 2013, Saroni Asikin menerjemahkan “Ludwig dan Aku Membunuh
Hitler Tanpa Alasan (Musim Panas di Berlin)” di harian Suara Merdeka, dan sejak itu, berceceranlah kemudian
terjemahan cerita-cerita pendeknya yang lain, baik di media cetak maupun
daring. Terjemahan dari Maggie Tiojakin, Eka Kurniawan, Andina Dwifatma, Wawan Kurniawan, Bernard Batubara, Dea
Anugrah sampai M Aan Mansyur seolah ingin memberi tahu serta
mendesak kita, ini lho, ada pengarang
yang karya-karyanya kudu dibaca. Begitulah cara mereka memapah kita
kepada Etgar Keret, pengarang yang lahir
di Rahmat Gan, Israel ini. Cara bertuturnya yang unik, cerdas, dengan
sentuhan-sentuhan konyol di sana-sini, humor yang tidak norak, fantastis, serta
tema-tema yang kebanyakan surealis —namun meyakinkan, menjadikan Etgar Keret
lumrah jika dianggap oleh pembaca dunia sebagai “angin segar” dalam khasanah
karang-mengarang cerita pendek.
Tokoh
serta kejadian dalam cerita-ceritanya akan lekat di kepala kita sebab mereka
memang pantas diingat. Misal, dalam kumcer The
Girls On The Fridge (2008, Farrar, Strous, and Giroux) salah satu cerita
berjudul “Crazy Glue” mengisahkan, suatu pagi seorang istri tiba-tiba membeli
lem dan berhasrat merekatkan seluruh perkakas rumah tangga. Malamnya, ketika
pulang kerja, sang suami menemukan istrinya tergantung terbalik dengan kaki
menempel pada plafon. Ketika sang suami ingin menurunkan istrinya dengan
menumpuk buku-buku di atas meja, buku-buku sebagai pijakan kaki ambruk, dan, hola, dengan kondisi bibir saling memagut mereka berdua lengket mengambang di
udara. Itu baru satu, masih banyak lagi:
Ada seorang anak yang terus membesar dan
menyaksikan tubuh orang tuanya kian mengecil dan ia mesti menempatkan keduanya
dalam saku. Ada lagi seorang laki-laki
pekerja yang membangun saluran pipa raksasa dan ingin mengajak tiap orang yang
merasa hidup mereka tak bahagia untuk tinggal di sana.
Ketika
George Saunders mewawancari Etgar dalam sebuah festival yang diselenggarakan
oleh PEN Amerika, bagaimana Etgar sampai
bisa menciptakan tokoh dan kejadian yang mengagumkan seperti itu, ia menjawab: Satu-satunya yang menyokongku menjadi
seorang pengarang, adalah aku dikarunia bakat sebagai seorang pengibul yang
cerdas. Aku berani meyakinkanmu, untuk urusan kibul-mengibul, aku bahkan hapal
betul secara geografis dan ontologisnya. Saunders tertawa mendengarnya.
Tapi
dalam The Seven Goods Years kita
tidak akan menemukan cerita pendek. Buku ini adalah kumpulan esai-esai segar
dari Etgar, atau nanti kita bisa menyebutnya sebagai memoar, atau jurnal
pribadi atau apalah sebutan yang membuat kita nyaman. Etgar menuliskan bagian
hidupnya, kejadian-kejadian selama rentang tujuh tahun, berawal dari kelahiran
Lev, putra pertamanya sampai kematian ayah tercintanya. Bermacam pengalaman
ditulis. Jika kita membacanya jeli, kita justru sedang menyaksikan seorang
Etgar sedang berkomentar panjang dan agak apologetik, bahwa selain sebagai
pengarang cerita pendek, ia juga cuma seorang anak yang cengeng dan ringkih
dari sepasang orang tua yang mampu bertahan dari tragedi holocaust. Ia seperti Yahudi
lain yang gamang ketika terus
dipandang sebagai mahkluk aneh tatkala berada di luar Israel. Ia seorang suami yang kerap
bertengkar dengan istrinya tentang pengasuhan anak mereka yang kelak diminta
Israel untuk masuk wajib militer. Ia juga laki-laki yang menurutnya patut
diberi kebebasan untuk misal membenci penjaja asuransi kesehatan, atau
wartawan-wartawan brengsek yang di kepala mereka tersumpal oleh satu-satunya
ambisi mendapatkan bahan berita bombastis tentang perang. Etgar Keret memang selama ini dikenal keras
kepala menempatkan dirinya untuk berseberangan dengan pihak manapun yang
menganggap bahwa perang adalah perkara lumrah dan sewaktu-waktu menjadi jalan
tengah mengakhiri sebuah konflik. Dan sikap kritisnya ini membuahkan sematan
label baru baginya. Etgar dicap seorang
Anti-semit, Anti-Israel oleh banyak
orang di negaranya sendiri.
Seperti
halnya Orhan Pamuk yang mendedahkan uraian masa kecil, remaja hingga ia
memutuskan membelot menjadi seorang
pengarang yang dituliskannya dalam Istanbul:
Memories of a City (Serambi, 2015), atau Haruki Murakami lewat When I
Talk About When I Talk About Running (Bentang, 2016) yang menganggap bahwa aktivitasnya berlari maraton
dan laku menulis prosanya memiliki hubungan resiprokal, Etgar juga merajut
benang-benang penyambung, antara eksistensinya sebagai pengarang fiksi dengan
apa-apa yang selama ini membentuknya, memperlembeknya, serta menguatkannya. Di bagian “Hanya Pendosa yang Lain” ia
menambahkan, ...Penulis bukan santo atau tzaddik
atau nabi yang berdiri di gerbang;dia hanya pendosa lainnya yang punya
kesadaran lebih tajam dan menggunakan bahasa sedikit lebih tepat untuk
mendeskripsikan realitas yang tak terbayangkan di dunia kita. (hlm 118)
Yang
jelas, Etgar mengaku bahwa sebenarnya ada keengganan menuliskan memoar ini,
apalagi jika dibandingkan dengan hasrat menuliskan cerita fiksi. Menurutnya, ada jurang menganga yang
memisahkan keduanya. Dalam fiksi, seseorang benar-benar menulis sesuatu yang tak pernah
ia ketahui akhirnya. Menulis fiksi menempatkan pengarangnya sebagai petualang
sejati, dan itu bagi Etgar menyenangkan. Berkebalikan dengan non fiksi. Ia
cuma harus mengulang dengan sebaik-baiknya apa yang sudah terjadi dan itu
tentu tidak bisa diubah. Bagi Etgar, pekerjaan macam itu teramat membosankan.
Dengan tampang serius ia kerap menasehatkan kepada pembacanya; jika ada buku yang tak pernah saya baca, itu
adalah memoar. Jadi sudah semestinya anda berpikir dahulu sebelum membeli buku semacam
itu.
Untuk
yang terakhir ini, kiranya kita yakin, Etgar sedang berupaya mengibuli kita
lagi, dan kibulannya kali ini gagal.
Arif F Kurniawan—Bergiat di Komunitas
Lacikata dan Kelab Buku Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar