Recto-verso dalam Kehidupan Dona Flor
Judul:
Dona Flor dan Kedua Suaminya
Penulis:
Jorge Amado
Penerjemah:
Fahmy Yamani
Cetakan: I, Desember 2014
Penerbit:
Serambi Ilmu Semesta
Jumlah
halaman: 608+vii halaman
Judul
Asli: Dona Flor e Seus Dois Maridos
ISBN:
978-978-024-418-4
JIKA ada pepatah mengungkapkan; mustahil
mengejar dua kelinci dalam waktu bersamaan, sebaiknya kita bersiap-siap untuk
bermusuhan dengan pepatah tersebut begitu memasuki halaman pertama dari novel Dona Flor dan Kedua Suaminya (Serambi,
2014) milik Jorge Amado. Karena jika seluruh prasyaratnya memadai, maka
dalam realitas fiksi semuanya jadi serba mungkin. Bukankah itu salah satu
alasan kenapa fiksi ada?
Recto-verso dan Kontraseksualitas
Menggunakan teknik bercerita
bersudut pandang Serba tahu, Amado adalah pemandu bertalenta yang akan
menyeret kita memasuki kehidupan Floripedes Paiva Guimares,
ahli gastronomi Sekolah Masak Seni dan Cita Rasa di kota Bahia—Brasil. Dona
adalah sebutan masyarakat Brasil untuk perempuan yang sudah menikah. Diceritakan,
Dona Flor harus menjanda dan menjalani masa berkabung penuh tekanan setelah 7
tahun pernikahannya dengan Valdinho—suami pertama Flor yang dikisahkan menjadi
lelaki yang begitu bajingan, dengan kebiasaannya berjudi, mabuk, dan jadi Don Juan
ugal-ugalan di tempat prostitusi. Valdinho adalah sisi bopeng dari kehidupan
Flor. Namun, apakah Flor benar-benar, seperti yang disarankan oleh
tetangga-tetangganya di Bahia—Dona Norma dan Dona Gisa, bahwa hidup Flor akan
sempurna tanpa si brengsek Vadinho? Pertanyaan tersebut mendengung menjadi
konflik kejiwaan yang menggema bagi Flor, bahkan ketika bagian lain recto-verso nya muncul lewat karakter dokter
Teodoro yang ia nikahi sebagai suami
kedua setelah setahun menjanda. Teodoro adalah utopia masyarakat Brasil kala
itu. Berpendikan—ekonomi mapan—status sosial tinggi—terhormat. Dari titik
inilah justru pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu menjadi oposisi biner itu terpampang. Tidak ada yang benar-benar utuh
ternyata, bahkan ketika puncak konvensi kebahagiaan dari masyarakat telah kita
duduki, ada kegetiran yang menganga di dalam. Amado kemudian meledakkan
urat-urat kewarasan kita, karena Vadinho
kembali ke hadapan Dona Flor dalam skema supranatural, folklor, hantu Vadinho datang
menjalani “kehidupan kedua”-nya
sebagai animus, representasi kontraseksualitas
Flor, yang siap menjadi rekan seranjang
dokter Teodoro, serta memuntahkan
testimoni dengan sikap percaya diri
ketika Flor merasa terguncang.
“Kalau aku tidak datang, aku, suamimu, dengan semua hak, katakan
kepadaku, Flor—bicara terus terang dan jangan tipu dirimu sendiri—apa yang akan
terjadi? Aku datang untuk mencegahmu mencari kekasih gelap dan menyeret nama
dan harga dirimu ke dalam lumpur.” (hlm. 584)