:
oleh Arif Fitra
Kurniawan*
dan
adam turun di
hutan-hutan/mengabur dalam dongengan/ dan kita tiba-tiba di sini/ tengadah ke langit: kosong sepi....
(Jarak—Sapardi Djoko
Damono)
Dalam Refilosofi Kebudayaan, kepada penulisnya-- Syaiful
Arif, Gusdur, pernah
mewanti-wanti : idfiin
wujuudaka fi ardhil
khumuuli,--pendamlah
dirimu dalam bumi
kekosongan. apakah itu juga
yang sering dilakukan
oleh banyak penyair tatkala
puisi datang dan
meminta untuk ditulis? .
Baiklah, begini, sial memang, jika saya termasuk
sebagian orang yang mudah
terprovokasi dengan beberapa kelompok
kata dalam sebuah
puisi untuk menjadikannya pijakan
menyebrangkan sebuah teks
dengan hipogram-hipogram teks
lain diluar yang
sedang saya baca. begitu
juga ketika menyimak
puisi Ahmad Kekal
Hamdani dan Timur
Budi Raja.
Bolak-balik saya
membaca Senjakala milik Kekal, Serenade milik
Timur, dan Jarak milik Sapardi.
Bagaimana mereka menyusupkan
sihir mereka dalam
kata-kata. Metafora-metafora pedih, personifikasi, alusi, citraan-citraan yang, ah, konon waktu
dan kesunyian seperti
tangan doktrin yang
terus memberikan tongkat
estafet kepada tiap
penyair untuk terus diajak
berlarian. Saya sendiri, di lain
sisi sebagai penulis
puisi kerap ingin menampik
doktrin kesunyian itu. Dan
Gagal. Benar kiranya
apa yang ditapiskan
Jassin kepada Subagyo
Satrowardoyo dalam suratnya, membebaskan diri dari sebuah
doktrin dengan menciptakan
doktrin baru tak
lain sekadar kamuflase. barangkali
itu itu jadi
kutukan yang mesti
kita tanggung.
Meski
begitu, dalam setiap teks
puisi yang saya
baca, saya merindukan dan
mencari-cari kebaruan dalam
memaparkan kesunyian. Memang, cara
ini menyodorkan resiko suatu kali
akan jatuh pada
kemungkinan menyukai—dan tidak
menyukai dari bentukan-bentukan puisi
yang mengolah dua
hal yang saya
tulis di atas.
SENJAKALA
gerbang waktu
yang membuka palungnya
menerima matahari, melepas arwah bangkit
dari tidur bunga-bunga.
satu dua camar
memucuk
kenangan. lautan
yang resah menikam
detik istirah.
lalu engkau
turun telanjang
mencelupkan kaki
ke dadaku yang hampa
matahari rebah ke
lahat bumi
mencair ke
mataku yang sunyi
Yogyakarta, 2012
(Ahmad Kekal
Hamdani)
SERENADE
ketika matahari
lepas dari gantungan,
bibirmu adalah
tidur-tidur perdu.
penuh bayangan malam,
dingin doa
tengah dilafalkan.
mataku, kunang api
rabang yang
merangkak memasuki
tahunmu. dibatas antara
keriangan dan
sunyi, pada dadanya
tumbuh perahu.
yang melayari
subuhmu menjadi dongeng.
tiap kali laut
hendak tumpah
dan nyanyian dilepaskan
ke langit.
2012
(Timur Budi
Raja)
Saya
nyaris bertaruh dengan
diri saya sendiri,
seumpama Puisi Senjakala
dan Serenade tidak
diberi nama penyair, susah sekali
menentukan siapa menulis
puisi apa. Matahari,
langit, malam, sunyi, waktu dan
penanda waktu, tidur, mata,
citraan-citraan itu menjadi
nama-nama orang yang
seperti pernah saya hafal
dalam silsilah keluarga saya. Saya
tidak tahu dan
penasaran, apakah puisi
bisa dijinakkan dengan menyangkut pautkan roh
geografis dari kampung
halaman si penyair. Sebenarnya ini
menjadi mudah dipatahkan
ketika kita berpendapat
bahwa ini benar-benar
kebetulan belaka dari
ratusan judul puisi yang barangkali sudah
Kekal dan Timur
tuliskan. Ah, meranalah saja Julia
kristeva dengan pemahaman
intertekstualnya itu.
Baik
Timur maupun Kekal memposisikan
menjadi aku-lirik yang
tidak terlihat, Kekal membuka
lanskap kematian, kenangan, dengan
tangan personifikasi. Waktu menjadi
pintu raksasa utama
yang mesti pembaca
hadapi pertama kali untuk
“menyelam” lebih lubuk
dan menemukan lanskap
alusi yang ia
ciptakan . Timur memaparkan
waktu dengan menempelkan
turunannya sebagai tahun-tahun
yang mesti kita
masuki sebelum menemukan
dongengan yang transenden.
Tidak seperti dalam
sekumpulan puisi DukaMu
Abadi milik sapardi
Djoko Damono yang terbit
di tahun 1969,
di puisi-puisi ini kita akan
dipertemukan dengan –mu, -mu kecil
yang sejajar dengan
kita, hingga menawarkan kemungkinan baru (?) dalam merefleksikan
teks. Membiarkan sesuatu yang
ghaib dan lama menjadi
ritus terasa intim
sekaligus asing dan
liar.
barangkali yang
perlu saya catat,
dan ini bagi
saya penting. Saya merasa
janggal dengan perpindahan
yang dilakukan citraan kekal. Benar, seorang penyair
tidak perlu musti
berpatokan, puisi yang
baik adalah puisi
yang padat padu. ia
boleh saja membuat
struktur puisinya berisi
peristiwa, analogi, atau
aforisma yang tidak linear.
Kadang yang khaos
dan saling bertolak punggungpun bisa digunakan.
Saya belum bisa
memasuki loncatan tidur bunga-bunga ke satu dua
camar memucuk
kenangan. entah kenapa ada
jarak yang tidak
mungkin saya jangkau begitu saja, saya secara
spontan memberikan konjungsi berupa frasa
dari saya sendiri
untuk menjembatani pembacaan
saya, padahal di
kuplet kedua, kekal
memberikan sesuatu yang
utuh kepada saya.
Dalam
puisi Timur, kecemasan
kita dimulai dengan
menyaksikan matahari yang lepas
dari gantungan--bukankah ini, gambaran
lain dari “matahari
rebah ke lahat bumi” milik Kekal , Timur juga
menggunakan perangkat personifikasi, ia menggerakkan
adjektiva—nomina dengan
tenang dan tangan
yang lembab. Namun di
puisi ini dia
menghindarkan kemelut metaforis. ia mengerahkan
seluruh “kepasrahannya” kepada
bahasa. Laut--perahu—melayari: suatu
hari, penyair Timur
pernah melemparkan guyonan
tentang diksi-diksi agraris
dalam sebuah diskusi. Saya
terbahak jika ingat
itu, dan mungkin
akan melemparkan guyonan bahwa
dia menggunakan diksi maritim
atau malah nautika
di puisinya kali
ini.
Saya
yakin, meski nama besar
mereka sebagai penyair
tidak membuat keobyektivan
pembacaan saya goyah, akan
kelewat sempit dan
rapuh jika puisi cuma
dijangkau dengan pelabelan
baik dan buruk. Matang
atau belum matang. Baik
kekal maupun Timur
dengan puisi-puisinya menjadi
guru tan-kasat mata
bagi proses menulis
saya. bagi saya pribadi, usia proses
kreatif mereka adalah
mata pelajaran.
Tidak, saya
tidak sedang menaruh
dua puisi ini
dalam sebuah ruangan
kelas yang berkemungkinan contek-mencontek ketika tiba
sesi menulis puisi
dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Justru saya
meyakini, selalu muncul aksentuasi
berbeda dari obyek
pandang yang sama. Seperti
halnya tadi saya
singgung, bahwa Kekal, Timur, Sapardi, memiliki
peta sendiri ketika
mesti mempresentasikan waktu
dan kesunyian.
Mulialah kekosongan.
Amiin.
__________________________________________________________________________
Arif Fitra
Kurniawan, bergiat di
Komunitas Lacikata-semarang.
Tulisan ini dibuat
untuk kepentingan Diskusi
buku “Mahar Kebebasan”, Antologi Puisi
Wika Setiawan DKK
di WatuJowo Art
Studio. Borobudur, Kabupaten
Magelang