25 Puisi Esai Terpilih
(Hasil Lomba Menulis Puisi Esai)
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya
tema yang ditulis. Untuk pertama kalinya dalam perpuisian Indonesia
ditemukan tema yang demikian beragam. Tema-tema itu meliputi hukum dan
peradilan, konflik etnis, problem kebangsaan masyarakat perbatasan
terluar Indonesia, transgender, kekerasan sosial, Korupsi, pertanahan,
maritim, lingkungan, problem dunia pendidikan, korupsi dan manipulasi,
dunia bisnis, ketegangan antaretnis, dunia pesantren, dunia anak dan
masalahnya, problem budaya suku terasing, kekosongan vs keriuhan kota
besar, dunia penari tradisi dan penari erotis, komunikasi modern,
sengketa tanah, kisah cinta antaretnis-antarbangsa-antaragama, dan
banyak lagi.
Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara,
anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden,
orang Kubu, anggota masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional, tokoh
sejarah lokal, tokoh pemberitaan media massa, pencuri coklat, pembunuh
keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang kesepian
dan ingin bunuh diri, anggota etnis minoritas sekaligus pelaku
transgender, warga Tionghoa Indonesia yang dijodohkan (dijual?) ke
Hongkong, buruh tani, TKW, pemain band, Raden Saleh, perusuh, dan banyak
lagi.
Beragamnya tema maupun aku liris yang muncul dalam puisi esai
menunjukkan bahwa puisi esai –entah mengapa—telah membuka katup tematik
berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan
jarang –jika bukan “tabu”—disuarakan dalam puisi liris konvensional.
Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat dalam
perpuisian Indonesia tiba-tiba muncul dengan penuh warna. Jika meminjam
terminologi Edward de Bono, dengan mengubah topi puisi liris
konvensional ke puisi esai, nyata banyak hal yang semula senyap kini
ramai bersuara, yang semula gelap kini mulai diberi cahaya. Banyak dari
padanya memang belum sepenuhnya berhasil sebagai puisi (tepatnya puisi
esai) yang utuh dan memikat, namun fakta bahwa banyak segi dalam
kehidupan dan kenyataan Indonesia mulai disentuh dalam puisi jelas
merupakan sesuatu yang menggembirakan. Di masa depan kita bisa berharap
bahwa puisi Indonesia tidak sepenuhnya terpaku pada tema dan urusan
kesepian serta kegalauan individual, melainkan mulai menggarap juga
kekayaan, keluasan, dan keberagaman situasi dan pengalaman
meng-Indonesia.
Tidak kurang dari 400 (tepatnya 429) puisi esai yang masuk ke
Jurnal Sajak
saat lomba Menulis Puisi Esai ditutup. Mengingat setiap puisi esai
terdiri dari puisi panjang –terkadang tidak kurang dari 10 puisi
panjang– maka puisi esai yang masuk ke panitia sebanding dengan 4000
s.d. 6000 puisi liris. Untuk menangani hal tersebut dibuat dua jenjang
penilaian, yakni Juri Awaldan Juri Final. Juri Awal yang terdiri dari
Ahmad Gaus, Jonminofri, Elza Peldi Taher, dan Fatin Hamama memeriksa
setiap puisi esai yang masuk dan menilai kepuisiesaian tiap-tiap karya
peserta. Puisi esai –ditandaioleh adanya plot, konflik, catatan kaki,
keutuhan sebagai sebuah sajak panjang, dan sebagainya– dijadikan
kriteria awal dalam memilih puisi esai yang masuk untuk diloloskan ke
babak berikutnya. Maka sajak panjang berupa kumpulan beberapa sajak
dengan judul berbeda-beda dan tidak memiliki keutuhan sebagai satu puisi
esai tidak lolos ke seleksi selanjutnya. Demikian pula puisi yang tema
dan panjangnya relatif memenuhi kriteria puisi esai namun tidak disertai
dengan catatan kaki, tidak lolos ke babak selanjutnya, karena beberapa
fakta di sana tidak dapat dirujuk pada sumber yang adekuat.
Juri Final yang terdiri dari Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, dan
Jamal D. Rahman sepenuhnya berhadapan dengan puisi esai. Mereka bertugas
memilih pemenang 1, 2, dan 3, serta 10 pemenang Hiburan berdasarkan
mutu puisi esai yang masuk lomba.
Tidak mudah memilih juara 1, 2, dan 3. Lebih-lebih tidak mudah
memilih 10 pemenang hiburan. Setelah membaca dan mendiskusikannya
berkali-kali akhirnya dipilih para pemenang sebagai berikut:
“Mata Luka Sengkon Karta” karya Peri Sandi Huizche sebagai Juara pertama
“Interegnum” karya Beni Setia sebagai Juara Kedua, dan
“Syair 1001 indonesia” karya Saifur Rohman, sebagai Juara Ketiga.
Sebagaimana terlihat dari judulnya “Mata Luka Sengkon Karta”
mengangkat permasalahan hukum dan peradilan sebagaimana yang pernah
dialami dalam kasus Sengkon Karta yang pernah menjadi pemberitaan utama
berbagai media massa di masa Orde Baru dan kini mungkin sudah mulai
dilupakan. Puisi Esai ini dipilih karena keutuhan, kelincahan bahasa,
alur yang kuat, dan riset yang mendalam atas subjek yang ditulisnya.
Penggarapannya cukup ditel, diksi-diksinya pun segar. Penulis mampu
membuat kasus lama ini hidup kembali untuk diperhadapkan dengan situasi
hukum dan peradilan di masa kini. Ada beberapa ungkapan daerah, namun
relevan dengan jalannya cerita sehingga tidak mengganggu keutuhan.
Sedikit kelemahan pada puisi esai “Mata Luka Sengkon Karta” ini adalah
rentang waktu pengisahan yang sangat panjang dengan sekian lanturan anak
kisah. Sekalipun begitu, secara umum puisi esai ini ditulis dengan
memikat.
“Interegnum” ditulis oleh Beni Setia, seorang penyair kawakan. Dengan
bersih dan padu, kisah lama yang diambil dari sejarah dan cerita rakyat
ini dibangun tahap demi tahap secara hati-hati hingga terbangun
gambaran peristiwa di Palangan Mejayan masa silam. Dalam bentuk yang
rapi tersebut, plot, konflik dan penokohannya dibiarkan tidak tajam dan
digantikan dengan suasana-suasana dalam gambaran yang terkendali,
Catatan-catatan kaki dibuat untuk menunjang bangunan informasi latar
kejadian dalam cerita ini.
“Syair 1001 Indonesia” mengangkat kasus hukum dan korupsi yang
menjadi berita hangat berbagai media massa belakangan ini. Dalam “Syair
1001 Indonesia” terjadi fiksionalisasi atas fakta, dan terkadang juga
faktanisasi atas fiksi. Fakta dan fiksi terus-menerus dipermainkan.
Dengan meminjam tokoh nyata sebagai pencerita orang pertama, maka puisi
esai ini dibangun nyaris sepenuhnya dalam bangunan ironi. Ada upaya
keras untuk membangun rima (khususnya rima akhir), beberapa berhasil
beberapa terkesan agak dipaksakan. Namun, karena bangunan utama puisi
esai ini adalah ironi, maka persamaan bunyi akhir yang dipaksakan itu
terkadang menggaris bawahi unsur ironi pada puisi esai ini.
Pemenang hiburan agak sulit dipilih karena jumlahnya 10 buah sehingga
rentang kualitas antara satu dengan lainnya terkadang cukup besar.
Hanna Fransisca, misalnya, mengangkat tema masyarakat etnis Tionghoa
Singkawang yang berhadapan dengan kemiskinan di satu sisi dan godaan
untuk menjodohkan anak gadis dengan lelaki Hongkong demi beroleh
kemakmuran. Puisi esai ini ditulis dengan nada serius, sementara Wendoko
menulis dengan gaya santai dan main-main tentang telepon. Ada kisah
cinta berlatar kekerasan sosial di Sampit karya Catur Adi Wicaksono, dan
ada pula kisah Ki Bagus Rangin yang berlatar sejarah karya Kedung Darma
Romansha. Di sisi lain, ada pula puisi esai yang berupa “alegori
mistik” karya Rahmad Agus Supartono. Hampir semua pemenang hiburan
mengangkat tema yang menarik dan ditulis dengan cukup memikat. Godaan
utama pada nyaris semua pemenang hiburan adalah kurang fokus pada satu
alur utama sehingga penokohan, konfik, maupun riset (sejauh terlihat
pada catatan kaki) kurang terfokus. Kekuatannya, hampir semuanya
menunjukkan daya puitik yang menggugah.
Selain 10 pemenang hiburan. Juri memilih 12 puisi esai yang dianggap
menarik. Keduabelas puisi esai ini dipilih karena daya tarik
permasalahan yang diangkatnya sebagai puisi esai, meski karya mereka
belum mencapai keutuhan sebagai sebuah karya yang solid. Tentu saja 12
puisi esai yang dianggap menarik ini memenuhi capaian minimal puisi esai
yang relatif baik. Banyak puisi esai yang mengangkat tema serta
persoalan yang sangat menarik. Sayang, tema-tema menarik tersebut belum
ditunjang oleh kemampuan menulis yang memadai. Kami berharap, para
peserta tidak puas dengan apa yang mereka capai sekarang hingga terus
berusaha di masa depan untuk mengangkat tema-tema menarik itu dalam
bentuk puisi esai yang memikat.
Juri Final
Agus R. Sarjono
Acep Zamzam Noor
Jamal D. Rahman
Juri Awal
Ahmad Gaus
Elza Peldi Taher
Fatin Hamama
Jonminofri
Juara
1. Peri Sandi Huizche – Mata Luka Sengkon Karta
2. Beni Setia – Interegnum
3. Saifur Rohman - Syair 1001 Indonesia
10 Pemenang Hiburan
1. Arief Setiawan – Ngati
2. Arif Fitra Kurniawan – Bukan Lagi Rahasia Kita Raisa
3. Catur Adi Wicaksono – Jejak Cinta Madun Di Kota Sampit
4. Hanna Fransisca – Singkawang Petang
5. Jenar Aribowo – Suara Suara Ingatan
6. Katherine Ahmad – Dalam Belenggu Dua Dunia
7. Kedung Darma Romansha – Rangin
8. Rahmad Agus Supartono - Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas
9. Wendoko – Telepon
10. Yustinus Sapto hardjanto – Ziarah Tanpa Ujung
12 Puisi Esai Menarik
1. Alexander Robert
2. Baiq Ratna Mulyaningsih
3. Carolina Betty
4. Chairunnisan
5. Damhuri Muhammad
6. Huzer Apriansyah
7. Nur Faini
8. Onik Sam Nurmalaya
9. Sahasra Sahasika
10. Sifa Amori
11. Stefanus P. Elu
12. Yudith Rosida
diambil dari :
http://puisi-esai.com