1
kamu, yang kata mereka telinga, telah kumasuki sejak dulu sebenarnya, sebelum waktu berpikir untuk menciptakan jeda. sebelum baris baris kalimat sempat membubuhkan koma. aku telah bersusah lebih dulu menancapkan sebuah bunyi. bunyi panjang yang entah, aku tak tahu sebabnya mengapa sampai kini kamu masih tak bisa mengenalinya. dari sanalah pertanyaan itu kemudian tumbuh segelap bayangan. menanyakan siapa yang salah. Siapa yang bersedia mengalah. tapi dari dulu yang kutahu sepasang telinga tak pernah mencoba berpaling dari berita.
2
lantas dua-tiga orang yang tak memiliki usia mendatangiku, menyarankan agar aku menjeritkan namamu, bermula lagi dari hal-hal kecil sebagaimana sebuah suara dan bunyi memperkenalkan diri. awalnya aku tak percaya, bagaimana mungkin cara yang menurutku begitu rumit ini mampu kulakukan. kamu belum tahu kan , aku bisu ?
3
tapi baiklah, aku pikir, apa salahnya mencoba. ya, untukmu, aku bersedia mempertaruhkan sebagian besar dari kekurangan yang kumiliki. dan meski kamu tak mengerti apa yang aku lakukan , aku tetap akan bercerita. tahun-tahun berikutnya setelah kedatangan orang-orang itu, yang kulakukan adalah bagaimana menunjukkan bahwa aku sebuah kesabaran yang sedang mengukur ketebalanya dengan jejak kaki. sampai aku benar-benar lupa bagaimana wajah pernah menawariku rasa putus asa. aku terus mendesis. aku terus mengetuk. bergerak dari mulut ke mulut, meloncat loncat dari takut ke takut. Di gua hitam inilah aku merajah tahun yang menyimpan sejarah. merah lalu kuning. kering.
3
kamu, yang kata mereka telinga, masih saja menjadi saksi tanpa perlu mata dari kebisuan ruanganku,
: tanpa sadar diam diam sesekali aku melihatmu , meski sepintas saja, dadamu seperti mengharapkan jatuhnya doa. seperti menangis. Mungkin agar aku segera menghentikan tarian purba ini.
karang laban, bulan kedua.
bambar diambil* dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar