Melayang di Atas Pagi

Cuma tersisa cuilan telur bacem di dagumu 
dan waktu masih berpikir berapa helaan 
bisa direken untuk menyaksikan 
yang kecil mengering 
dan jatuh
 
Jalanan sebentar lagi bakal membuka amarahnya 
Mengembalikan lagi bau oli, dentang jam sebuah gereja, 
matahari putih setengah delapan, juga rasa lapar 
yang jadi sok tahu akan kemana 
jika hendak mengejar kita
 
Di samping pancuran (aku ragu apakah kelak akan ada 
di samping kiri atau di samping kanan) yang piawai menarikan 
kecipak beningnya itu geram atau gerimis 
sama-sama susah kita pahami
 
Tapi seseorang-- yang kemanapun kita berpindah 
akan melulu berdiri di tengah-tengah 
dengan lagak waskita menunjuk bergantian 
atas dan bawah, bawah dan atas, atas dan bawah 
dan begitu terus sampai salah satu dari kita 
ada yang maju menampar mulutnya dan berseru 
: kau saja yang ke neraka, heh--
 
Seekor anjing mengendus dan menjilat sekali dua 
jempol kakimu yang berdarah. Ia memimpikan seluruh perjalanan 
milik kota ini berhenti dan mengumpulkan diri 
di koreng yang kekalbasah itu
 
Aku merangkak dan berdiri di tepian zebra cross 
yang garis-garisnya sudah mangkak. Cuma untuk 
menimbang-nimbang--seperti tabiat para pemikir-- 
apakah akan maju atau mundur atau bertahan atau menyerah 
dengan melambaikan tangan di hadapan tiap orang 
yang berhenti dan mendongak ke lampu merah
 
Gayam, 2017

Tidak ada komentar: