Di Jalan Majapahit No:147



Aku masih mencatatmu
sebagai peluh panas yang sembunyi
di kaos seorang tukang sayur dekat pasar
sebelum jadi penggalan kalimat murung
mesti berkali-kali dibongkar

Hantu atau kerangka bening di masa lalu
atau justru tahi--milik para pengumpat
akan datang dan meminta diri buat jadi bingkai

Aku tiriskan sementara hawa dingin
dari mulut mereka, bau rempah-rempah,
jalur-jalur perdagangan, ombak yang mengancam batu,
jukung-jukung terjungkal, sampai angin puyuh
yang ganas merobeki panji-panji

agar kau sebentar jadi sangsi
kepada tapak tangan mahapatih yang pernah
merogoh dan memecahkan ulu hatinya di sini

Pinggiran aspal baru saja selesai ditambal.
Air menciprat betisku. Sebuah truk
pembawa gelondongan jati lewat.

Tapi kurang-kuranglah dayaku
membuatnya lebih terhormat.

Kekecewaan tak pernah mendapat kata lain.
Kekecewaan tak pernah mendapat kata lain.
Kekecewaan tak pernah mendapat kata lain.

Seperti dalam sebuah warung nasi goreng
yang sempit aku dikepung kata-katamu


demi mencari hiburan terakhir.

Sebentar lagi sisa sepi ini juga habis,
menggulung diri atau terbakar
atau kau maklumi sebagaimana seorang gadis jembel
tidur meringkuk di teras optik Jacob Salim.

Kau punya pilihan, terbang ataukah berdiam.
Tapi sajak ini cuma akan terus ragu-ragu
sebab di tengah-tengahnya kau terlanjur disimpan.

(Gayam, 2017)

Tidak ada komentar: