Aku masih
mencatatmu
sebagai
peluh panas yang sembunyi
di kaos
seorang tukang sayur dekat pasar
sebelum jadi
penggalan kalimat murung
mesti
berkali-kali dibongkar
Hantu atau
kerangka bening di masa lalu
atau justru
tahi--milik para pengumpat
akan datang
dan meminta diri buat jadi bingkai
Aku tiriskan
sementara hawa dingin
dari mulut
mereka, bau rempah-rempah,
jalur-jalur
perdagangan, ombak yang mengancam batu,
jukung-jukung
terjungkal, sampai angin puyuh
yang ganas
merobeki panji-panji
agar kau
sebentar jadi sangsi
kepada tapak
tangan mahapatih yang pernah
merogoh dan
memecahkan ulu hatinya di sini
Pinggiran
aspal baru saja selesai ditambal.
Air
menciprat betisku. Sebuah truk
pembawa
gelondongan jati lewat.
Tapi
kurang-kuranglah dayaku
membuatnya
lebih terhormat.
Kekecewaan
tak pernah mendapat kata lain.
Kekecewaan
tak pernah mendapat kata lain.
Kekecewaan
tak pernah mendapat kata lain.
Seperti
dalam sebuah warung nasi goreng
yang sempit
aku dikepung kata-katamu
demi mencari
hiburan terakhir.
Sebentar
lagi sisa sepi ini juga habis,
menggulung
diri atau terbakar
atau kau
maklumi sebagaimana seorang gadis jembel
tidur
meringkuk di teras optik Jacob Salim.
Kau punya
pilihan, terbang ataukah berdiam.
Tapi sajak
ini cuma akan terus ragu-ragu
sebab di
tengah-tengahnya kau terlanjur disimpan.
(Gayam,
2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar