PENYESALAN#03
Karya : Ali Antoni
masih teringat kuat bagaimana aku mengendap dulu
diam-diam mengambil selendangmu ditelaga
berjingkat-jingkat ku atur langkah
agar kau kehilangan sayap dan tak ada pilihan lain kecuali hinggap di peraduanku
sampai kemudian musim berganti musim
hujan di susul hujan
kalender tanggal satu-satu
dan jarum jam di ruang kamar kita sudah terganti puluhan kali
namun aku tetap merasa bahwa kau adalah musim panenku
sungguh aku tak menyesal kenapa aku mengendap
dan mencuri kesucianmu
biarlah itu menjadi dosaku
sebagai neraka yang aku syukuri
dan aku hangat dalam apimu yang menyambar-nyambar
kau mematangkan beras lumbung padiku
kau adalah air yang menghidupkan kebunku
kau pula yang menjadi damar penerang
yang membantuku mengeja huruf-huruf kuno dari masa silam
…..
namun satu hal yang membuat telagaku mengering
sungaiku tak lagi sejernih dulu
benih tunasku gagal tumbuh
setelah tak sengaja kau temukan sayapmu yang kusimpan rapat-rapat
kau menuduhku sebagai pendusta, sebagai setan berkepala lima
dengan mudahnya kau lupakan kembang gula
yang sering kita nikmati berdua
TUKANG KAYU
Karya : A. Muttaqin
Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.
Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.
Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:
rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan
atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti
daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.
Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang
yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih
dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah
khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:
apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.
Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.
Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang Yesus.
Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih terpegang.
Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya mengaduk diri seperti geruguk sepi.
Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring, menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku pergi.
Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.
2011
KUPU-KUPU KUNING
DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA
Karya : Sindu Putra
ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa: “ sengatkan naga dati tubuhmu
hingga menggigit luka hatiku……..”
lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam, yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya, tak ada yang tidak dituturkannya:
“lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning
yang hinggap di potret masa muda saya……….”
kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu
ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya, yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini, seorang urban di kampung halaman……”
kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu, kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam, kupu-kupu yang ditinggalkan pagi
tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri
Mataram 2011
CERITA TIGA RUPA
Karya : Frans Ekodhanto Purba
Si Tumang
akulah pemilik tetubuh jelita, pemenang
taruh dan pertarungan, tanpa mengalirkan dendam
tanpa menggaligali luka, menumpahkan nanah amarah
akulah pemenang, bukan raja, bukan penguasa, bukan juga manusia
dengan sehelai torak aku melamarnya
darah, cinta, kasih dan nafsu yang kujejakkan di rahimnya
adalah keutuhan janinjanin cinta kami
dirajut sepanjang malam bulan purnama, akulah situmang
seekor anjing jantan
karena akulah segala yang tiada menjadi nyata
segala yang mustahil menjadi hidup
tapi karena dia pulalah aku menjadi kenangan
yang hanya bisa dijejak cerita
diraba airmata yang memata airkan usia
Dayang Sumbi
hamba dayang sumbi
pada hamba kesempurnaan dianugerahkan
karena hamba taruh dan pertarungan pecah
memadati sungaisungai dendam
mengombak, menerjang siapa saja
karena hamba pulalah kebencian menganga
raja mengangkat pedang
saling menikam, bersaing demi keinginan
karena hamba darah menjelma airbah
menenggelamkan mimpi
siapa punya doa berenanglah sekuat mampu
sebelum semuanya menjelma kenangan
mengapung bersama hampa nafsu
Sangkuriang
Sebelum fajar tumpah
telah kurapal timur jalanmu
kugenapkan barat sebagai detak kerinduan
hulu layar-layar perahu
dalam rahimku kecemasan tuntas ditebus
sungguh, musimlah yang telah mengawinkan kita
menjadi sedarah, serasa dan sejiwa
bolehlah kiranya aku meminjam sebaris perjalanan
dari hidupmu untuk usiaku, sebelum maut
memagut, melemparkan nasib
pada tebing-tebing kesunyian
sebab perangku adalah kau
yang berhianat di puncak batas
Kereta subuh, Maret 2011
Keterangan:
Si Tumang: Seekor anjing jantan yang menjadi teman sekaligus suami Dayang Sumbi dalam pengasingan.
Dayang Sumbi:Putri raja tanah Parahyangan
Sangkuriang: Anak kandung Dayang Sumbi dan Si Tumang yang telah membunuh bapaknya Si Tumang, sekaligus yang mencintai ibunya Dayang Sumbi.
VARIASI ATAS SANGKURIANG
Karya : Alex R. Nainggolan
karena asmara
segalanya nampak sia
hanya terpukau rupa
wangi tubuh dan birahi menyala
bertahun-tahun ia panggul kutuk itu
tapi tak mau jadi sisipus
meski tubuhnya tak kurus atau kelopak matanya tirus
sebab pertemuan kerap sisakan debar
ketika ia bergetar
pada setiap kesiut warna
"bagaimana aku tahu jika engkau ibuku;
sedangkan berpuluh tahun kita tak bertemu?"
ia mendesau sengau, juga permintaan yang panjang dari sumbi
sebab nyala birahi, membuatnya berulang ditikam sepi
"aku sudah jadi lelaki perkasa. kecuplah segala urat tubuhku
dan aku takjub pada siluet tubuhmu,"
*
saat itu pagi merekah tertinggal basah
pada bibir perempuan
meskipun hujan belum tiba
betapa perempuan itu kembali jadi dara
yang memecah mantra ketika bicara
kelopak bibirnya setengah terbuka
semacam tenung yang mengurung
bagi dada lelaki
sungguh! perempuan itu telah mencatat prasasti
di suatu pagi,
liuk tatapnya seperti panah yang menancap dada
tapi lelaki itu tak juga sakit
bahkan saat panah itu kembali menancap
berulangkali. toh, ia terbiasa menahannya sejak kecil dan mungil
kini,
ia yakin bila jodohnya tiba
*
apakah ia lupa menandai dulu;
saat terbungkus di rahim milik siapa?
hanya diingatnya hangat alir darah
desir sayat kesakitan menjerti
dan ia menangis saat bayi
ia mengingat hari kelahiran
dan merasa ada mimpi baru
yang tak pernah ditempuh
bertahun-tahun ia lupa pada ibu
tapi ibu bukan pendendam
tak semacam ibunya kundang
mengutuk jadi batu telanjang
ihwal anak durhaka
menandai bekas rahimnya yang pecah
berapa banyak engkau rendam;
kangen yang merajam pada anak lanang
ketika beratus malam tandang
lenyap di tengah gelap
lenyap ketika mengingat
engkau yang sendirian
setelah kelahiran
kutinggalkan dirimu, sangkuriang
*
di hari-hari yang kelabu
ia masuk keluar hutan
akrab dan bertahan di rindang dahan
tumbuh bersama tanah dan akar
tapi ia telah bermimpi basah
bayangan perempuan
lingga yang basah dan suara penuh desah
ia telah memanggul napas lelaki dewasa
di kepalanya penuh dengan lekuk bidadari
*
ketika ia tiba di sebuah rumah,
cuma ada perempuan itu--
yang beratus hari kemudian memanah dadanya.
dan ia merasa bahagia
ada yang bercambah
menyesaki tubuh
ia yang menyerah
pada harum tubuh
*
mereka bertemu pada tahun yang lembap
tembang asamara itupun bergeriap
dosakah satu kecupan bagimu, ibu?
dan burung-burung menyanyikan balada
hutan bergema penuh dengan desah akar
"semestinya aku tahu tanda itu. bukankah kulit jangat tubuh
begitu liat dan mengikat. aku ingat, kelahirannya yang dibisiki misteri.
ah, anak lanagnku; mengapa engkau jatuh cinta padaku?"
perempuan dengan tubuh wangi itu menyesali yang terjadi
ia paham, tak mungkin menolak birahi
dari perjaka muda itu
ia senang dengan pertemuan ini
bertahun-tahun kehilangan anak semata wayang
tapi segalanya terlanjur celaka
membuatnya limbung, jatuh di tahun-tahun ia masih muda
tapi kecantikan tak pernah sirna
seperti cahaya matahari yang abadi
tak bisa ditolak
meskipun malamnya dipenuhi dengan isak
*
"aku ingin sebuah perahu. tapi bukan nuh."
pagi yang tinggi
lesung yang menyanyi
ia tahu,
lelaki muda sakti itu bakal marah
dan ia menjadi abu
meskipun mencintainya sepenuh hati
sebagai anak lelaki semata wayangnya
2010-2011
SAJAK DAUN
__di pantai air manis
Karya : Romi Zaman
Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.
Tak pernah ia membenci angin
sebagai biang kepergian
meskipun terombang-ambing antara arah
dan tujuan.
Hidup di rantau
ia lebih gemar membayangkannya
sebagai tanah terjauh
sebagai tanah tempat ia jatuh.
Tak pernah ia mengukur jarak
berapa jauh dari induk
Pun tak pernah ia berpikir
kapan akan kembali
krena setiap kepergian tak pernah
menjanjikan kepulangan.
Terombang-ambing oleh angin
Serupa terombang-ambing di tengan lautan.
Hanya kapal.
Tak pernah ia belajar bagaimana garam
bisa lesap ke dalam air.
Tak pernah ia belajar kepada ikan
yang tak pernah sedikitpun terasa asin
meskipun berenang di lautan garam.
Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.
Ibukku tampuk, ayahku angin.
Benarkah aku ini Malin?
Berlayar jauh ke dalam malam.
Terombang-ambing antara cahaya bulan
dan mata perempuan.
Hanya gelombang dan pasang mengepung kapal
sedangkan embun tak pernah membasahi layar.
Jika benar aku ini Malin,
sampai kapankah embun sanggup menetesiku tubuhku
yang batu?
Ia lepas,ia lepas
melayang jauh di pantai itu.
BALADA SI KUNDANG
Karya : Era Sofiyah
i
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah
Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan
Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam
Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang
Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara
Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma menjadi sarang durjana
Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban
Untukkmu yang berhidmat dalam bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam pilu
Bila itu mengembalikanmu pada yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap subuh
iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat kesakitan masa lalu
Sungguh bu, hasrat telah menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan yang tak terbantahkan
Bagiku kau hanyalah perempuan renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada di tepian dermaga
Menantiku dengan sejumput rindu
Ibu, katamu dulu kau akan menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku sang durjana laknat
Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku dalam diam
Karena laut telah melahirkan petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka
Biarlah tubuh bekuku menjelma prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta benih-benih tak bertuan
Kau tahu bu, aku hanyalah lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat perindu
Bukankah perempuan itu juga yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?
Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam
Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai lelaki kundang
TUTUR AKHIR SANG PARIKESIT
Karya : Andromeda Ken Prabuhening
“Takdirmu adalah akhirmu,
Berlarilah ke tempat persembunyianmu!”
Gema raungan sang petapa
Membelah alam keheningan yang menutup sepi
Mengutuk Parikesit yang terengah berlari
Dengan senyum yang mampu membuat setiap dewa mengerang
Begitulah negeri ini,
Dia yang telah mengoyak habis tulang rakyat
Hanya memberi senyum kebinasaan
Dia perlakukan setiap bawah sebagai pijakan
Dia perlakukan setiap sujud sebagai tempat ludah
Ular mampu kau permainkan untuk berdiri di atas kedudukan
Ular mampu kau gantung demi memuaskan hasrat kuasa-mu
“Seperti tumbuhnya matahari di ufuk timur,
Maka terbenamlah menuju arah barat dan akan berlangsung demikian”
Dharma ditegakkan oleh sang penguasa
Jatuhnya parikesit oleh kutukan sang petapa
Nafasnya terengah membelah hutan hitam
Mencari tempat untuk mengubur kenistaan
Begitulah juga negeri ini,
Telah digalinya lubang pada ibu pertiwi oleh para tikus tanah
Menanam sisa – sisa kotoran dan debu materi
Menutup mata, mulut, dan hati demi kemunafikan
Kau telah berlari dengan menyebut setiap nama
Kau tutupi setiap senyum licik yang melingkar di otakmu
Mengingat kau telah meminum darah rakyat ini
“Padi yang telah dituai maka akan tumbuh tinggi
hingga hasil nya akan jatuh ke tanah dan membusuk”
Sang naga Taksaka berlari menyembur api keadilan
Di mana pun parikesit telah berlari dan bersembunyi
Maka datanglah sang naga
Yang datang dengan keadilan telah mampu membunuhnya
Demikian akhir negeri ini,
Dulu kami menutup setiap kesadaran kami
Namun kini, berlarilah para tikus mencari lubang tanah
Kuasamu kau bawa ke dalam perut buncitmu
Kami telah mengutuk hidup dan alam kematianmu
Negeri ini temukan tikus terbesar yang mampu melubangi kubah persatuan
Berlarilah bak parikesit yang telah mati oleh kutukan sang petapa
Karena pada akhirnya begitulah takdir yang akan membawamu ke lubang kehancuran.
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
Karya : M. Raudah Jambak, S.Pd
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
PUTRI HIJAU
Versi Batak Karo
Karya : Sedia W Barus
Wahai Putri nan hijau kemilau.
Bapak bermarga Meliala konon berdarah Hundustan.
Ibu bermarga Barus berleluhur tanah kamper.
Berparas cantik disukai para perempuan dan lelaki dari delapan penjuru angin.
Terlahir dari janda kampung Sebaraya,Tanah Karo di Sumatera,Putri Hijau ditimang dibesarkan para kurcaci dalam gua sungai Lau Biang
Bersama dua saudara kembar yang menyerupai naga dan mariam, menghisap udara sejagad.
Putri Hijau Dewasa dipinang Maharaja Haru Sicapah.
Berkalang tahun tak punya keturunan Putri Hijau dicerai
Bermodal tanah sekepa; putri menunggang Naga dikawal Mariam saudaranya
Sampailah mereka di Tanah Deli yang subur nan permai.
Berkat bantuan saudara tua san ayah Meliala,Putri mendirikan Kerajaan Haru Deli Tuah1.
Walau digoda Sultan Aliuddin Ryat Alkahar di abad limabelas ceritranya, ia tetap dalam
Keyakinan.Setia sampai mati pada suami Manang Ginting Suka.
Kerajaan Haru Lingga Timur Raja, Kutabuluh,Wampu, Sicapah boleh tunduk pada Sultan2
Putri Hijau, srikandi ratu penguasa Kerajaan Haru Deli Tua, karena pembangkangannya diserang berkali-kali agar ia menyerahkan kekuasaan dan mengubah keyakinan,
Tapi Haru Deli Tua bertahan sampai tubuh berkalang tanah
Terjun ke Laut Selat Malaka pilihannya dengan berikrar, erbelawan3.
“Lebih baik menjaga harga diri daripada kekuasan”.
Brahma dan adat junjungannya
Putri Hijau ditabur cahaya rembulan dan matahari
Rambut tergerai menaungi gunung Sibayak dan Sinabung.
Langkah gesit gemulai meyisiri jalan dari Tamiang ke Jambi
Satu kaki berpijak di daratan satu di samudera luas.
Dagu pipi kening ranum cerlang berlulur kesucian ari kelapa hijau
Bercampur perasaan aneka jeruk wewangian.
Wajah dan bicara lembut pancaran hatinya
Keras watak dan lakunya ditemppa alam insani
Hijaunya Sang Putri dan Deli Tua ini meneduhkan
Tegar menghadapi musuh dengan bersahabatkan belantara Bukit Barisan.
Kearipannya memimpin negeri adalah kasih sayang
Sang Putri menegakkan keadilan dengan cinta
Sorot mata yang tulus bahasa diplomasinya
Kepada Malaka dan Portugis ia berbantuan
Sayang, kekuasaan Putri digerogoti para hulubalang korup
Ditembaki mariam Aceh berpeluru emas mereka tergiur
Deli tak lagi bertuah sampai Gocah pun melawan
Gocah Menjadi raja4
terciumlah ranumnya tanah deli
Kepada simancung berkulit putih konsesi diberi
Tanam paksa dan kuli berlaku di Tanah Deli
Memakmurkan negeri salju dengan tembakau cerutu.
Cimanggis, Februari 2011
1Tuah(bhs Karo) asal kata Tua, yang artinya keturunan/anak. Jadi Deli Tua(dulu sering ditulis tuwa) bukan lawan kata dari Deli (muda). Diduga nama ini diambil karena janda kembang si Putri Hijau belum punya keturunan.
2Sekitar tahun 1539
3Erbelawan(bhs Karo), asal nama kota/pelabuhan Belawan. Er(awalan)=ber. Belawan=sumpah
4Tahun 1612
KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas
karya: Arif Fitra Kurniawan
- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami
- Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai kekalahan.
- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya
usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama
- Jarak sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,
- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali bermimpi
tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab usiaku semakin buta dan
tak ada yang bisa ditemui
sebelah mataku selain dendam yang batu
untuk menyebut keinginanmu
sementara separuh penglihatanku yang lain
bertahan dalam kepalan yang air
yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu kau memilih tergelincir.
- Kapan?
ketika kau meyakini cinta adalah ibu
dari seluruh perihal yang menyakitkan.
(*catatan: puisi ini terinsiprasi dongeng Timun Emas yang berkembang di Pulau Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar