- sesekali buatlah puisi paling sedih,
hingga tak ada penglihatan manapun mampu membacanya,
kecuali dengan airmata.
- bis-bis berlalu lalang di kepalamu, namun tak kau hentikan
sebab tak ada aku duduk di kursinya.
aku memilih berjalan, dari kaki ke kaki, dari sepi ke sepi.
- usiaku nanti akan jatuh seperti uban putih lerai ke ubin
dari pohon kepalaku yang menua tanpa ada siapa-siapa disana
- yang akan terus meloncat dari paru-paruku ke napasmu,
dari mataku ke pandanganmu, dari telingaku ke pendengaranmu,
serta dari kakiku ke perjalananmu yang cuma akan terhenti
bila kita saling memeluk--meski itu mustahil--
; adalalah kepedihan.
- tiba saatnya bagi kita saling mendoakan,
jangan ada lagi airmata yang mengalir sia-sia.
- butuh berapa sakit lagi bagi kita demi mengukur
luka yang kadung mengakar ini?
- selalu ada sebentang taman, bangku panjang, dan sepasang
kesedihan yang akan terus-menerus menatap percik pancuran.
ingin sekali mandi serupa anak kecil dengan air dari mata sendiri.
- digagalkan angin, awan tak sampai kepada engkau yang
menunggu hujan.
digigilkan angan, dingin keinginanku cuma mampu
menyentuhi cair bayangan.
- angka-angka meremajakan tanganmu, untuk mencari
jarum siapa yang pernah menganiaya usia,
bagi lidah kita, yang selalu sangsi luka itu
seberapa kecutnya
- aku menyelimuti mataku demi menyelamatkan
engkau yang berbaring menahan silau tukak di dalam sana
- kelak keningmu adalah padang kenangan yang akan
meminta bibir ingatanku mengecupnya berulang-ulang.
- mampukah kau tunjukkan lagi apa saja kesalahanku,
selain, mencintai engkau dengan cara yang tak sewajarnya?
- mampukah kau menyebut kesalahanku yang lain,
kecuali aku mencintai engkau yang barangkali tak mencintai aku?
- seringkali puisi ini kutulis, sekadar ingin mengungkapkan
aku telah gagal menjadi penyairnya.
- seumpama aku keledai, aku ingin kau terus menjadi lubang
lubang yang memerosokkanku, denganmu,
aku ingin menjadi yang bodoh seutuhnya, selamanya
terkurung dalam umpama
- kita membaringkan sebuah malam minggu.
malam minggu yang gagal menjadi bulan.
aku kau khidmat menelan telepon genggam.
dada kita bergetar, namun kita masing-masing sudah
tak bisa menjawab semua dering panggilan
- katamu kau meridukan seseorang yang mahir memasak,
kau menginginkan seseorang dengan jantungnya yang dapur,
kau meyakini bahwa cinta terbentuk dari asap dari api.
- kaki telingaku telah menghabiskan usianya;
ingin memperpendek jarak ke bukit.
menjenguk suaramu yang dikabarkan sakit,
memanggul seluruh panggilanku selama ini
- yang menyelimuti tubuh sepiku dengan aman pelukan
kemudian menyelamati doa-doaku dengan amin
- sebagaimana tas dengan punggung, hidupmu dengan
hidupku saling menggantungkan diri bergantian.
waktu menampung engkau aku yang sama-sama
menumpang jalan pulang ke kampung halaman
- aku meletakkan nasib kepalaku kepada bantal,
yang selalu ada engkau disana mendekap tangan kapasmu
yang tak pernah selesai dipintal garis-garis terjal
- inilah gunanya mengindahkan begaimana silsilah
kesakitan dibuat, agar kau ingat airmata pernah dikirim
kan pawang hujan sebagai ritual adat.
- aku memang bukan seorang lelaki yang sering
mengkonsumsi ganja atau benda-benda psikotropika,
namun seusai menghisap getah bibirmu, aku paham
bagaimana tersiksanya mencandui sesuatu
- aku menangis, agar kesedihan di dadaku merasa bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar